Jumat, 30 Januari 2015

PDI-P Dianggap Jadi Penghambat Utama Kinerja Presiden Jokowi



Jakarta - WARA - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti menilai kinerja yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo dalam 100 hari menjalani pemerintahan belum maksimal.

Menurutnya, Jokowi kerap menemui hambatan dalam menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia.
"Hambatan utama kinerja presiden adalah partai pendukungnya sendiri. Partai yang ajukan namanya sebagai presiden, PDI-P," kata Ikrar dalam "Diskusi 100 Hari Pemerintahan Jokowi-JK" di kawasan Jeruk Purut, Jakarta Selatan, Kamis (29/1/2015).

Ikrar menuturkan, tidak bisa dibayangkan seorang kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Effendi Simbolon mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintahan Jokowi tidak berlangsung lama. Padahal menurutnya, Jokowi tidak dapat di-impeachment karena kinerja.

"Partai ini benar-benar amburadul," tuturnya.

Masih kata Ikrar, PDIP juga menjadi penyebab terjadinya kisruh antara KPK-Polri. Hal itu terkait pernyataan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto membeberkan bahwa Ketua KPK Abraham Samad kerap melakukan pertemuan dengan partai pemenang Pileg 2014 tersebut.

"Kalau ada enam kali pertemuan Abraham Samad bertemu PDIP, karena partai itu memberikan kesempatan. Kalau Abraham nakal, PDIP juga nakal," ujarnya.  (KOMPAS.com)

Pengamat: Jokowi Mulai Sadari Pentingnya Pengelolaan Kekuasaan


M Qodari
Jakarta – WARA - Pengamat politik dari Indobarometer, M Qodari memandang pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Prabowo Subianto memberikan sinyal Jokowi mulai menyadari pentingnya pengelolaan kekuasaan.

"Pertemuan dengan Prabowo sinyal bahwa Jokowi mulai menyadari dia harus memikirkan persoalan pengelolaan kekuasaan. Dia harus mampu mengendalikan kekuasaan politik," kata Qodari di Jakarta, Kamis.

Menurut Qodari, posisi Presiden Jokowi saat ini tidak cukup mencerminkan kesuksesan dalam konteks mewujudkan sistem pemerintahan presidensial sesungguhnya.

Dia menjelaskan, dalam sistem pemerintahan presidensial yang dapat diartikan sebagai wujud konstitusional dari sebuah kerajaan, maka presiden seharusnya adalah raja.

Presiden harus mampu memikul dan mengambil keputusan atas segala macam urusan kenegaraan dan permasalahannya.

"Dari situ ada benang merah, bahwa Jokowi saat ini tidak cukup ’powerful’ dalam posisi sebagai Presiden. Ini sebuah realita yang bisa dikatakan pahit dan juga sebuah tantangan," jelas Qodari.

Akibat posisinya yang lemah secara politik, Qodari berpendapat Jokowi bak sedang mendayung di antara dua karang di 100 hari masa pemerintahannya.

"Jokowi bisa mengalkulasi kekuatan politiknya. Pertemuan dengan Prabowo saya rasa bagian dari kalkulasi yang dilakukannya," terang dia. (SP)

Peran Komjen Badrodin Haiti Semakin Tak Dianggap di Polri


Badrodin Haiti rapat bersama mantan-mantan Kapolri.
Jakarta - WARA - Saksi-saksi untuk kasus korupsi Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan kompak mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sikap seragam ini disinyalir karena ada perintah dari atasan.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto, mengaku memperoleh informasi adanya telegram rahasia meminta saksi-saksi dari unsur Polri tidak hadir bila dipanggil KPK. Jelas ini bertolak belakang dengan permintaan Wakil Kapolri, Komisaris Jendral Polisi Badrodin Haiti.

Polisi yang menolak hadir antara lain Kapolda Kalimantan Timur, Inspektur Jenderal Polisi Andayono, Aiptu Revindo Taufik Gunawan Siahaan, Brigjen Pol (Purn) Heru Purwanto, Direktur Tindak Pidana Umum Brigadir Jenderal Polisi Herry Prastowo, Komisaris Besar Polisi Ibnu Isticha, dan Wakapolres Jombang Kompol Sumardji.

Informasi diperoleh merdeka.com, terjadi dualisme di tubuh polri sejak kasus Budi Gunawan mencuat. Perlahan peran Badrodin yang menjadi Plt Kapolri dikesampingkan. Perintah-perintahnya diabaikan.

"Kami sedang mengklarifikasi katanya ada TR yang Waka itu setuju untuk dipanggil. Lalu ada TR lain yang menyatakan tidak perlu datang," kata Bambang kepada para pewarta selepas mendaftarkan laporan ke Ombudsman di Jakarta, Kamis (29/1).

Mabes Polri membantah kabar adanya telegram rahasia tersebut. Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Ronny Franky Sompie, setiap perwira tinggi Polri diperiksa dalam kasus hukum harus diketahui oleh Wakapolri atau Kapolri.

"Itu etika anggota Polri beberapa yang dipanggil sehingga pimpinannya tahu. Enggak ada TR itu. Itu sama saja intervensi dan menghalangi," tuturnya.

Saat kasus Bambang mencuat juga muncul perbedaan di Polri. Setelah dipanggil Presiden Joko Widodo, Badrodin menjamin Bambang tidak akan ditahan. Tetapi Bareskrim di bawah Irjen Budi Waseso berkeras melakukan penahanan. (Merdeka.com)

Jika Paksakan Pelantikan Budi Gunawan, PDI-P Akan Berhadapan dengan Publik


Hamdi Muluk
Jakarta - WARA - Pemerhati psikologi politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, beranggapan bahwa tingkat elektabilitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) akan menurun jika partai tersebut tetap memaksakan pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai kepala Polri. Dengan keputusan yang diambil saat ini, menurut Hamdi, PDI-P sebenarnya sedang berhadapan dengan publik.


"PDI-P akan lebih banyak berhadapan dengan publik, apalagi kalau Budi tetap dilantik, publik akan bereaksi keras," ujar Hamdi kepada Kompas.com, Jumat (30/1/2015).

Menurut Hamdi, status tersangka yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Budi Gunawan tidak akan dianggap sebagai hal biasa oleh publik. Sekalipun sidang pra-peradilan membuktikan keputusan KPK terhadap Budi tidak tepat, masyarakat tetap akan sulit menilai Budi sebagai pejabat yang bersih dari praktik korupsi.

Hamdi mengatakan, sebaiknya PDI-P tidak sekadar melihat dari benar atau tidaknya Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka. Mempertimbangkan opini dan keinginan masyarakat akan lebih menguntungkan partai. "Hanya akan sia-sia kalau melawan nalar publik. Populis akan tetap sulit menerima Budi Gunawan," kata Hamdi.

Selain itu, menurut Hamdi, PDI-P juga harus memikirkan dampak jangka panjang apabila tetap memaksakan Budi sebagai kepala Polri. Terlebih lagi, tak lama lagi semua partai politik akan menghadapi pemilihan kepala daerah yang akan digelar secara serentak pada tahun ini. Hamdi mengatakan, jika salah mengambil kebijakan, bukan tidak mungkin PDI-P akan kehilangan suara dalam pilkada. (KOMPAS.com )

KPK Harus Buktikan Janjinya Tuntaskan Kasus BLBI


Pakar hukum pidana, Yenti Garnasih (kanan).
Jakarta – WARA - Pakar hukum pidana, Yenti Garnasih meminta KPK bekerja profesional dalam menyelidiki dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada para obligor penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Badan antikorupsi itu diminta untuk tidak menjadikan kasus tersebut sebagai pengalihan isu dalam situasi sekarang ini.

"Salah satu janjinya kan seperti itu (kasus BLBI) mau diselesaikan. Kalau sudah ada dua alat bukti yang cukup maka segera ditingkatkan, kalau tidak nantinya justru timbul kesan KPK mengikuti irama politik. Mengalihkan isu," kata Yenti, kepada SP di Jakarta, Kamis (29/1).

Menurutnya, KPK dalam bekerja harus mencerminkan integritas dan profesionalitas. Sebab, sekarang ini masyarakat tidak bodoh. Publik tahu apa yang dimaksud dengan BLBI dan curiga mengapa kasus yang telah diselidiki pada masa Antasari Azhar memimpin KPK hingga kini belum disidik.

"Rakyat tidak bodoh-bodoh amat bisa melihat apa itu BLBI. Jangan (penanganannya) menimbulkan kesan ada politisasi dalam pengembangan BLBI. Mestinya dia (KPK) bekerja secara teknis yuridis, kalau ada bukti yang cukup langsung saja naikkan (ke penyidikan). Tunggakan kasus KPK banyak sekali, kita ingin menyelamatkan lembaga KPK tetapi komisionernya kerjanya juga yang benar." ujarnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menegaskan bahwa penyelidikan kasus BLBI masih berjalan. Namun dirinya tidak dapat memastikan apakah status penyelidikian BLBI bakal ditingkatkan ke penyidikan.

"Kita selesaikan semua proses itu, baru dalam ekspose diputuskan. Ya sekarang masih jalan. Saya belum bisa membuat kesimpulan karena belum ada ekspose, penyidiknya belum memberi laporan," kata Bambang. (SP)

Dipanggil Sebagai Tersangka, BG Tegaskan Lagi Tak Akan Datang ke KPK



Jakarta - WARA - Calon Kapolri, yang juga tersangka kasus gratifikasi yang ditetapkan KPK, Komjen Budi Gunawan (BG) menyatakan  tidak akan memenuhi panggilan KPK, hari ini. Selain itu BG juga mempertanyakan surat panggilan dari KPK yang menurutnya tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya.

"Saya ingin menyampaikan beberapa hal, bahwa pagi ini, sesuai dengan undangan KPK, memang Pak BG akan dilakukan pemanggilan (sebagai tersangka)," kata pengacara BG, Razman Nasution, di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (30/1).

Tapi, masih menurut Razman, ada beberapa cacatan dalam surat panggilan yang ditandatangani oleh penyidik Budi Nugroho tertanggal 26 Desember itu.

"Surat panggilan KPK ini, perlu saya jelaskan, (tak sesuai) dalam SOP (Standard Operating Procedure). Pada lembar hari ini dan diterima oleh siapa, kosong. Ini aneh. Pak BG sampai hari ini, tadi malam, ada di kediaman beliau," bebernya.

Hal lainnya, Razman menuding, belum ada surat pemberitahuan resmi yang diserahkan KPK kepada kliennya, yang menyatakan BG merupakan tersangka atas kasus gratifikasi. Selama ini, status tersangka diketahui hanya dari media.

"Ini apa ada kekuatan hukumnya? Ini pelanggaran etika," tegasnya.

Hal lain yang dipermasalahkan mantan pengacara Prabowo Subianto - Hatta Rajasa, saat maju sebagai capres itu adalah perihal ketidakjelasan siapa yang menerima surat panggilan itu.

"Harusnya ada yang menerima, kepada yang diberikan. Staf (BG) sampai ajudan ada puluhan orang, tapi tidak ada (yang merasa menerima) surat ini dari mana. Diantar begitu saja. Dia datang terus pergi. Ini, kan aneh," imbuhnya.

Razman meminta supaya komisi yang digawangi Abraham Samad itu untuk profesional dan tidak sekadar bicara melalui media.

"Lagipula Pak BG, kita, masih praperadilan. Tunggulah hasil putusan praperadilan. Klien kami tidak akan datang hari ini," sambungnya.

Sebelumnya, BG juga menunjukan kekecewaannya saat tim sembilan bentukan presiden, yang merekomendasikan dirinya agar tak dilantik presiden dan menggantikan BG dengan calon Kapolri lain. (BS)