Sabtu, 17 Januari 2015

Jeritan Hati Adik Rani Jelang Eksekusi Sang Kakak


Rani Andriani (kiri) terpidana mati kasus narkoba, Neli adik Rani, Andi Sukandi ayah Rani, Siti Khodijah ibunya Rani, dan Poppi Apriyanti, adik Rani. 

Cianjur – WARA - Siapa orangnya yang bakal sanggup menghadapi kenyataan saat sang kakak harus menghadapi hukuman tembak mati? Poppi Aprianti pun demikian. Ia tak sanggup menghadapi kenyataan bahwa kakaknya, Rani Andriani, Minggu (18/1) pukul 00.00 ini akan menjemput ajal di tangan tim eksekusi.

Walaupun tahu Rani bersalah karena terlibat kasus narkoba, Poppi masih berharap hukuman yang ditimpakan itu tidak jadi.
 
Seperti diungkapkan di Poppi di laman media sosialnya, ia tak putus berdoa kepada Allah SWT agar ada pertolongan untuk kakaknya.

"Teteh sing sabar nya, do'a popi teu putus-putus kanggo teteh, mdh"an alloh tiasa nulungan ku carana sendiri ngarah henteu terjadi " kunfayakun" (Teteh, yang sabar yah. Doa Popi tidak pernah putus untuk Teteh, 

Mudah-mudahan Alloh memberi pertolongan dengan caranya sendiri agar ini tidak terjadi. Kunfakun"," tulis Poppi pada Kamis (15/1) melalui perangkat BlackBerry.

Poppi pun menyebutkan bahwa pengadilan dunia bisa dibeli dengan uang, tapi tidak dengan pengadilan akhirat.

"Teteteeeeeeeh hampura popi gustiiiiiii. Ya alloooohhh, mungkin pengadilan dunia bisa dȋ̊ beli dengan uang bagi yang  berada,  tapi ingat pengadilan akherat tidak bisa Θȋ̊ beli dengan rupiah," tulis Poppi. (tribunjabar)

'Buat Apa Jokowi Copot Kabareskrim, Mau Bikin Kisruh Internal?'


Suhardi Alius

Jakarta - WARA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara mendadak mencopot Komjen Pol Suhardi Alius dari jabatan Kepala Bareskrim Polri. Suhardi dikabarkan juga sudah dipindahtugaskan ke Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Sementara kabar santer yang beredar, posisi kabareskrim saat ini akan dialihkan kepada Irjen Budi Waseso.

Pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar mengaku khawatir mutasi mendadak di dalam lingkungan Polri dapat memecah belah Korps Bhayangkara. Apalagi, jika pergantian jabatan tinggi kepolisian terdapat intervensi dari luar dengan mengubah-ubah susunan personel.

"Personel pejabat tinggi masih kondusif, tidak ada masalah, tidak perang-perangan, mungkin ada kecemburuan, kenapa musti diubah-ubah. Jangan sampai ubah-ubah ini akan jadi masalah jadi rumit lagi," tegas Bambang saat berbincang dengan merdeka.com, Jumat (16/1).

Bambang mengaku bingung dengan mutasi besar-besaran di tingkat perwira tinggi tersebut, apalagi perubahan dilakukan sebelum Komjen Pol Budi Gunawan resmi dilantik sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Apalagi, salah satu pejabat yang terkena imbas mutasi itu adalah Komjen Suhardi Alius.

"Budi Gunawan belum dinyatakan, belum dilantik kok ada perubahan. Kalau ini ide Pak Sutarman, saya itu urusan Pak Sutarman, tapi saya khawatir kalau dari luar," lanjut dia.

Menurutnya, kondisi kondusif yang sedang berlangsung saat ini terus dijaga. Namun, jika terjadi intervensi dari luar, termasuk intervensi politik, dia khawatir perpecahan di tubuh Polri seperti era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid kembali terjadi. Ketika itu, kepolisian terpecah menjadi beberapa faksi.

"Ini pikiran saya, jangan sampai mutasi-mutasi ini ada intervensi dari luar. kalau tidak dijaga baik-baik, bisa timbulkan kontradiksi yang tajam. Seperti 2001, saya sendiri ditangkap, ada kubu Khaeruddin, Salim dan Bimantoro. Yang satu dukung pemerintah yang satu, yang satu dukung pemerintahan yang lain, dan saling bertentangan. Ini yang kita jaga agar tidak terjadi," tutupnya. (Merdeka.com)

Imparsial: Eksekusi Mati Tunjukkan Rendahnya Komitmen Jokowi Terhadap HAM


Direktur Program Imparsial, Al Araf
Jakarta – WARA - Imparsial menolak eksekusi mati yang akan dilakukan Kejaksaan Agung terhadap enam terpidana mati kasus narkoba. Menurut Imparsial, eksekusi mati ini menunjukkan rendahnya komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo terhadap hak asasi manusia.

"Jika ini benar-benar dilakukan, pemerintahan Jokowi memiliki komitmen rendah terhadap hak asasi manusia," ujar Direktur Imparsial Al Araf, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (16/1/2015).

Al Araf mengatakan, dalam program Nawa Cita yang digembor-gemborkan oleh Jokowi, terdapat poin yang menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla akan menghormati HAM. Dengan keputusan Kejaksaan Agung yang akan melakukan eksekusi terhadap enam terpidana mati, Al Araf menilai, Jokowi telah melanggar Nawa Cita.

Menurut dia, tidak ada korelasi antara hukuman mati terhadap narapidana narkoba dan penurunan angka peredaran narkoba di masyarakat. Al Araf mengatakan, seharusnya pemerintah melakukan langkah pencegahan, seperti menjaga wilayah-wilayah perbatasan dari praktik penyelundupan narkoba, mengawasi aparat-aparat penegak hukum agar tidak terlibat peredaran narkoba, dan meningkatkan fungsi intelijen. 

Selain itu, penyuluhan di sekolah-sekolah dan peran serta orangtua dan keluarga juga sangat penting dalam pencegahan peredaran narkoba, khususnya kepada generasi muda. Oleh karena itu, Imparsial akan tetap berada pada posisi menolak adanya hukuman mati terhadap terpidana kasus apa pun.

"Saya kira seharusnya hukuman seumur hidup," kata dia.

Sebelumnya diberitakan, kejaksaan memastikan akan mengeksekusi enam terpidana mati kasus narkotika. Eksekusi akan dilakukan pada Minggu (18/1/2015), di dua tempat, yakni di Nusakambangan dan Boyolali. Kepastian itu disampaikan Jaksa Agung HM Prasetyo dalam jumpa pers di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (15/1/2014).

"Regu tembak, rohaniawan, dokter, sudah dipersiapkan," kata Prasetyo.

Prasetyo menjelaskan, dua orang terpidana yang ditahan di Lapas Tangerang sudah dibawa ke Nusakambangan. Keduanya kini ditahan bersama tiga terpidana mati lainnya yang ditahan di sana. Mereka berada di salah satu dari lima lapas di Nusakambangan. Salah satu dari lima terpidana mati itu adalah perempuan. 

Adapun satu terpidana mati lainnya sudah dibawa dari lapas di Semarang ke Lapas Boyolali. Terpidana perempuan itu akan dieksekusi di lapas di Boyolali. (Kompas)

Sigma: Kabareskrim Tak Punya Wewenang Kawal Calon Kapolri


Kapolda Jabar Irjen Pol Suhardi Alius yang dilantik menjadi Kabareskrim Polri mengikuti upacara serah terima jabatan di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (6/12).

Jakarta – WARA - Direktur Sigma Said Solahudin menilai pencopotan Komjen Suhardi Alius sebagai Kabareskrim sungguh mengejutkan.
 
"Saya tidak mengerti, apa kesalahan dari salah satu orang bersih di lingkungan Polri itu? Kalau alasan pencopotan Alius karena dia dianggap gagal mengamankan pencalonan Budi Gunawan sebagai kapolri, maka alasan itu jelas mengada-ada. Proses pencalonan kapolri sama sekali tidak bersentuhan dengan tugas kabareskrim," ujar Said di Jakarta, Jumat (16/1).

Said menambahkan, sangat tidak mungkin Alius dibebankan tugas untuk mengamankan Budi Gunawan, sedangkan proses pencalonan kapolri melibatkan institusi negara seperti Kompolnas yang diketuai Menko Pulhukam, presiden, bahkan 560 anggota DPR.

Ia juga meragukan adanya rumor bahwa Alius dicopot karena dia dianggap punya kedekatan dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), sehingga ia dicurigai turut menyuplai informasi tentang kasus dugaan gratifikasi Budi Gunawan.

"Andaipun benar itu dilakukan oleh Alius, maka dia justru harus dianggap sebagai pahlawan. Itu artinya Alius pro pada pemberantasan korupsi di lingkungan korpsnya," tegasnya.

Said mengatakan, Alius itu merupakan aset Polri. Sepanjang pengamatan Said, Alius adalah orang baik dan bersih.

"Justru saya menilai dialah yang lebih pantas menjadi kapolri, sehingga diharapkan dapat memperbaiki institusi kepolisian. Jadi saya cenderung menduga Alius ini sengaja dicopot justru karena dia dianggap punya komitmen anti korupsi," katanya. (SP)

24 Organisasi Relawan Jokowi Dukung Langkah KPK


Relawan pendukung Presiden Joko Widodo pada Pilpres 2014 lalu menyambangi Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis (15/1/2015). Massa yang tergabung dalam Relawan Salam Dua Jari tersebut mendukung KPK untuk mengambil langkah hukum selanjutnya terkait tersangka rekening gendut Polri yang juga calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan. Selain itu relawan juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk tidak melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Jakarta - WARA - Forum yang terdiri dari 24 organisasi relawan pendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla mendukung penuh langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tersangka kepada calon Kapolri Komjen Budi Gunawan.
 
Meski begitu para loyalis Jokowi ini berharap agar Presiden untuk dapat menunda pelantikan Kapolri sampai KPK bisa memberikan bukti. Mengingat masa bakti Kapolri terbilang masih lama yaknit Oktober 2015.

"Kami harapkan ada penundaan dari pelantikan Kapolri Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, sampai ada bukti kongkrit dari KPK dan juga PPATK," kata Sekertaris Maklumat Relawan Forum Nasional Relawan Indonesia (FNRI), Gatot Ario Bimo, di Jakarta, Jumat (16/1/2015).

Gatot menilai, langkah yang diambil KPK, merupakan langkah yang telah sesuai dengan misi pemerintahan Jokowi-JK

Menurut Gatot, langkah KPK adalah peringatan keras untuk orang-orang yang berada di sekitar Jokowi yang menyodorkan nama Budi Gunawan sebagai Kapolri, padahal memiliki raport merah di KPK.

"Sebagai Presiden yang mempunyai komitmen anti korupsi, Jokowi tentu telah tahu persoalan tersebut.  Kasus rekening gendut diyakini sebagai kasus bukan isu setelah Jokowi mendapat informasi dari KPK dan PPATK," ujarnya.

Oleh karena itu, Gatot menduga alasan dua institusi seperti KPK dan PPATK tidak dilibatkan, karena memang pencalonan sosok Budi Gunawan masuk raport berstabilo merah.

"Nama Budi Gunawan merupakan salah satu calon menteri yang ditelisik KPK dan mendapatkan stabilo alias rapor merah KPK saat itu. Makanya Budi Gunawan tidak dipilih Jokowi menjadi Menteri Pertahanan atau Menko Polhukam," ujarnya.

Dengan adanya penilaian merah KPK, lanjut Gatot, menunjukkan kalau kasus rekening gendut telah diusut KPK dan penetapan tersangka hanyalah tinggal menunggu waktu. Hal itu berbeda dengan stabilo kuning yang berarti terindikasi korupsi namun belum masuk tahap penyidikan.

"Kami berharap semua pejabat yang diberi stabilo merah dapat segera diproses. Karena jika tidak sistem hukum di negara kita tidak terbuka," imbuh Gatot. (Tribun)