Jumat, 16 Januari 2015

Ketua KPK: Budi Gunawan Pasti Ditahan


Ketua KPK Abraham Samad bersama Relawan Salam Dua Jari melakukan aksi menolak Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri di gedung KPK, Kamis (15/1/2015).

Jakarta - WARA - Relawan Salam Dua Jari mendesak agar KPK mengusut kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait transaksi mencurigakan atau tidak wajar, dengan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan.

Bahkan, massa relawan yang merupakan pendukung Joko Widodo saat mencalonkan diri sebagai Presiden itu, mendesak agar KPK segera menahan Budi Gunawan.

"Menangkap dan menahannya saya kira itu pilihan yang tepat dan harus segera dilakukan oleh KPK," kata salah satu perwakilan relawan, yang juga merupakan, Sekjen Transparency International Indonesia, Dadang Trisasongko, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis 15 Januari 2015.

Dadang mengatakan bahwa KPK harus segera mengambil langkah yang cepat dan tegas terkait kasus Budi Gunawan, termasuk upaya penahanan tersebut. Lantaran, jika nantinya Budi Gunawan dilantik sebagai Kapolri, maka berpotensi untuk menghambat proses penegakan hukum.

"Kami ingin KPK mengambil langkah yang cepat, tegas terkait dengan kasus BG, karena kalau dia sudah menjadi Kapolri atau dilantik jadi Kapolri kewengannya akan begitu besar, dan potensial juga akan menghambat proses penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK," tutur dia.

Ketua KPK, Abraham Samad, menegaskan bahwa seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh pihaknya, pasti akan ditahan. Menurut dia, tersangka di KPK akan ditahan jika proses pemberkasan sudah 50 persen.

"Saya tegaskan tidak ada tradisi dan tidak pernah diberlakukan di KPK bahwa seseorang yang sudah ditetapkan jadi tersangka tidak ditahan," kata Abraham.

Dia menambahkan, proses pemberkasan seorang tersangka menjadi salah satu pertimbangan penahanan lantaran KPK terikat aturan dalam KUHAP. Seorang tersangka yang ditahan, maka proses penyidikannya dalam 120 hari harus segera rampung, kalau tidak tersangka itu dapat bebas demi hukum.

Meski demikian, Abraham menegaskan bahwa pada saatnya nanti, Komjen Budi Gunawan pasti akan ditahan. "Sehingga teman-teman tidak perlu ada keraguan kapan BG ditahan. Itu cuma masalah SOP dan prosedur hukum yang harus kita lewati," tegas Abraham. (VIVAnews)

Guru Honorer Demo di Depan Istana Negara


Ribuan guru honorer se-Indonesia Kategori dua (K2), menggelar aksi demo tepat di depan Istana Negara, Kamis (15/1/2015) 

Jakarta - WARA – Ribuan guru honorer se-Indonesia Kategori Dua (K2), menggelar aksi demo tepat di depan Istana Negara, Jalan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (15/1/2015). Para guru honorer ini menuntut agar pemerintah memperhatikan kesejahteraan seorang guru honorer, dengan cara mengangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
 
"Untuk pak Jokowi. Kami selaku guru honorer sudah belasan, bahkan 20 tahunan lebih mengabdi menjadi guru honorer. Namun, kesejahteraan kami jauh dari kelayakan. Kami minta untuk diangkat menjadi PNS! Hidup guru Honorer!" teriak orator aksi tersebut.

Pantauan Wartakotalive.com, ribuan guru membawa spanduk berukuran besar, berisikan tuntutan-tuntutan mereka untuk pemerintah. Beberapa dari mereka juga membawa umbul-umbul dan bendera merah putih.
Mereka yang guru honorer, tak hanya berasal dari se-Jabodetabek. Bahkan perwakilan dar luar Jakarta pun ada, salah satunya Sumatera.

Tak hanya itu, mereka juga berasal dari beberapa organisasi, yakni Asosiasi Guru Honor. Indonesia (AGHI) Kota Bandung, Guru Honor K2 Indonesia Bersatu Jawa Barat, dan Forum Komunikasi Honorer Kota Bogor.

Adanya keberadaan mereka, beberapa personel kepolisian tengah berjaga-jaga. Penjagaan tersebut dilakukan agar para pendemo tidak menyerukan aksinya sampai ke tengah jalan.

Beberapa kepolisian lainnya pun tengah mengatur lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan di Jalan Merdeka Utara. Hingga ini, para guru honorer masih melakukan aksi demonya di Depan Istana Negara. (Wartakota)

Jokowi Langgar Tradisi Ketatanegaraan



Jakarta – WARA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menilai, Presiden Joko Widodo akan mengubah tradisi ketatanegaraan yang telah berjalan baik, jika tetap melantik Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman. 

Jokowi dinilai tidak mengindahkan tradisi memberhentikan pejabat atau penyelenggara negara yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Tradisi itu dipatuhi selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

"Ada tradisi ketatanegaraan yang dianut presiden sebelumnya, bahwa pejabat negara yang aktif saja sesudah ditetapkan tersangka harus diberhentikan, dan tradisi ketatanegaraan itu patuh dilaksanakan Presiden SBY," kata Abraham, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (15/1).

Abraham mencontohkan, pejabat aktif yang mengundurkan diri atau diberhentikan SBY setelah ditetapkan menjadi tersangka antara lain Menpora Andi Mallarangeng, Menteri Agama Suryadharma Ali serta Menteri ESDM, Jero Wacik.
"Ketika Menpora tersangka pada saat itu mundur. Saat pak Jero Wacik jadi tersangka, pada saat itu juga SBY meminta mundur. Begitu juga ketika Suryadharma Ali kita tetapkan tersangka, dia meminta mundur," tuturnya.

Untuk menjaga tradisi ketatanegaraan yang telah terjaga, Abraham meminta Jokowi untuk membatalkan rencana pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman.

"Ini belum jadi pejabat, karena itu kalau harus mengikuti tradisi ketatanegaraan, maka tidak ada jalan pak Jokowi harusnya membatalkan. Kalau tidak berarti Jokowi langgar tradisi ketatanegaraan," tegasnya.

Sebelumnya, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait transaksi mencurigakaan atau rekening gendut, pada Selasa (13/1) lalu. 

Budi disangka menerima suap dan gratifikasi saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi SDM Mabes Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di Kepolisian RI. 

Atas tindak pidana yang dilakukannya, Budi dijerat pasal 12 huruf a atau huruf b, pasal 5 ayat 2, 11 atau pasal 12 UU nomor 31/1999 jo UU nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tipikor dan jo pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. (SP)

Pakar Tata Negara: Budi Kapolri, Legal Tapi Tak Bermoral

Komjen Pol Budi Gunawan di sela rapat paripurna DPR penetapan dirinya sebagai Kapolri, Kamis (15/1).
Jakarta - WARA - Dengan menyandang status tersangka, Komjen Pol Budi Gunawan lolos mulus dari uji kelayakan dan kepatutan Komisi III DPR dan hari ini, Kamis (15/1), ditetapkan sebagai Kapolri pengganti Jenderal Sutarman. Budi dianggap cakap memimpin Polri.

Ini kali pertama seorang tersangka menjabat Kapolri. Belum genap sepekan Presiden Joko Widodo menyerahkan surat penunjukan Budi ke DPR, KPK mengumumkan Budi sebagai tersangka.

DPR bermain di ranah politik, berbenturan dengan KPK di arena hukum. “Jokowi dan DPR ada di wilayah poltik, ingin mempermainkan hukum. Sementara KPK di wilayah hukum, ingin bermain politik,” kata pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Prof Dr Sudjito.

Guru Besar Fakultas Hukum UGM itu mengatakan jika merujuk hukum positif di Indonesia, sangat mungkin Budi dilantik sebagai Kapolri. Hal itu legal secara konsitusi meskipun yang bersangkutan seorang tersangka. Namun, kata Sudjito, faktor moral dilupakan jika Budi benar-benar dilantik Jokowi.

“Kalau Jokowi tetap melantik (Budi Gunawan), berarti proses politiknya lancar, tapi mengandung moralitas yang tidak baik karena mengabaikan faktor hukum,” kata Sudjito.

Secara logika, ujar Sudjito, sangat tidak wajar orang nomor satu di Kepolisian memiliki masalah hukum, terlebih terlibat kasus korupsi di negara yang tengah berperang melawan korupsi.

Mengabaikan faktor moral dalam pemilihan seorang Kapolri hanya berbuntut pada permainan tebak tafsir konstitusi antara sah dan tidak sah belaka. Status tersangka seorang Kapolri adalah preseden buruk bagi republik ini.

Kentalnya kepentingan penguasa dalam pengajuan calon Kapolri, menurut Sudjito, terlihat mulai dari timing KPK yang secara ‘kebetulan’ mengumumkan status tersangka Budi, proses uji kelayakan dan kepatutan terhadap Budi, dan mayoritas fraksi di DPR yang setuju Budi menjadi Kapolri.

“Intinya itu dugaan KPK main politik, sedangkan DPR dan pemerintah main hukum. Semacam silang kewenangan. Budi bisa tahun 2010 atau 2013 dijadikan tersangka, tapi kenapa baru sekarang? Tapi mungkin kebetulan waktunya pas saat ini KPK mendapatkan dua alat bukti,” kata Sudjito.

Satu hal penting lain, dengan ketiadaan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di KPK, tak ada alasan bagi lembaga antikorupsi itu untuk menghentikan proses hukum. Ini membuat satu kaki Budi berada di balik jeruji besi. Tidak ada dalam sejarah KPK, penetapan tersangka tak diiringi oleh nasib si tersangka menjadi terpidana di kemudian hari.

Seharusnya, kata Sudjito, etika, moral, dan keadilan menjadi faktor utama dalam mempertimbangkan saling sengkarut Budi Gunawan. Sayangnya hal ini tidak diterapkan. Akibatnya, kini kita memiliki Kapolri baru yang sekaligus tersangka kasus transaksi tak wajar. (CNN)

Mendagri Ingin DPR Segera Sahkan Perppu Pilkada

Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) didampingi Ketua Harian Partai Demokrat Syarif Hasan (kiri) saat memberikan keterangan pers terkait rencana Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undangan (Perppu) terkait soal UU Pilkada. Jakarta, Selasa (30/9/2014).
Jakarta - WARA - Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menggelar rapat kerja dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan agenda membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam rapat yang digelar pada Kamis malam (15/1) ini Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, pemerintah ingin Perppu Pilkada tersebut segera disahkan oleh DPR RI.

Tjahjo juga mengatakan, keinginan tersebut yang menjadi dasar rapat kerja tersebut diadakan malam ini. "Itulah makanya dijadwalkan (rapat) malam ini. Perppu kan hak DPR, jadi dipercepat agar ada persiapan KPU dan persiapan dananya," ujar Tjahjo ketika ditemui di kompleks DPR RI, Kamis (15/1).

"Makanya malam ini kita marathon," lanjut mantan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut.

Tjahjo mengungkapkan posisi Kemendagri saat ini hanya sebagai pendamping dan dia meminta DPR untuk segera menyelesaikan tugasnya karena dia yakin DPR tidak akan mempermalukan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Tugas DPR tinggal mengesahkan. Kami sekarang dalam posisi pasif dan kami pun yakin DPR tidak akan mempermalukan Pak SBY," katanya.

Sebelumnya Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perppu Pilkada sebagai balasan atas reaksi masyarakat terkait UU No. 22 Tahun 2014 yang saat itu direvisi menjadi kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Saat itu masyarakat menentang UU Pilkada tersebut karena dianggap merenggut kebebasan memilih yang dimiliki masyarakat.

Berdasarkan pantauan CNN Indonesia, rapat kerja di Komisi II sudah dimulai sejak pukul 20.00 WIB. Tjahjo Kumolo terlihat sudah hadir di ruang rapat, begitu juga dengan Menkumham Yasonna Laoly. Pada awal rapat, Menteri Yasonna juga menyatakan harapannya agar DPR segera mengesahkan Perppu Pilkada. Menurutnya, pengesahan tersebut menjadi penting agar kondisi dapat kembali ke normal.

"Berlakunya Perppu No.1 menjadi penting sebagai prinsip kedaulatan di tangan rakyat. Pilkada tidak langsung juga telah mendapat penolakan yang luas di daerah. Karena itu, Komisi ini ada dalam kegentingan untuk segera menerapkan Perppu tersebut, agar dapat segera kembali ke kondisi normal. Karena itu kami menyarankan agar disahkan sesegera mungkin agar dapat terselenggara dengan baik," papar Yasonna.

PDIP: Penerbitan Perppu Pilkada Memenuhi Syarat
Fraksi PDI Perjuangan menyampaikan dukungan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada secara tertulis. Dukungan ini disampaikan dalam rapat kerja yang dilakukan Komisi II bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Dalam Negerti Tjahjo Kumolo.

"PDIP menghargai sikap pemerintah terdahulu soal Perppu Pilkada, kemudian kami melihat penerbitannya memenuhi syarat," kata Anggota Komisi II Fraksi PDIP Arif Wibowo di ruang rapat Komisi II, Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (15/1).

Pandangan ini disampaikan, jelas Arif, setelah melakukan penilaian secara objektif dan menemukan Perppu tersebut menjamin Pilkada berjalan demokratis seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 18 Ayat 4.

"Selain penilaian objektif, PDIP melihat ada unsur kegentingan karena pada 2015, terdapat 204 kepala daerah yang habis masa jabatannya. Sehingga Pilkada 2015 perlu payung hukum," ujar Arif.

Untuk itu, lanjut Arif, PDIP mengusulkan agar penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2014 dibahas lebih lanjut sesuai mekanisme yang ada dan dalam waktu yang lebih singkat.

Diketahui, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menebitkan Perppu Pilkada sebagai balasan atas reaksi masyarakat terkait UU Nomor 22 Tahun 2014 yang membuat pilkada dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Publik menentang UU Pilkada tersebut karena dianggap merenggut kebebasan memilih yang dimiliki masyarakat.

Sepanjang tahun 2015, pilkada serentak akan diikuti 204 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2015. Dari 204 daerah tersebut, 170 di antaranya kabupaten, 26 kota, dan 8 provinsi, yakni Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Utara. (CNN/Red)

Kompak Loloskan Budi Gunawan, KMP Sengaja Beri "Bola Panas" untuk Jokowi



Calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan saling berpegangan tangan dengan anggota Dewan usai mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (14/1/2015). Sebelumnya Komjen Pol Budi Gunawan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tekait dugaan rekening gendut Polri.

Jakarta - WARA - Presiden Joko Widodo diingatkan untuk berhati-hati menyikapi keputusan Komisi III DPR yang secara aklamasi menyetujui Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan sebagai Kapolri. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia Budiatna, mengatakan, keputusan DPR sarat dengan kepentingan politik.

Ia menilai, ada sejumlah hal yang dapat dilihat ketika DPR secara kompak menerima Budi Gunawan. Menurut Budi, ada keanehan karena sama sekali tak ada tentangan dari Koalisi Merah Putih yang selama ini selalu berseberangan dengan Jokowi dan koalisi pendukungnya.

"Semuanya mendukung, kecuali Fraksi Demokrat. Bisa saja DPR ingin merangkul Jokowi, karena di situ ada Golkar kubu Agung Laksono, ada PPP dan PAN yang ingin dekat dengan Jokowi," kata Budiatna, saat dihubungi, Rabu (14/1/2015).

Kemungkinan lainnya, kata Budiatna, fraksi-fraksi anggota KMP sengaja meloloskan Budi Gunawan karena ingin memberikan bola panas pada Jokowi.

Seperti diketahui, Budi telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Jokowi akan terkena imbas negatif jika melantik tersangka korupsi sebagai pejabat negara.

Budiatna mengatakan, jika ingin mewujudkan pemerintahan bersih dan penegakan hukum, seharusnya Budi Gunawan tidak diloloskan sebagai Kapolri. Ia juga menyarankan Jokowi tidak melantik Budi Gunawan karena langkah itu akan menghancurkan harapan dan kepercayaan publik kepada pemerintah. 

Apalagi, KMP dan Koalisi Indonesia Hebat, menurut Budi, kehilangan daya kritis karena meloloskan Budi Gunawan dalam proses politik di parlemen. Padahal, dua kekuatan politik itu sama-sama mengklaim berkomitmen pada upaya pemberantasan korupsi sehingga seharusnya tak ada alasan untuk menerima Budi Gunawan sebagai Kapolri.

"Bisa juga karena ingin menjebloskan Jokowi. Komisi III kan diisi para ahli hukum, jadi mereka tahu KPK tidak seenaknya menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, minimal ada dua alat bukti," ujarnya.

Keputusan Jokowi disayangkan
Selain mengingatkan Jokowi, Budiatna juga menyayangkan keputusan Jokowi memilih Budi Gunawan dan mengajukannya sebagai calon tunggal Kapolri. Menurut dia, polemik ini tak akan terjadi jika sejak awal Jokowi mempertimbangkan catatan KPK yang memberikan "stabilo merah" untuk Budi Gunawan.

"Kalau ditarik ke belakang, ini kesalahan Jokowi. Dia tahu betul Budi Gunawan bermasalah, tapi kenapa Jokowi mau mengorbankan dirinya," kata Budiatna.

Pada Rabu (14/1/2015) kemarin, Komisi III DPR menyetujui Komisaris Jenderal Budi Gunawan menjadi Kapolri. Keputusan itu diambil secara aklamasi setelah Komisi III melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan atas calon tunggal Kapolri yang dipilih Presiden Jokowi.

Ketua Komisi III DPR RI Azis Syamsudin mengatakan, keputusan tersebut akan dibawa dalam sidang paripurna yang rencananya digelar pada Kamis (15/1/2015) pukul 09.00 WIB.

Jokowi menyatakan, akan mengikuti proses yang berjalan di DPR sebelum memutuskan kelanjutan pencalonan Budi Gunawan. Ia mengaku, pencalonan Budi Gunawan sudah melalui berbagai proses. Menurut Jokowi, nama Budi Gunawan masuk dalam daftar calon yang direkomendasikan Komisi Kepolisian Nasional. Jokowi juga mengatakan, ia sudah mengklarifikasi terkait persoalan rekening gendut Budi Gunawan. Berdasarkan dokumen yang diterimanya, transaksi keuangan Budi dinyatakan wajar.

Sebelumnya diberitakan, pada Selasa (13/1/2015), KPK mengumumkan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka dengan dugaan terlibat transaksi mencurigakan atau tidak wajar. Penyelidikan mengenai kasus yang menjerat Budi telah dilakukan sejak Juli 2014. Atas perbuatannya, Budi disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, dan Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1KUHP. (KOMPAS.com)