Minggu, 29 September 2013

Bung Karno: Revolusi Indonesia Menuju Sosialisme!


Bung Karno
Bung Karno
Revolusi kita bukan sekadar mengusir Pemerintahan Belanda dari Indonesia. Revolusi kita menuju lebih jauh lagi daripada itu. Revolusi Indonesia menuju tiga kerangka yang sudah terkenal. Revolusi Indonesia menuju kepada Sosialisme! Revolusi Indonesia menuju kepada Dunia Baru tanpa ‘exploitation de l‘homme par l‘homme’ dan ‘exploitation de nation par nation’. 
Soekarno
Warta Nusantara : Kata-kata di atas merupakan isi pidato Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1964. Pidato itu, yang kemudian dinamai “Tahun Vivere Pericoloso-TAVIP”, merupakan jawaban gamblang Bung Karno terhadap mereka yang mengira pergerakan Kemerdekaan Indonesia berakhir dengan terusirnya Belanda dari Indonesia.

Saat itu, sebagian elit Indonesia berpikiran, bahwa tujuan pergerakan kemerdekaan hanyalah merebut kemerdekaan, menyusun pemerintahan nasional, mengganti pegawai asing dengan pegawai bangsa sendiri, dan lain-lain. Nah, Pidato TAVIP itu adalah penegasan, bahwa Revolusi Agustus 1945 bermuara pada sosialisme.

Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, diskursus sosialisme sangat dominan. Hampir semua spektrum politik pergerakan nasional, yakni nasionalis, agamais, dan marxis, mengakui cita-cita sosialisme dengan berbagai variannya.

Bung Karno, yang sering ditempatkan di spektrum kaum nasionalis, sangat lantang menyatakan bahwa sosialisme merupakan tujuan akhir dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Itu sangat nampak dalam tulisan-tulisan dan pidato Bung Karno.

Dalam artikel berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka”, yang ditulis tahun 1933, Bung Karno tegas mengatakan, “maksud pergerakan kita haruslah: suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang tidak ada tindasan dan hisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme.”

Dalam tulisannya itu, Bung Karno juga mempertegas bahwa Indonesia merdeka hanyalah “jembatan emas”. Artinya, kemerdekaan hanyalah “penghubung” antara perjuangan rakyat Indonesia dengan cita-citanya yang lebih tinggi, yakni masyarakat adil dan makmur.

Namun, penjelasan lebih rinci dari cita-cita sosialistik Bung Karno terangkum dalam buku “Sarinah”, yang merupakan kumpulan kuliah Bung Karno dalam kursus Wanita di Jogjakarta tahun 1946. Di situ Bung Karno menguraikan pengertiannya mengenai sosialisme dan syarat-syarat untuk mewujudkannya.

Yang menarik, Bung Karno mengajukan pertanyaan, bisakah masyarakat yang terbelakang (belum mengenal listrik, surat kabar, radio, rumah sakit, baca-tulis, dan lain-lain), bisa mencapai sosialisme? Menurut dia, masyarakat terbelakang semacam itu, sekalipun di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada imperialisme, tidak ada feodalisme, tidak bisa mewujudkan sosialisme.

Alasannya sederhana: masyarakat semacam itu tidak bisa mendatangkan kesejahteraan sosial. Sebab, bagi Bung Karno, esensi dari sosialisme adalah kesejahteraan sosial atau kemakmuran bagi semua orang. Dan sebagai syaratnya: harus ada kepemilikan pabrik yang kolektif; ada industrialisme yang kolektif; ada produksi yang kolektif; dan ada distribusi yang kolektif.

Bung Karno meyakini, supaya kesejahteraan kolektif bisa tercapai, harus ada kemajuan teknik dan kemajuan pengetahuan. Ini sejalan dengan proposisi marxisme, bahwa perkembangan kekuatan-kekuatan produktif, yang di dalamnya mencakup kemajuan teknik dan kecakapan manusia, yang tidak dirintangi hubungan-hubungan produksi—kalau dirintangi, akan dijebol melalui “Revolusi”—melahirkan perubahan corak produksi.

Bung Karno sendiri mengatakan, “alat-alat teknik, dan terutama sekali semangat gotong-royong yang telah masak, itulah soko-gurunya pergaulan hidup yang sosialistik.” Artinya, kemajuan kekuatan-kekuatan produktif, terutama kemajuan teknik dan kecakapan manusia, harus disertai dengan relasi produksi yang bersifat gotong-royong.

Masalahnya, kata Bung Karno, dalam konteks Indonesia yang masih terjajah, syarat-syarat menuju sosialisme itu dirintangi oleh kolonialisme (penindasan nasional) dan feodalisme. Karena itu, dalam kerangka perjuangan menuju sosialisme, revolusi Indonesia harus melalui tahapan-tahapan yang berkesinambungan (bukan tahapanisme yang terpisahkan oleh tembok China ala Stalinisme).

Bung Karno selalu berpesan, “sosialisme Indonesia sebagai hari depan Revolusi Indonesia bukanlah semata-mata ide ciptaan seseorang “in een slapeloze nacht” (dalam satu malam yang tidak tidur), juga bukan suatu barang yang diimpor dari luar negeri, atau sesuatu yang dipaksakan dari luar masyarakat Indonesia, melainkan suatu “reaktief verzet van verdrukte elementen” (perlawanan penentangan daripada anasir/kaum yang tertekan), suatu kesadaran sosial yang ditimbulkan oleh keadaan sosial Indonesia sendiri, suatu “historische Notwendigkeit”, suatu keharusan sejarah.”

Dengan demikian, dalam konteks sosialisme Indonesia, sosialisme harus merupakan hasil “penciptaan yang heroik”, yang sesuai dengan karakteristik dan kekhususan masing-masing bangsa. Bung Karno menolak sosialisme yang dicopy-paste dari luar atau sosialisme tiruan.

Lebih lanjut, Bung Karno menjelaskan, kendati sosialisme itu adalah keharusan sejarah, tetapi ia tidak seperti “datang seperti embun diwaktu malam dengan sendirinya”. Sosialisme sebagai keharusan sejarah hanya dapat direalisasi melalui kesadaran dan tindakan manusia.

Untuk merealisasi sosialisme sebagai keharusan sejarah itu, Bung Karno membentangkan jalannya: fase nasional-demokratis dan fase sosialisme. Dalam fase nasional demokratis, kita akan mendirikan Negara Indonesia yang merdeka dan demokratis. Sedangkan dalam fase sosialisme, kita akan mendirikan sosialisme.

Dalam fase nasional demokratis, sasaran pokok revolusi adalah mengakhiri penindasan nasional (kolonialisme/imperialisme) dan menghancurkan sisa-sisa feodalisme. Dalam fase ini, perjuangan kita adalah meremukkan kolonialisme di lapangan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Selain itu, akan dijalankan land-reform sebagai upaya menghapuskan hak-milik tuan feodal dan mendemokratiskan kehidupan rakyat di pedesaan.

Dalam fase nasional-demokratis ini, ungkap Bung Karno, kita juga menyiapkan syarat-syarat untuk dimulainya fase selanjutnya, yakni revolusi sosialis. Syarat-syarat itu, antara lain, memajukan teknik/industrialisasi, mencerdaskan kehidupan rakyat, mendorong demokratisasi seluas-luasnya, dan mendorong produksi di bawah kontrol komunitas atau masyarakat.

Dalam buku “Sarinah”, Bung Karno menyatakan bahwa konstitusi kita, yakni UUD 1945, mencerminkan transisi dari negara nasional borjuis menjadi negara sosialis. “Undang-Undang Dasar kita adalah Undang-Undang Dasar sebuah negara yang sifatnya di tengah-tengah kapitalisme dan sosialisme,” kata Bung Karno.

UUD 1945 itu, kata dia, di satu sisi kakinya masih berpijak dalam bumi burgerlijk (kapitalistik), tetapi di dalam kandungannya telah hamil dengan kandungan masyarakat sosialis. Inilah konsep negara peralihan ala Bung Karno, yakni sebuah negara yang sedang melakukan transisi ke sosialisme.
Kemudian, tahap yang kedua, yakni revolusi sosialis, yang mengarah pada perwujudan sosialisme Indonesia, yang tidak ada lagi kapitalisme dan  l’exploitation de l’homme par I’homme

Salah satu ciri utama dari sosialisme adalah kepemilikan sosial terhadap alat produksi. Dan ini, seperti ditekankan oleh Bung Karno, negara hanya berfungsi sebagai organisasi atau alat, tetapi pemilikan sosial yang sesungguhnya harus di tangan rakyat.

Dengan pemilikan alat produksi di tangan rakyat, kemudian perencanaan produksi oleh rakyat, dan juga tujuan produksi adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat, maka cita-cita masyarakat adil dan makmur bisa direalisasikan di bumi Indonesia ini.

Ada Tjakrabirawa, Soekarno Tak Bisa Blusukan



Ada Tjakrabirawa, Soekarno tak bisa blusukan

Warta Nusantara : Presiden Soekarno dikenal gemar keluar istana diam-diam. Dia kerap menyamar sebagai rakyat biasa dan blusukan ke pasar atau tempat lain untuk mengetahui langsung situasi di lapangan.

Awalnya Soekarno leluasa menjalankan aksi blusukan itu. Maklum pengawalnya cuma anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang jumlahnya cuma belasan polisi istimewa. Tapi sejak 21 Juni 1962, dibentuk Resimen Tjakrabirawa yang beranggotakan 3.000 personel. Soekarno pun tak leluasa blusukan karena terus dikawal pasukan pengaman presiden tersebut.

"Dulu aku biasa keluar istana diam-diam seorang diri. Namun sejak ada Tjakrabirawa, hal itu tak mungkin lagi dilakukan," kata Soekarno dalam biografi yang ditulis Cindy Adams.

Namun tetap saja Soekarno membandel, dan mencoba menyelinap keluar istana. Keesokan harinya, ada nota yang dikirimkan para pengawal setia itu. Isinya penuh hormat tapi tegas.

"Bapak yang tercinta, kami bertanggung jawab atas keselamatan Bapak. Karena itu kami mohon dengan sangat agar Bapak tidak lagi diam-diam menyelinap keluar. (tanda tangan) para pengawal Bapak," ujar Soekarno membacakan nota itu dengan jenaka.

Soekarno mengaku puas dengan pengawalan Tjakrabirawa. Dia melukiskan personel DKP dan Tjakrabirawa tak pernah lepas menjaga keselamatannya.

"Kalau aku melakukan kunjungan kenegaraan, Tjakrabirawa menempatkan orangnya di seberang jendela tempatku menginap. Bahkan ketika aku sedang berada di istana, dua orang senantiasa berada di dekatku. Satu kompi menjaga di sekeliling istana, yang lain berjaga-jaga di luar kota," kata Soekarno.

Kepada merdeka.com, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa Kolonel Purn Maulwi Saelan menuturkan mengawal Soekarno memang penuh dengan kejutan. Hubungan Soekarno dan para pengawal memang sangat dekat karena pribadi Soekarno yang egaliter.

Saelan masih mengingat saat mengawal Soekarno ke Italia. Saat itu rombongan sedang melintas di sebuah pantai. Tiba-tiba Soekarno secara mendadak memerintahkan seluruh rombongan berhenti.

"Ternyata Bung Karno ingin makan es krim di sebuah restoran. Maka kita semua berhenti untuk makan es krim. Semua duduk bersama di satu meja. Semua ramai menyambut Bung Karno, ada yang bilang kalau Bung Karno ikut Pemilu di Italia pasti menang," kata Saelan sambil tertawa.

Ini Standar Pengamanan Soekarno Oleh Tjakrabirawa


Ini standar pengamanan Soekarno oleh Tjakrabirawa

Resimen Tjakrabirawa bertugas mengawal Presiden Soekarno. Sesuai standar pengamanan kepala negara, ada beberapa lapis pengamanan.

Di ring satu, menempel pada presiden adalah Detasemen Kawal Pribadi (DKP). Anggota DKP ini adalah polisi istimewa pimpinan AKBP Mangil Martowidjojo. Para anggota DKP ini telah mengawal Soekarno sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Anggota DKP menjaga hingga radius 15 meter.

"Setelah itu di ring dua ada Detasemen Kawal Chusus (DKC) yang menjaga hingga radius 50 meter. Untuk pengamanan di ring luar dan istana seperti Istana Negara, Istana Cipanas, Istana Bogor dan lainnya, ada Detasemen Kawal Kehormatan (DKK)," kata mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa Kolonel (Purn) Maulwi Saelan saat berbincang dengan merdeka.com, Jumat (27/9).

Untuk iring-iringan mobil kepresidenan pun tak terdiri dari banyak rombongan. Menurut Saelan, rombongan yang ringkas bisa bergerak lebih cepat.

"Biasanya ada motor sebagai vorijder, lalu jip kepresidenan, baru mobil Bung Karno. Di belakangnya ada dua jip, dari DKP dan DKC. Tak lebih dari enam mobil. Kadang jika dibutuhkan ada panser yang siap melakukan evakuasi pada presiden," kata Saelan.

Untuk di sisi jalan, pengamanan dilakukan oleh satuan teritorial setempat dari Kodam. Karena itu tak butuh terlalu banyak pasukan untuk mengawal iring-iringan rombongan Soekarno.

Jika situasi membahayakan, pengamanan tambahan pun sudah disiapkan guna mengevakuasi sang pemimpin besar revolusi. Jika di darat, Soekarno akan dimasukkan dalam panser yang siap melaju kencang. Di pelabuhan Tanjung Priok tersedia sebuah kapal cepat yang siap membawa Bung Karno ke mana saja. Demikian juga untuk evakuasi lewat udara, sebuah pesawat jetstar kepresidenan selalu siaga di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

"Yang sulit itu menahan rakyat yang ingin bersalaman dengan Bung Karno," kenang Saelan sambil tersenyum. (merdeka.com)

Ahok : Ini Negara Pancasila, Susan Tak Akan Dipindah Karena Agama..!!



Jakarta - Warta Nusantara : Warga Lenteng Agung, menolak kepemimpinan Lurah Susan Jasmine Zulkifli dikampung mereka. Alasannya Susan menganut keyakinan yg berbeda dengan mayoritas warga pemukiman disana. Mereka meminta Gubernur Jokowi dan Wakilnya Ahok, segera memindahkan Susan dari Lenteng Agung. Tapi Jokowi dan Ahok menolak mentah mentah desakan warga Lenteng Agung. Dan Jokowi tidak akan menuruti saran Mendagri Gamawan Fauzi, walaupun sang Lurah di demo warganya. "Pokoknya prinsip kita, tidak mau pindahkan orang karena alasan agama. Enggak ada, ini Negara Pancasila, mana ada gara2 agama" ujar Ahok.

Ahok tidak khawatir bila polemik mengancam keselamatan Susan. Justru Ahok bakal mengganjar warga yg main hakim sendiri sesuai dengan hukum yg berlaku. "Ya kalau sudah parah kita tindak dong, ini Negara hukum" tegas Ahok.

Ahok: saya tidak bela agama, tapi konstitusi. Ahok pun menyatakan tidak akan membabi buta membela orang kristen, jika memang salah. "Kalau memang salah, enggak akan saya bela. Mentang2 lihat Salib lalu saya bela, tidak bisa. Saya taat konstitusi" ujar Ahok.

Hal ini juga mencerminkan bahwa masih banyak warga masyarakat yang belum memahami akan keberadaan negaranya, hal tersebut juga disebabkan oleh salah satunya dogma yang berlaku di kalangan masyarakat. Fakta telah membuktikan, bahwa masih adanya ormas yang mengatasnamakan agama berlaku semena-mena dengan alasan bertentangan dengan paham agamanya.

Adanya pemahaman seperti ini bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah untuk meluruskannya, namun juga peranserta para tokoh agama lebih diutamakan dalam memberikan pemahaman tentang NKRI yang memiliki beraneka ragam suku bangsa, budaya dan agama. Hal tersebut sangat perlu dilakukan demi terbina dan terjalinnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang utuh.

Yenny Wahid Siap Bantu Lurah Susan Atasi Pendemo

Direktur Eksekutif The Wahid Institute, Yenny Wahid menyatakan siap membantu Lurah Lenteng Agung Susan Jasmine Zulkifli mengatasi pendemo yang menuntutnya dicopot dari jabatan lurah. "Kalau Bu Susan takut, saya siap menemani, kapan saja Bu Susan membutuhkan," kata aktivis pluralisme ini, di Jakarta, Kamis, 26 September 2013.

Para pendemo beranggapan Lurah Susan tidak layak memimpin warga Lenteng Agung lantaran beragama Katolik, sedangkan mayoritas penduduknya muslim. Menurut Yenny, hal tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk mencopot jabatan seseorang karena tidak tercantum dalam konstitusi negara ini.

Dalam Islam, kata Yenny, warga non muslim diperbolehkan memimpin warga muslim dan tercantum dalam hadist maupun kitab Al-Qur'an. "Nanti saya kasih tahu warga tentang ayat-ayat yang memperbolehkan non muslim menjadi pemimpin," kata putri mantan Presiden ke empat Indonesia ini.

Untuk itu, Yenny meminta Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang mempunyai kewenangan atas jabatan Lurah Susan untuk tegas terhadap massa-massa intoleran seperti itu. "Harus tegas kita, jangan diberi ruang, nanti akan cari-cari lagi setelah lurah, bisa kepala dinas yang non muslim, camat. Yang penting kita berpegang pada konstitusi. Bener yang diomongkan Mas Jokowi, melihat berdasarkan kinerjanya," kata dia.

Sebelumnya, warga berkali-kali demo meminta Lurah Susan dicopot atau dipindahkan dari Lenteng Agung. Para pendemo mengancam akan terus melakukan aksinya jika Jokowi tidak menuruti kemauan mereka.