Jumat, 21 November 2014

Pakar : Kejaksaan Jangan Sampai Jadi Alat Tawar-menawar Politik


Jaksa Agung Prasetyo (kiri) mendapat ucapan selamat dari sejumlah undangan usai dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Kamis (20/11).


Jakarta - WARA,
Pakar Hukum Chairul Huda menyebut kekhawatiran itu bukan tidak mungkin. Bahkan, ia mencemaskan reformasi Kejaksaan Agung akan terhambat karena rentan dipolitisir.

“Jangan sampai Kejaksaan menjadi alat tawar menawar politik atau sampai dipengaruhi kekuatan politik. Penegakan hukum harus diwaspadai,” ujar Chairul kepada VIVAnews, Kamis 20 November 2014.

Meski Jaksa Agung baru memiliki latar belakang sebagai Jaksa Agung Muda, menurut Chairul tetap saja akan sulit melepaskan kepentingan politik, terutama partai politik yang menjadi koalisinya. Sebab yang bersangkutan sudah tidak bisa lagi murni independen setelah berkecimpung di dunia politik.

“Misalnya ada partai lain, dari Koalisi Merah Putih yang terbelit kasus, karena lawan politiknya, ini juga harus diwaspadai. Rentan dipolitisir. Maka dari itu sejak awal saya menilai Jaksa Agung harus mereka yang tak terafiliasi dengan parpol,” paparnya.

Bukan hanya itu, Chairul juga menyebut beberapa aspek yang rentan pelanggaran hukum yang harus diwaspadai. Salah satunya terkait alih fungsi hutan. Ia khawatir penegakan hukum tak berjalan karena bertentangan dengan kepentingan partai politik.

“Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup adalah menteri dari partai yang sama dengan Jaksa Agung, begitupula dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang. Kita lihat saja lima tahun mendatang apakah penguasaan lahan yang perizinannya tidak benar, alih fungsi hutan, dan kasus-kasus seperti itu diperoses penegakan hukum. Kita akan menghadapi masalah-masalah hukum yang terkait dengan masalah-masalah itu,” terang dia. (VIVA)

ICW: Angkat Prasetyo Jadi Jaksa Agung, Jokowi Bagi-bagi Jatah


Jaksa Agung Prasetyo saat mengucapkan sumpah dalam pelantikan di Istana Negara, Kamis 20/11/2014.
Jakarta – WARA,
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyayangkan langkah Presiden Joko Widodo yang mengangkat politikus Partai Nasdem, HM Prasetyo menjadi Jaksa Agung.

Hal ini diungkapkan Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho di Apa Kabar Indonesia Pagi di
tvOne, Jumat 21 November 2014.

Menurut Emerson, HM Prasetyo tidak memiliki rekam jejak yang menonjol dalam bidang hukum. "Kita juga melihat asal dia dari partai politik. Ini punya dampak serius jika kejaksaan menangani kasus-kasus yang melibatkan partai politik," ujar Emerson.

ICW, kata Emerson, mempertanyakan alasan Jokowi di balik pengangkatan Prasetyo. Sebab, ICW melihat masih banyak figur yang memiliki rekam jejak menonjol dalam bidang hukum.

"Kita butuh jaksa yang revolusioner, karena sesuai dengan jargon Revolusi Mental Jokowi. Kalau bukan revolusioner, yang terjadi adalah terpental. Kita tidak melihat prestasi yang menonjol, yang membanggakan dari Prasetyo. Jokowi mengangkat orang yang biasa-biasa saja," tutur Emerson.

Hal lain yang disorot ICW adalah proses pengangkatan Prasetyo. Emerson mempertanyakan cara Jokowi mengangkat seorang jaksa agung yang terkesan disembunyikan.

"Padahal, untuk pengangkatan menteri saja sangat ketat sampai melibatkan KPK dan PPATK. Nah, untuk Prasetyo ini, kita tidak pernah lihat. Jokowi-JK tidak menjelaskan alasan memilih Prasetyo. Jangan-jangan ini bagi-bagi jatah kekuasaan," ujar Emerson.

Emerson mempertanyakan spirit penegakan hukum Jokowi. Terbukti, pengangkatan terhadap Prasetyo menjadi tanda tanya besar, apakah Jokowi serius untuk melakukan penegakan hukum. "Jujur, saya agak pesimis dengan pengangkatan Prasetyo ini," kata Emerson.

HM Prasetyo resmi menjadi Jaksa Agung setelah dilantik Presiden Joko Widodo pada Kamis 20 November 2014 di Istana Negara, Jakarta.

Anggota DPR periode 2014-2019 itu dilantik menjadi Jaksa Agung berdasarkan Keputusan Presiden no 131 Tahun 2014 tentang Jaksa Agung. Keputusan ini berlaku sejak pelantikan. Sebelum terjun ke dunia politik praktis, Prasetyo merupakan jaksa karir. (
VIVAnews)

Merduksi Pasan Karet UU ITE

Jakarta - WARA,
Kontroversi pasal 27 ayat 3 UU ITE terus bergulir. Pasal itu adalah pencemaran nama baik. Sejak diluncurkan, beberapa kali uji materi UU ini dilakukan ke MK. Mereka berharap pasal tersebut dicabut. Setidaknya ada 4 kali uji materi digelar. Semuanya gagal.

Uji materi pertama, MK menolak permohonan itu. Di putusan itu, Ketua MK Mahfud MD juga menyatakan berkas permohonan yang diajukan oleh banyak orang, termasuk Iwan Piliang dan beberapa lembaga pers seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers tidak tepat. 
Menurut MK, pidana penjara dianggap masih relevan untuk pelaku pencemaran nama baik. Ditambah, nama baik, martabat atau kehormatan seseorang adalah kepentingan yang dilindungi hukum dan konstitusi.

Uji materi pada 2009, MK menolak dengan alasan norma pada Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 1 UU ITE tetap konstitusional dan tak bertentangan dengan nilai demokrasi, HAM dan prinsip negara hukum. Menurut MK kala itu, perbedaan ancaman hukuman antara pasal 45 ayat 1 UU ITE dengan pasal 310 KUHP sangat wajar. Pasalnya, kata MK, distribusi dan penyebaran informasi melalui media elektronik relatif lebih cepat, jangkauannya juga luas, dan memiliki dampak massif.

Wahyudi Jafar, peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyatakan, pasal pencemaran nama baik tidak ditemukan di awal RUU ITE ini dibentuk. Yang ada hanya beberapa tindak pidana kejahatan komputer, perjudian dan pornografi.

“Dalam proses pembahasan, beberapa bulan kemudian, di tengah-tengah, muncul pidana pencemaran nama baik ini, dimasukkan dalam klausul UU ITE,” ujarnya.

Ketua Indonesia Online Advocacy (IDOLA), Megi Margiyono menganggap, sejak awal, UU ITE telah melenceng dari tujuan dasarnya. Semula UU ITE dibuat untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya, baik aksi hacker, penipuan online, e-commerce palsu. Namun kenyataannya, malah UU ITE tidak digunakan untuk itu semua, hamper 95 persen kasus UU ITE terkait dengan pencemaran nama baik.

“Problemnya menerjemahkan kata informasi. Orang ahli hukum dan DPR itu nggak tahu.Sebenarnya informasi itu lex informatika. Ini UU tentang informatika dan komputer, bukan UU tentang pengetahuan informasi. Kalau kita belajar cyber law, itu hukum komputer. DPR mengartikan informasi itu berita, sehingga nggak nyambung antara informasi dan transaksi elektronik. Ini klusternya saja sudah beda,” papar Megi.

Meski telah 4 kali ditolak, pengguna internet yang tergabung dalam beberapa asosiasi tidak mau menyerah begitu saja. Mereka dikabarkan sedang menyiapkan langkah baru untuk mengajuan uji materi ke-5.

Judicial review yang kelima sedang diupayakan. Celah hukum lain adalah berupaya ini jadi perhatian MA, untuk bisa menerbitkan SEMA atau Perma. Dasarnya, kasus ITE sudah terlalu banyak dan ada ketidakadilan dalam prosesnya. SEMA bersifat menghentikan proses, menganjurkan agar jangan pakai pasal 27 ayat 3. Atau kalau pakai Perma, itu dianggap sudah sah untuk tak gunakan pasal itu, sampai diperbaiki,” ujar Damar Juniarto dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet).

Bahkan ada upaya juga dari ELSAM untuk mengajukan uji materi dengan melibatkan pihak-pihak terkait, baik mantan korban jerat UU ITE dan para asosiasi terkait internet dan informasi elektronik. Mereka akan mengajukan dalil baru yang lebih sulit dan bisa meyakinkan MK untuk bisa melakukan pengujian kembali.

“Pemohonnya adalah mereka yang pernah dijerat UU ITE, KUHP yang melakukan tindak pidana dengan menggunakan sarana elektronik.Kami gunakan perbedaaan perlakuan masing-masing korban. Problem kami kalau dulu argumen konstitusionalnya sudah kami gunakan," kata dia.

Sementara pasal 60 UU MK mengharuskan mengajukan argumen konstitusional baru. Ini yang sulit. Harus dicari celahnya untuk yakinkan MK untuk diuji kembali. "Kebetulan kami sudah lakukan assesment penerapan UU ITE untuk dua isu, penggunaan pasal 27 ayat 3 dan soal tindakan blokir sewenang-wenang. Dari studi kami itu digunakan untuk ajukan kembali pengujian,” ujar Wahyudi.

Sayangnya, Wahyudi sendiri belum bisa menentukan kapan pengajuan itu  akan dilakukan.

Dicabut atau Kurangi Hukuman

Judicial Review merupakan langkah penting yang bisa dilakukan untuk merevisi pasal karet di UU ITE tersebut. Kuncinya hanya ada di hakim untuk bisa mengeluarkan keputusan guna mengubah kandungan dalam UU tersebut, khususnya di pasal 27 ayat 3.  Hanya hakim yang memiliki peran penting dalam hal ini.

“Dalam penegakan hukum, polisi sangat menjalankan apa yang tertulis. Polisi juga tak boleh menolak aduan, dia harus melayani dan wajib meneruskan. Nah hakim, selain menguji suatu kasus, dia juga berwenang dalam temuan hukum atau yurisprudensi. Termasuk melihat hukum ini relevan atau tidak. Moratorium sebaiknya di hakim,” ujar Damar.

Menurut Damar, pasal ini sepertinya sengaja diselundupkan karena usulan awal untuk jerat hukum ini hanyalah 3 tahun. Dalam perjalanannya, dalam RUU ini, angka itu dianggap tidak cukup menjerat hingga akhirnya ditambahlah menjadi 6 tahun. Kebanyakan mereka mengusulkan dua opsi terhadap pasal ini, diubah atau dicabut.

“Diharapkan ini dicabut atau dipindahkan. Pencemaran nama baik harusnya menjadi perdata saja. Jadi ketika seorang merasa tercemar nama baiknya oleh orang lain tinggal gugat saja orang itu. Tinggal bagaimana ada batas yang jelas, bagaimana mengukur nilai kerugian materi, immateriilnya. Ini lebih clear,” jelas Wahyudi.

Donny BU dari ICT Watch mengamini. Kata dia, ada baiknya jika memang sulit untuk mencabut atau memindahkannya ke perdata, hukuman dalam pasal itu bisa dikurangi.

"Sayangnya, susah dibalikin ke KUHP karena internet dianggap hal yang baru. Jadi satu-satunya solusi adalah mengurangi hukuman. UU ini mirip oknum polisi yang ngumpet di tikungan. Kalau tidak sengaja melanggar rambu, tetap ditilang," kata dia.

Opsi ideal, harus ada UU tersendiri yang mengurus masing-masing ranah. Misalnya e-commerce, maka harus dibuat UU e-commerce demikian juga informatika dan perlindungan data komputer. “Opsi ideal kembalikan ke UU e-commerce. Nggak ngurusi informasi yang bukan ranahnya," kata Megi.

Jika mau kompromi ya pasalnya disamakan KUHP, agar tidak diskriminasi. "Saya menghina di koran kena 1 tahun dan hina internet kena 6 tahun. Sementara sekarang kecenderungannya online, cetak pun punya versi online,” kata Megi.


Panic Button untuk Korban Jerat UU ITE

Dengan beralihnya pemerintahan ke kekuasaan baru, sebagian besar penggiat internet melihat adanya secercah harapan. Menkominfo baru diharap mau bergerak untuk merevisi aturan ‘balas dendam’ di pasal 27 ITE ini. Beruntung, Menkominfo bersikap reaktif dengan menggelar berbagai diskusi melibatkan beragam asosiasi penggiat internet. Hal ini dianggap sebagai hal yang positif.

“Kita punya peluang, ada Menkominfo baru, apakah dia melihat internet ini sebagai ancaman atau tidak. Itu hal yang bisa mendukung sebagai masyarakat,” ujar Damar.

Namun begitu, lanjut dia, yang harus diperbaiki adalah pola pikir dengan tidak memandang internet sebagai ancaman tapi sebagai bagian dari demokrasi. Itu merupakan pandangan dunia internasional terhadap internet.

“UU ITE harus segera direvisi untuk mengadopsi apa yang terjadi. Kita harus meniadakan pembiaran itu. Harus tetap dilawan,” katanya.

Megi pun menyatakan persetujuannya untuk memoratorium penggunaan pasal 27 ayat 3 ini. Dia menyarankan agar moratorium ini dilakukan sampai UU tersebut bisa direvisi dengan benar, atau setidaknya tak berlaku lagi.

“Pidana itu jalan terakhir. Sekarang malah menjadi premium pretitum, dipidanakan dulu.  Premium petitum itu digunakan ketika cara-cara lain tak bisa menyelesaikan, ada damage. MA harus membuat surat edaran kepada para hakim agar kasus UU ITE jangan ditangani,” katanya.

Ditambahkan Damar, saat ini Safenet dan asosiasi lainnya telah bekerja sama untuk membantu korban jerat UUT ITE. Sebelumnya mereka membuat kelompok tekanan publik dengan harapan korban jerat ITE bisa dibebaskan. Ambil contoh Prita, Benhan, Ervani.
Tapi, jelas Damar, tekanan publik ini dianggap melelahkan jika korbannya semakin banyak. Akhirnya, mereka pun membuat sistem baru yang disebut dengan panic button.

Dijelaskannya, ini merupakan sebuah sistem yang bisa dilakukan oleh semua pegiat internet untuk bersatu ketika terjadi kasus ITE. Nantinya, semua lembaga yang terlibat dalam isu kebebasan ekspresi melakukan tugasnya berdasarkan urutan.

"Pada saat yang sama dilakukan dokumentasi. Kedua, siapkan advokasi hukumnya, dan non hukumnya. Lalu disiapkan platform teknik button-nya," ujarnya.

Cara ini dibuat dengan sistem yang lebih integratif. Modelnya sekarang ini baru laporan lewat telepon. Namun nanti akan via online. Cukup mengisi formulir pada internet. "Korban akan langsung mendapat bantuan mulai dari lawyer sampai dukungan publik," ujar Damar.

Menanggapi desakan yang menghantam Kementerian Kominfo untuk segera mencabut pasal karet itu. Menkominfo baru,Rudiantara, mengaku sedanng menjajaki usulan revisi UU tersebut. Penjajakan usulan ini diambil setelah ia berdikusi dengan banyak kalangan masyarakat.

“Kami ini bicara dengan masyarakat. Opsinya adalah men-judicial review atau revisi pasal 27, terutama tentang lamanya hukuman pidana yang dijatuhkan. Bahwa jadi atau tidak, kan kita lihat prosesnya di DPR dan masyarakat,” ujar RA, sapaan akrab Rudiantara. (
VIVAnews)

Kemenhuk HAM: Tak Mudah Cabut UU Penodaan Agama


Tajul Muluk, pemimpin komunitas Syiah di Sampang, Madura, dipenjarakan setelah dituduh menodai agama.

Jakarta - WARA,
Pemerintah Indonesia menyatakan diperlukan kajian mendalam terlebih dulu sebelum mencabut sebuah undang-undang di tengah desakan mencabut Undang-Undang Penodaan Agama.
 
"Baik untuk mengeluarkan sebuah undang-undang baru maupun mencabut sebuah undang-undang, perlu ada kajian akademis maupun empiris. Tidak hanya sekedar wacana saja dan dengan mudah disampaikan pencabutan (undang-undang)," kata Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM, Wicipto Setiadi, kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.

Hal itu dikemukakan Wicipto menanggapi desakan lembaga pegiat hak asasi manusia, Amnesty International, yang meminta pemerintah segera mencabut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

Undang-undang itu sebelumnya pernah diajukan untuk uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada April 2010 oleh sejumlah lembaga, termasuk Imparsial, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau ELSAM, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Namun, MK menolak permohonan uji materi tersebut dengan alasan pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya bahwa pasal-pasal tersebut melanggar konstitusi, mengancam kebebasan beragama, dan bersifat diskriminatif serta berpotensi melakukan kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas.

Dipakai lebih dari 100 kali
Peneliti Amnesty International, Papang Hidayat, berpendapat Undang-Undang Penodaan Agama tidak sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia.

"Selama Orde Baru, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 sedikit sekali digunakan. Hanya ada 10 orang yang dipidana menggunakan undang-undang ini. Namun, ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai presiden, antara 2004 dan 2014, angka pemidanaan menggunakan undang-undang ini meningkat drastis menjadi 106 orang," ungkap Papang.

Salah seorang mantan terpidana akibat Undang-Undang Penodaan Agama ialah Arswendo Atmowiloto.
Pria itu pernah berkasus lantaran mempublikasikan angket tokoh dalam tabloid Monitor pada 1990 lalu.
"Waktu itu saya merilis angket yang membandingkan Nabi Muhammad dengan manusia biasa. Sebelumnya tidak pernah ada penjelasan polling seperti itu bisa dianggap menghina. Padahal, sebelumnya, majalah Tempo membuat polling yang kurang lebih sama, tak kena apa-apa," ujarnya.

Arswendo mengatakan isi Undang-Undang Penodaan Agama perlu dirinci lebih dalam.
"Mungkin harus dijelaskan secara detail, mana yang blasphemy (menghujat), mana yang termasuk penghinaan, dan mana yang tidak (termasuk dalam kategori tersebut). Kan bisa ditafsirkan luas," kata Arswendo. (BBC)