Senin, 02 Februari 2015

Batal Demi Hukum, Praperadilan BG Harus Ditolak



Jakarta – WARA - Ahli hukum dari Universitas Padjajaran (Unpar), Bandung, Jisman Samosir menegaskan, Pengadilan Negeri (PN) Jaksel harus menolak gugatan praperadilan yang diajukan Komjen Budi Gunawan melalui Divisi Pembinaan Hukum (Binkum) terhadap KPK.

Alasannya, penetapan tersangka yang digugat bukan objek praperadilan yang diatur dalam KUHAP.

"Kalau sekarang memohon melalui gugatan praperadilan tentang penetapan tersangka itu tidak ada dasar hukumnya. Kalau mau jujur secara juridis formal itu adalah batal demi hukum. Jadi hakim harus menolak itu," kata Jisman, kepada SP, di Jakarta, Senin (2/2)

Diketahui, sidang perdana gugatan praperadilan BG digelar di PN Jaksel pagi ini dengan agenda mendengarkan permohonan pemohon. Pengadilan harus memutus minimal dalam waktu 7 hari setelah permohonan diperiksa.

Putusan prapengadilan tidak bisa dibanding oleh penyidik maupun penuntut umum, karena Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012 membatalkan Pasal 83 Ayat (2) KUHAP yang mengatur ketentuan banding.
Pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena berlaku diskriminatif. Sebab ketentuan tersebut hanya mengizinkan penyidik atau penuntut selaku termohon mengajukan banding jika permohonan pemohon dikabulkan. Sedangkan untuk pemohon praperadilan tidak diatur upaya hukum untuk banding.

Adapun hakim tunggal yang ditunjuk untuk mengadili adalah Sarpin Rizaldi yang disebut-sebut memiliki rekam jejak buruk.

Mengenai hal itu pihak PN Jaksel berkukuh mendelegasikan Sarpin untuk mengadili karena yang bersangkutan belum pernah diputus bersalah secara etik baik oleh Komisi Yudisial (KY) maupun Mahkamah Agung (MA).

Jisman menyebut, sebagaimana ketentuan Pasal 77 KUHAP objek praperadilan adalah pengujian sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, serta permintaan ganti rugi atau rehabilitasi.
Dengan demikian, pengadilan harus profesional dalam memeriksa dan memutus permohonan Komjen BG dengan tidak melakukan akrobat hukum. Sebab, tidak ada ruang secara hukum pengujian sah atau tidak penetapan tersangka diterima praperadilan. Praperadilan dibatasi hanya menguji sah atau tidaknya administratif.
"Saya melihat hanya sebagai akademisi bahwa (permohonan) itu tidak dapat dimungkinkan. Pengadilan tidak bisa menerima hal seperti itu, pengadilan harus memutuskan batal demi hukum. Kalau ada penyimpangan-penyimpangan (putusan) kita tidak bisa menerima," ujarnya.

Dirinya juga menegaskan seluruh pihak baik pemohon maupun termohon dapat menerima putusan praperadilan nantinya jika permohonan pemohon ditolak.

"Karena putusan praperadilan tidak bisa dibanding setelah MK telah mencabut ketentuan itu. Jadi tidak ada upaya hukum. Meski dulu ada yurisprudensinya itu tidak bisa dijadikan dasar, tidak bisa  mengalahkan UU," kata Jisman.

Pakar hukum dari Universitas Pelita Harapan (UPH) HP Panggabean menyebut, upaya hukum Komjen BG dengan mempraperadilankan penetapan tersangka di PN Jaksel salah kaprah. PN diminta untuk tidak memproses permohonan tersebut.

"Ya ampun (praperadilan BG) ini salah kaprah. Sangat tidak nyambung," katanya.

Dirinya mengimbau, Komjen BG baiknya mengikuti proses penyidikan dan penuntutan di KPK dengan tidak memperkarakan penetapan tersangka kepadanya dengan mempraperadilankan KPK.

"Menurut saya patuhi saja dulu, siapa tahu nanti dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor dan dipulihkan nama baiknya," ujarnya. (SP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar