Jumat, 12 Desember 2014

Salurkan BBM Bersubsidi, Pertamina Klaim Rugi Rp 700 M


Dirut Pertamina yang baru Dwi Soetjipto

Jakarta - WARA - PT Pertamina (Persero) mengaku hingga kini masih menanggung kerugian ratusan miliar rupiah untuk penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM). Kondisi dipersulit lantaran adanya beberapa pihak yang masih berutang kepada perusahaan pelat merah ini.

”Tahun ini kami merugi Rp700 miliar,” kata Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, di kantor BPH Migas, Jakarta, Jumat 12 Desember 2014.

Sementara itu, Direktur Pertamina, Ahmad Bambang, mengatakan bahwa kerugian yang dialami pihaknya berasal dari distribusi BBM ke daerah tertentu, seperti Papua. Sementara tiga pihak yang masih berutang kepada Pertamina adalah pemerintah, TNI, dan PLN.

”BBM subsidi yang disalurkan Oktober-November belum dibayar pemerintah. Jumlahnya Rp45 triliun,” kata dia.

Sementara nilai utang TNI dan PLN masing-masing Rp7,5 triliun. “Kalau PLN itu bukan BBM bersubsidi. Mereka belum bayar tagihan karena subsidinya belum dibayar pemerintah,” kata dia. (VIVAnews)

Pemred Jakarta Pos Jadi Tersangka, Ini Alasan Polisi



"Permintaan maaf media tidak bisa otomatis menghentikan pidananya."
Jakarta – WARA - Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Rikwanto, menyatakan jika proses hukum kasus dugaan penistaan agama lewat karikatur ISIS yang diterbitkan Jakarta Post tetap dilanjutkan.

Menurutnya, meski Dewan Pers telah menyelesaikan sengketa pemberitaan tersebut, namun kasus tetap akan bergulir lantaran pelapor bersikukuh melakukan penuntutan.

Atas dasar itu, pihaknya pun kemudian menaikkan status hukum perkara tersebut, dengan menetapkan Pemimpin Redaksi Harian Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat (MS), sebagai tersangka.

”Penyelesaian kasus pelanggaran kode etik jurnalistiknya memang sudah selesai. Tetapi ini ada pelapor dan dia menuntut,” ujarnya, Jumat 12 Desember 2014.

Sengketa pemberitaan itu sebenarnya sudah ditangani oleh Dewan Pers dengan memediasi antara pihak pelapor dengan Jakarta Post. Ketika itu Dewan Pers menilai memang ada unsur pelanggaran kode etik dan merekomendasikan agar Jakarta Post menerbitkan pernyataan maaf.
Hal itu pun juga telah dilakukan oleh koran berbahasa Inggris itu sebanyak dua kali.

Menurut Rikwanto, berdasarkan keterangan dari saksi ahli yang diperiksa, unsur pidana dalam kasus tersebut tidak bisa dihilangkan meski Jakarta Post telah memenuhi rekomendasi Dewan Pers dalam penanganan perkara ini. Kasus ini, kata dia, baru bisa dihentikan bila pihak pelapor mencabut laporannya.

”Pendapat ahli menyatakan permintaan maaf media itu tidak bisa otomatis menghentikan pidananya. Jadi kasus ini tergantung dari pihak yang bersengketa,” imbuhnya.

Dalam kasus ini, Meidyatama dijerat dengan Pasal 156 ayat (a) KUHPidana tentang penistaan agama. (VIVAnews)

Jokowi Jangan Tolak Grasi jika Hanya Ingin Tunjukkan Ketegasan



Jakarta - WARA - Direktur Imparsial Al Araf mempertanyakan keputusan Presiden Joko Widodo yang menyatakan akan menolak grasi yang diajukan 64 terpidana mati kasus narkoba. Menurut dia, Jokowi harus mempertimbangkan segala aspek sebelum menyatakan menolak atau menerima permohonan grasi dari para terpidana mati

"Jangan karena ingin menunjukkan sikap tegas, jadi menolak grasi dari yang dimohonkan oleh terpidana," kata Al Araf kepada Kompas.com, Selasa (9/12/2014) malam.

Al Araf mengatakan, di era modern seperti sekarang ini, hukuman mati bukan lagi cara yang tepat untuk memidanakan seseorang. Hukuman mati, menurut dia, tidak akan membawa efek jera bagi masyarakat atau pelaku. 

Selain itu, lanjut Al Araf, hukuman mati juga berisiko jika ada kesalahan dalam proses hukum yang dijalani terpidana. Apalagi, kesalahan dalam proses peradilan sudah sering terjadi di Indonesia.

"Kalau terpidana mati dieksekusi dan ternyata ada kesalahan, kita tidak punya kesempatan memperbaikinya," ujar Al Araf.

Al Araf juga menilai, hukuman mati akan memperpanjang rantai kekerasan. Seharusnya, kata dia, kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan, tidak dibalas dengan kekerasan pula.

"Dalam hal hukuman mati ini seharusnya jokowi mempertimbangkan banyak aspek," katanya.

Sebelumnya, Jokowi memastikan akan menolak permohonan grasi yang diajukan oleh 64 terpidana mati kasus narkoba. Kepastian itu disampaikan Presiden Jokowi di hadapan civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dalam kuliah umum yang digelar di Balai Senat Gedung Pusat UGM, Selasa (9/12/2014).

"Saya akan tolak permohonan grasi yang diajukan oleh 64 terpidana mati kasus narkoba. Saat ini permohonannya sebagian sudah ada di meja saya dan sebagian masih berputar-putar di lingkungan Istana," kata Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi menegaskan, kesalahan itu sulit untuk dimaafkan karena mereka umumnya adalah para bandar besar yang demi keuntungan pribadi dan kelompoknya telah merusak masa depan generasi penerus bangsa. (KOMPAS.com)

Menteri Anies Diminta Fokus Benahi Pendidikan, Bukan Urus Doa



Jakarta - WARA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan disorot tajam setelah mewacanakan ingin menyamakan konsep doa di sekolah. Ketua Badan Pengurus Lazis Muhammadiyah, Hajriyanto Y Thohari menegaskan masalah tersebut sebaiknya tak dipersoalkan lebih lanjut

"Menyamakan konsep doa sebenarnya itu sudah selesai masalahnya. Praktik yang selama ini sudah baik. Setiap wilayah memiliki tradisi berdoa yang baik. Doa di daerah yang mayoritasnya Islam, yang lainnya (agama lain) menyesuaikan. Di Papua mayoritasnya agama Kristen, yang lainnya juga sama, menyesuaikan," ujar Hajriyanto di Fakultas Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jumat (12/12/2014).

Politisi Golkar itu pun mengingatkan jangan pernah mengatasnamakan Pancasila untuk mengubah konsep doa. "Pancasila itu bukan menyamakan agama, Pancasila bukan menafikan agama," tegas Hajriyanto.

Menurut mantan Wakil Ketua MPR itu, memikirkan kebijakan yang lebih penting. "Ada persoalan yang lebih penting, misalnya (mengatasi) pendidikan yang mahal, jangan membenahi kebijakan yang tak ada relevansinya dengan tingkat pendidikan yang baik," jelasnya.

Dirinya pun meminta agar menteri Anies juga bisa membenahi sekolah-sekolah yang sudah tak layak. Juga menyediakan buku-buku ajar yang baik.

"Sekolah harus betul gratis, perguruan tinggi yang murah dan terjangkau, itu saja yang harus dipikirkan," tandasnya.

Sebelumnya, Anies Baswedan telah meluruskan beberapa argumen yang mengenai rencana evaluasi tata cara berdoa di sekolah.

Dia menginginkan agar anak-anak sekolah di dalam negeri dididik untuk lebih religius. Antara lain, dengan membuka dan menutup proses belajar mengajar dengan doa.

Mengenai doa yang akan digunakan, lanjut Anies, itu bukan domain pemerintah. Kementerian akan terlebih dahulu mendiskusikan hal ini kepada Kementerian Agama. (Tribun)

Pimpinan Gereja Papua Tolak Rencana Jokowi Hadiri Perayaan Natal

WARA - Seruan moral ini disampaikan Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua, Pdt. Dr. Benny Giay, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGBP), Pdt. Socratez Sofyan Yoman, dan pendeta senior di lingkungan Gereja Kristen Injili (GKI) Papua, Pdt. Selvi Titihalawa, saat memberikan keterangan pers di P3W, Padang Bulan, Jayapura, Papua, Kamis (11/12).

Menurut Giay, pimpinan Gereja dengan tegas menolak kedatangan Presiden Jokowi yang akan merayakan natal di tengah duka dan penderitaan rakyat Papua, secara khusus warga Paniai, dengan menghabiskan dana puluhan miliar.

“Rakyat Papua sedang berduka karena pembantaain di Paniai, sedangkan Jokowi ingin merayakan natal di Jayapura dengan habiskan dana puluhan miliar, damai apa yang Jokowi mau bawa, kami dengan tegas menolak kedatangan Jokowi di Papua,” kata Giay

Giay mengatakan, saat Jokowi akan datang ke Papua, penculikan, pembunuhan dan pembantaian orang asli Papua masih terus terjadi, karena itu tidak ada artinya Presiden Indonesia merayakan natal di tanah Papua.

“Jokowi sama saja dengan presiden-presiden terdahulu, datang satu hari natal, tapi kekerasan jalan terus, yang kami minta Jokowi buat kebijakan yang benar-benar menyentuh hati orang Papua,” kata Giay.

Ditambahkan oleh Pdt. Titihalawe, alasan gereja menolak kedatangan Presiden Jokowi karena Negara belum mengambil tindakan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan aparat keamanan yang melakukan pembantaian terhadap enam warga sipil di Paniai.

“Semula kami tidak menolak kedatangan Presiden Jokowi, dan kami yakin dia akan melakukan banyak hal untuk Papua, tapi melihat situasi Paniai yang mencekam karena enam warga sipil di bantai, kami kira Jokowi tidak perlu datang merayakan natal di Papua,” tegasnya.

Menurut Pdt. Titihalawa, Presiden-presiden sebelumnya jika ada kejadian luar biasa, terutama penembakan terhadap warga sipil selalu memberikan pernyataan, tetapi saat ini sama sekali tidak ada pernyataan dari Presiden Jokowi.

“Kami lihat sama sekali tidak ada pernyataan dari Presiden Jokowi, malahan beberapa pejabat aparat keamanan di tingkat Pusat menuduh OPM sebagai pelaku penembakan, ini tidak masuk akal, makanya kami tolak kedatangan Presiden Jokowi,” kata Titihalawa seperti dikutip Suarapapua.com.

Konflik Dinilai “Bentukan” Aparat
Sementara itu, Pdt. Socratez Sofyan Yoman menambahkan, menciptakan konflik di tanah Papua, termasuk peristiwa pembantaiaan di Paniai adalah strategi aparat keamanan untuk menciptakan konflik menjelang kedatangan Jokowi.

“Ini biasa, kalau ada pejabat Negara mau datang, harus ada konflik, agar aparat keamanan di tambah, kemudian dana keamanan bisa mengalir ke aparat keamanan, kami menyesalkan pendekatan keamanan yang terus digunakan pemerintah,” tegas Yoman.

Menurut Yoman, sebaiknya Jokowi tak ke Papua untuk menghadiri perayaan natal, karena hanya buang-buang waktu dan tenaga, terutama tidak melihat situasi rakyat Papua yang marah dan berduka melihat peristiwa pembantaiaan di Paniai.

“Kami minta Presiden Jokowi untuk bertanggung jawab atas peristiwa pembantaian di Paniai, dengan cara membentuk tim investigasi yang independen yang melibatkan lembaga HAM Nasional, dan internasional, guna menyelidiki kebrutalan aparat TNI/Polri di Paniai.”

“Kami juga mendukung pernyataan Gubernur Papua beberapa waktu belakangan ini yang terus mendesak Jakarta untuk mengeluarkan kebijakan yang adil, termasuk hentikan transmigrasi, pemekaran provinsi, dan Kabupaten baru,” tegas Yoman. [Islampos]

ISIS Tawarkan Mayat Jurnalis Tanpa Kepala Rp 12 Miliar



Mayat akan diserahkan di Turki, jika pembayaran sudah dilakukan.
Jurnalis AS James Foley (Reuters)
WARA - ISIS mengejutkan dunia, Agustus lalu, saat mereka merilis sebuah rekaman pembunuhan brutal jurnalis Amerika Serikat (AS), James Foley. Kini mereka membuat kejutan lagi, dengan menjual mayat tanpa kepala Foley seharga $ 1 juta atau Rp 12 miliar.

Dikutip dari laman RT, Jumat, 12 Desember, tiga perantara yaitu seorang pengusaha, satu mantan pemberontak Suriah, serta seorang pejabat senior Tentara Pembebasan Suriah, mengatakan ISIS menawarkan mayat Foley pada keluarganya dan pemerintah AS,

Disebutkan bahwa ISIS akan menyerahkan tubuh tanpa kepala Foley di Turki, setelah pembayaran dilakukan. Kelompok ekstrimis itu juga menawarkan contoh DNA, untuk membuktikan bahwa mayat itu benar milik Foley.

”Mereka meminta $ 1 juta, dan mereka akan mengirimkan DNA ke Turki. Tapi mereka meminta uangnya dikirim lebih dulu,” tulis seorang mantan pemberontak Suriah. “Mereka tidak akan mengirimkan DNA sebelum uang dikirimkan,” tambahnya.

Jika tawaran itu sukses, maka ISIS akan menemukan sumber pendanaan baru untuk operasi mereka. ISIS sebelumnya juga telah sukses mendapatkan dana, dari uang tebusan untuk membebaskan sandera dari beberapa pemerintah asing.

Hanya AS dan Inggris yang sejauh ini menolak membayar tebusan. Setelah mengeksekusi tiga warga AS, ISIS meyakini bahwa mayat mereka masih berguna untuk ditukar dengan uang. Terutama bagi keluarga para korban.

Tidak diketahui apakah keluarga Foley tertarik untuk membeli mayat yang ditawarkan ISIS. Tapi pemerintah AS diyakini akan menghentikan terjadinya transaksi. Sebelumnya, keluarga Foley pernah menyatakan kesediaan untuk membayar tebusan.

Tapi ibu dan saudara Foley mengatakan, bahwa pemerintah telah mengancam akan menuntut mereka, jika berusaha mengumpulkan dana melalui sumbangan untuk membayar tebusan. Pemerintah AS juga mungkin tidak akan membiarkan pembelian mayat.

”Itu akan mempermalukan pemerintah AS. Orang-orang akan bertanya, mengapa pemerintah membolehkan pembelian mayat, sementara mereka tidak mengijinkan pembayaran tebusan saat dia (Foley) masih hidup,” kata seorang pejabat Tentara Pembebasan Suriah. (
VIVAnews)