Selasa, 03 Februari 2015

Penjelasan Kemenhub Soal Bus Tingkat Mercy Hibah Tahir Foundation

Jakarta - WARA - Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) gemas dengan kenyataan 5 bus tingkat Mercedes-Benz hibah dari Tahir Foundation tak bisa beroperasi. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pun akhirnya memberi penjelasan.

Rupanya bukan hanya karena tidak memenuhi aturan dalam PP Nomor 55 Tahun 2012, Kemenhub menyebut pihak Mercedes-Benz tidak menginformasikan spesifikasi bus tingkat (double decker) sebelum diproduksi untuk Pemprov DKI.

“Untuk double decker bis Mercy, kalau yang double decker sebenarnya itu nggak ada masalah karena memenuhi 21-24 ton. Yang jadi maslaah itu bus Mercy yang diimprovisasi jadi bus tingkat,” ujar Kepala Pusat Komunikasi Kemenhub JA Barata saat berbincang dengan detikcom, Senin (2/2/2015).

“Jadi bus yang mau dioperasikan sebagai bus tingkat chasisnya untuk bus maxi bukan bus tingkat. Makanya itu kita berhati-hati sekali kalau tidak sesuai dengan undang-undang berlaku kita harus menyesuaikan dengan ketentuan keselamatan dan teknis yang ada,” lanjutnya.

Dalam PP Nomor 55 Tahun 2012 Pasal 5 ayat 3 disebutkan jenis dan fungsi kendaraan, di mana bus tingkat memiliki jumlah berat beroperasi paling sedikit 21.000 kilogram (21 ton) sampai 24.000 kilogram (24 ton). Sedangkan bus tingkat Mercedes-Benz hanya memiliki berat 18.000 kilogram (18 ton).

Sementara itu, spesifikasi bus tingkat yang tertera dalam PP tersebut antara lain harus memiliki berat maksimum kendaraan bermotor berikut muatan (JBB) paling sedikit 21-24 ton, panjang keseluruhan sekira 9.000 milimeter (9 meter) hingga 13.500 milimeter (13,5 meter), lebar keseluruhan melebihi 2.500 milimeter (2,5 meter) dan tinggi bus tidak lebih dari 4.200 milimeter (4,2 meter).

“Bus maxi, dia tidak sama dengan bus double decker. Jangan dipaksakan sebab kalau ada apa-apa kita juga yang disalahkan,” terang Barata.

“Dia itu masalahnya membuat karoseri sebelum dapat izin dari Kemenhub. Dia mengajukan izin karoserinya sesudah jadi fisiknya ada. Dia belum ngajuin sebelumnya,” jelasnya.

Barata meminta agar semua pihak, dalam hal ini pihak Kemenhub, Pemprov DKI, Dishub DKI, Mercedes-Benz, dan Karoseri untuk duduk bersama membicarakan ini. “Yang paling penting duduk sama-sama. Silakan duduk bersama untuk hitung bersama,” kata Barata.

“Yang namanya peraturan pemerintah bukan pemikiran sepihak. Dalam perhitungan nanti bisa dilihat ketentuan undang-undang dipenuhi mereka. Kondisi yang ada (sekarang) karena latar belakangnya nggak mengajukan izin tapi langsung jadi,” tegasnya.

Lantaran bus tingkat tersebut adalah hibah dari swasta, seharusnya tidak terburu-buru dalam proses produksinya hingga tidak sempat mengkomunikasikan dengan Kemenhub. Terkait hal itu, Barata mengimbau agar Mercedes-Benz sebaiknya jujur mengenai spesifikasi chasing busnya.

“Sebaiknya pihak Mercedes jujur saja spesifikasi bus yang dibuatnya ini sebenarnya untuk apa, bus maxi. Yang paling penting lihat bus tingkat yang ada keluaran Mercy kayak kayak foto bus yang sekarang mau diajuin kayak apa pasti bentuknya beda,” tegasnya. (detik)

Ahok : Saya Dilahirkan Buat Ribut


Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama 

Jakarta - WARA - Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama merasa heran setiap kali Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendapatkan sumbangan bus selalu dipersulit dalam mendapatkan izin kelaikan jalannya.

Seperti lima bus tingkat yang disumbangkan Tahir Foundation beberapa waktu lalu belum bisa beroprasi menjajal jalanan ibu kota karena terbentur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2012 tentang kendaraan.

Dalam Bab II pasal 5 tentang jenis dan fungsi kendaraan yang menyebutkan bahwa bus tingkat paling sedikit memiliki jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) paling sedikit adalah 21.000 kilogram sampai 24.000 kilogram. Sementara bus Mercedes Benz yang diterima Pemprov DKI Jakarta hanya memiliki berat 18.000 kilogram.

"Dia lebih ringan tiga ton kalau nggak salah, jadi bus Mercy itu ternyata 18 ton. Weichai itu 21 ton. PP mengatur 21 sampai 24 ton, makanya aku bingung, lebih ringan lebih bagus dong," ungkap pria yang akrab disapa Ahok di Balai Kota, Senin (2/2/2015).

Dikatakannya, armada TransJakarta yang saat ini sudah beroperasi khususnya bus gandengan pun sebetulnya menyalahi PP karena dalam PP-nya mengatur maksimal beratnya 31 ton beratnya.

"TJ kita itu lebih dari 31 ton kalau anda gandeng. kenapa boleh jalan? karena ada diskresi gubernur berhak kasih. Toh kalau dia lebih berat kan hanya merusak jalan. kalau merusak jalan, mau saya perbaiki, urusan saya dong. jadi melebih berat saja boleh ditoleransi. masa lebih ringan enggak boleh? Saya bingung, merk mercedes benz lagi. yang weichai boleh, cuma gara-gara weichai beratnya pas," ujarnya.

Menurut mantan Bupati Belitung Timur ini justru semakin ringan mobil, selama tidak melayang saat tertiup angin harusnya semakin bagus karena tidak merusak jalan di ibu kota.

"Saya nggak menuduh kongkalikong atau apa, saya pikir teman-teman LSM lagi mempelajari. Makanya saya tegasin, kalau alesan seperti ini, kenapa nggak semua kontainer-kontainer diperiksa, termasuk molen semen. itu menyalahi berat semua loh itu semua. Kenapa diloloskan izinnya? Kenapa fondasi kontainer diloloskan?," ungkapnya.

Ia pun heran, bus sumbangan tersebut tercatat sasisnya bus maxi. Tetapi justru dilarang dibuat bus tingkat padahal sama-sama bus.

"Kalo enggak boleh, semua Kopami, Kopaja dilarang saja saya bilang. saya cuma nuntut keadilan, itu juga bukan bus saya kok, pusing amat. orang ngasih, paling nggak jadi jalan. kalau nggak jadi jalan keliling-keliling di Ancol saja di dalam, nggak usah pakai pelat," ucapnya.

Sebelumnya hal serupa pun terjadi saat Pemprov DKI menerima sumbangan 30 bus. Hal tersebut diterima tetapi perjuangan untuk mendapatkannya harus beradu urat suara terlebih dahulu.

"Berantem dulu itu, berantem dulu baru diterima. Makanya tiap kali terima sumbangan pasti ribut saja sudah. nggak apa-apa, gue emang dilahirkan buat ribut," ucap Ahok. (Tribun)

Polri Sangat Yakin AS Jadi Tersangka



Ketua KPK Abraham Samad

Jakarta – WARA - Penyidik Mabes Polri yakin Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad atau AS akan menjadi tersangka terkait laporan dugaan melakukan pertemuan dengan pihak yang perkaranya ditangani KPK.

"Nanti yang menetapkan tersangka itu penyidik, pertimbangan penyidik bagaimana tapi pasti jadi (tersangka)," kata Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Budi Waseso di Jakarta Selasa (3/2).

Irjen Budi mengatakan penyidik kepolisian secepatnya akan melayangkan surat panggilan kepada AS.

Namun Budi menuturkan penyidik yang akan mempertimbangkan pemanggilan AS dengan status sebagai saksi atau tersangka.

Pemanggilan salah satu pimpinan KPK itu, menurut jenderal polisi bintang dua itu bakal dilakukan setelah penyidik kepolisian menyatakan cukup bukti.

Saat ini, penyidik Mabes Polri telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) terkait kasus AS itu.

Namun, polisi belum menyimpulkan AS sebagai tersangka kasus yang dilaporkan pegiat KPK Watch Indonesia itu.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia M Yusuf Sahide melaporkan Abraham Samad ke Bareskrim Mabes Polri berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/75/1/2015/Bareskrim tertanggal 22 Januari 2015.

Yusuf menduga Abraham kerap beraktivitas politik dengan bertemu pengurus partai politik di luar ranah tugas pokok fungsi sebagai pimpinan KPK.

Abraham terancam dijerat Undang-Undang KPK Pasal 36 junto Pasal 65 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK terkait melakukan pertemuan dengan pihak yang perkaranya ditangani KPK.

Yusuf melaporkan Abraham berdasarkan informasi melalui Blog Kompasiana berjudul "Rumah Kaca Abraham Samad".

Artikel itu mengungkapkan Abraham Samad pernah beberapa kali bertemu dengan petinggi parpol dan membahas beberapa isu termasuk tawaran bantuan penanganan kasus politisi Emir Moeis yang tersandung perkara korupsi. (SP)

Surat Sakti Mantan Polisi Berekening Rp 1,5 T Lolos dari Jerat Hukum


Iptu Labora Sitorus.

Jakarta - WARA - Meski sudah mendapatkan vonis Mahkamah Agung (MA) sejak 17 September 2014 lalu, Ajun Inspektur Satu (Aiptu) Labora Sitorus, terpidana kasus pencucian uang dan penimbunan bahan bakar minyak serta kayu di Papua Barat, belum juga ditahan. Labora terlibat kasus pencucian uang terkait dana di rekening bank sebesar Rp 1,5 triliun.

Mantan Anggota Polres Raja Ampat itu semula divonis 8 tahun penjara oleh Kejaksaan Tinggi Papua, namun MA menolak kasasi Labora dan memperberat hukumannya menjadi 15 tahun penjara serta denda Rp 5 miliar.

Meski pihak Kepolisian mengetahui Labora Sitorus berada di rumahnya, di Sorong, polisi tidak bisa melakukan apapun lantaran Labora mengantongi surat keterangan bebas hukum yang dikeluarkan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sorong.

Polda Papua Barat mengharapkan ada koordinasi antara Kejaksaan Negeri Sorong dengan Kementerian Hukum dan HAM terkait surat pembebasan yang diterima Labora. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Papua Barat Agus Soekono mengatakan, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sorong di bawah kepemimpinan Samaluddin Bogra telah menerbitkan surat keputusan pembebasan Labora.

Agus menduga, surat bebas hukum bagi Labora tidak valid karena terdapat sejumlah kejanggalan, yakni tidak ada nomor surat, tembusan, dan hanya ditandatangani seorang pelaksana harian kepala lapas. 

Seharusnya surat tersebut ditandatangani Kepala Lapas Sorong yang definitif. Pihak Kakanwil pun wajib mendapat tembusan surat bebas hukum. "Artinya, Samaluddin harus bertanggung jawab penuh atas keluarnya surat ini," papar Agus, Senin (2/2) kemarin.

Selain itu, surat bebas hukum tidak lagi berlaku ketika Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan kasasi.

Kabar penerbitan surat sakti tersebut oleh Lapas Sorong terhadap Labora Sitorus, juga mengejutkan Menteri Hukum dan HAM Yasoma Laoly. Yasonna berjanji akan mengusut perihal terbitnya surat sakti dari Lapas Sorong itu.

"Kami panggil Kalapas juga. Kalapas juga sudah pernah berupaya tapi tidak bisa. Ini yang kami sesalkan sekali," ujar Yasonna.

Menurut Yasonna, jika Kalapas Sorong terbukti main mata dengan Labora sehingga menerbitkan surat bebas hukum, maka akan kena sanksi berat. Namun saat ini Inspektorat akan menyelidiki kasus terlebih dahulu.

"Kalau nanti ada aparat saya, Lapas yang lewat, atau yang ada sekarang pasti dapat hukuman. Sanksi berat, tidak nggak bisa begitu. Bahasa saya, itu tidak dapat ditolerir," ujarnya.

Apakah akan dipecat? "Kami lihat skalanya. Apakah dia sendiri atau bagaimana," ucap Yasonna.

Kasus rekening gendut Aiptu Labora terungkap dari data PPATK yang mengungkapkan adanya transaksi mencurigakan di atas Rp 1 triliun. Polda Papua lalu menetapkan Aiptu Labora Sitorus, anggota Polres Raja Ampat sebagai tersangka kasus penimbunan BBM di Sorong.

Setelah berkas dilimpahkan, Aiptu Labora lalu dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 100 juta pada akhir Januari 2014 lalu. Vonis terhadap Labora Sitorus kemudian dibacakan Hakim pengadilan Sorong yang diketuai oleh Martinus Bala dan beranggotakan Maria M Sitanggang dan Irianto Tiranda. Hakim menjatuhkan vonis hanya 2 tahun dan denda Rp 50 juta.

Tak puas, jaksa lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Papua. Vonis yang dibacakan ketua Majelis Hakim Arwan Dyrin akhirnya menambah hukuman buat Labora menjadi 8 tahun penjara dan denda Rp 50 juta.

Masih tak puas, kasus tersebut naik ke tingkat kasasi. Di Mahkamah Agung, Hakim Artidjo cs menghukum Labora Sitorus dengan hukuman maksimal yakni 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Vonis jatuh 17 Agustus 2014 lalu.

Anehnya hingga saat ini Labora belum bisa dieksekusi. Pemilik rekening gendut ini masih bisa leha-leha di rumahnya karena memiliki surat sakti dari Lapas Sorong. (Merdeka.com)

Beri Contoh Taat Hukum, BW Penuhi Panggilan Bareskrim



Nursyahbani Katjasungkana.

Jakarta – WARA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto (BW) akan memenuhi panggilan penyidik Bareskrim Polri untuk diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan mengarahkan saksi memberi keterangan palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010 lalu.

Penasihat Hukum BW, Nursyahbani Katjasungkana menyatakan, sebagai penegak hukum, kliennya akan patuh pada hukum dengan memenuhi panggilan penyidik.

"Ya akan penuhi (panggilan penyidik). Penegak hukum ya harus patuh hukum," kata Nursyahbani kepada wartawan, Selasa (3/2).

Dikatakan Nursyahbani, tim kuasa hukum akan mendampingi BW dalam pemeriksaan kali ini. BW beserta tim kuasa hukum akan berangkat bersama ke Bareskrim Polri dari Gedung KPK sekitar pukul 11.00 WIB atau 12.00 WIB. 

"Ya tentu saja. Tim pengacara akan mendampingi berangkat dari KPK jam 11 ayau 12 nanti," jelasnya. 

Nursyahbani meyakini pemeriksaan BW kali ini tidak akan berakhir dengan penahanan. Menurutnya, polisi tidak mungkin melakukan hal bodoh dengan langsung menahan BW. 

Apalagi, saat ini, Nursyahbani menduga upaya kriminalisasi akan mengarah pada Ketua KPK, Abraham Samad.

"Enggak mungkinlah. Terlalu bodoh kalau polisi begitu. Kayak sinetron. Sasaran sekarang ke (Abraham) Samad kayaknya," ungkapnya. 

Sebelumnya, Nursyahbani menyatakan, Bareskrim tidak memiliki alasan yang kuat untuk menahan kliennya.
Menurutnya, untuk menahan seorang tersangka penyidik harus memiliki alasan subyektif dan obyektif seperti menghilangkan barang bukti atau melarikan diri. Sejauh ini, alasan-alasan tersebut tidak terpenuhi oleh Bambang Widjojanto 

"Saya kira tidak ada alasan untuk menahan (Bambang Widjojanto). Menahan itu kalo ada alasan subyektif, obyektif yang artinya memang secara normatif ada alasan untuk menahan. Juga ada alat bukti yang cukup. Selain itu juga jika tertangkap tangan. Tapi apa perlu menahan, orang dia enggak melarikan diri atau dia menghilangkan alat bukti," papar Nursyahbani di Gedung KPK, Jakarta, Senin (2/2).

Dikatakan, pihaknya telah menyiapkan sejumlah argumen untuk mempersoalkan penangkapan dan penetapan status tersangka kepada kliennya.

"Sudah siapkan argumen untuk mempersoalkan berbagai surat yang dikeluarkan Bareskrim, mulai dari surat penangkapan, penahanan, dan pemanggilan. Terutama yang berkenaan dengan sangkaan pasal yang dituduhkan," katanya.

Nursyahbani menyatakan, pihaknya masih mempertanyaan pasal dan ayat yang menjerat Bambang Widjojanto. Hal itu lantaran setiap ayat dan pasal dalam KUHP memiliki kualifikasi tertentu.

"Sangkaan itu harus jelas pasalnya, dan juga ayatnya. Sebab tidak ada kualifikasinya yaitu Pasal 242 ayat (1) dan (2) serta Pasal 55. Padahal setiap ayat itu punya kualifikasi tersendiri. Enggak bisa secara umum. Sekarang polisi sudah memperbaikinya," tegasnya.

Diberitakan, Tim penyidik Bareskrim, yang tergabung dalam satuan tugas (satgas) untuk kasus KPK akan menjadwalkan memeriksa BW sebagai tersangka besok, Selasa (3/2).

"Informasi dari tim penyidik Bareskrim Polri, sesuai surat panggilan yang telah diserahkan kepada saudara BW, dijadwalkan besok BW akan dipanggil untuk didengar keterangannya di Bareskrim Polri," kata Kadiv Humas Polri Irjen Ronny F Sompie di Mabes Polri, Jakarta, Senin (2/1).

BW dijerat pasal 242 juncto pasal 55 KUHP, dengan ancaman tujuh tahun penjara, sebagai buntut laporan politisi PDIP, Sugianto Sabran. BW sempat ditangkap Bareksrim pada Jumat 23 Januari lalu, yang menimbulkan aksi massa untuk memberi dukungan kepada KPK dan protes pada Polri.

BW disangka terkait kasus memerintahkan memberikan kesaksian palsu dalam persidangan sengketa pilkada Kotawaringin Barat (Kobar), di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010.

Dalam kasus ini sudah ada yang dipidana yaitu Ratna Mutiara. Ia dulu ditangkap Bareskrim dan diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan dakwaan memberikan keterangan palsu di MK dan divonis lima bulan penjara. Ratna telah membantah bahwa kesaksiannya diarahkan oleh BW. (SP)