Kamis, 26 Februari 2015

Pakar Hukum Masih Bingung Dengan Putusan Hakim Sarpin



Hakim Sarpin Rizaldi memimpin sidang praperadilan Budi Gunawan kepada KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Jakarta – WARA - Keputusan Hakim Sarpin yang memutus gugatan praperadilan Komjen (Pol) Bugi Gunawan masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Banyak kalangan menilai, penetapan tersangka pada dasarnya bukanlah sebuah objek praperadilan.

Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Agustinus Pohan, menilai, jika berpatokan pada pasal 77 KUHAP, maka sesunggguhnya penetapan tersangka memang bukanlah objek dari praperadilan.

"Pasal 77 KUHAP pada dasarnya bersifat limitatif. Kalau bicara normatif di Pasal 77 KUHAP, penetapan tersangka tidak bisa dipraperadilankan," kata Agustinus Pohan, Kamis (26/2).

Dalam kasus Komjen (Pol) Budi Gunawan, dijelaskan, Hakim Sarpin justru menggunakan pasal 95 KUHAP yang diperluas.

Di pasal tersebut intinya berbunyi "gugatan berdasarkan permohonan ganti rugi karena tindakan lain’.

Kata-kata ’tindakan lain’ maknanya kemudian diperluas oleh Hakim Sarpin sehingga menjadi dasar keputusan.

"Ini terobosan hukum yang dilakukan Hakim Sarpin. Hanya saja, terobosan yang dilakukan untuk melindungi elite. Idenya di Pasal 95 KUHAP dan kalau dibaca sebenarnya hanya di seputar kewenangan penyidik, karena ada kata-kata tindakan lain itulah, dalam hal ini tindakan lain yang tanpa dasar seperti penggeledahan, penyitaan dan lain-lain," ucapnya.

Yang lebih membahayakan lagi, dikatakan, Hakim Sarpin telah melakukan blunder dalam persidangan dengan mengatakan bahwa Komjen (Pol) Budi Gunawan bukanlah penegak hukum.

Masyarakat nantinya akan semakin bertanya-tanya mana polisi yang penegak hukum dan mana yang tidak.

"Keberatan saya terbesar adalah pernyataan bahwa Budi Gunawan bukanlah penegak hukum. Padahal di dalam KUHAP, jelas-jelas disebutkan penyelidik adalah setiap polisi negara RI," ucap Agustinus. (SP)

Pasien BPJS Niat Jual Tabung Gas Untuk Beli Obat



Ilustrasi Peserta BPJS (sumber: Istimewa)

Surabaya - WARA - Komisi D Bidang Kesra DPRD Kota Surabaya akan memanggil pihak-pihak berwenang terkait dengan adanya salah satu keluarga pasien BPJS dari keluarga miskin warga Jalan Kutai 4/2 Surabaya yang tidak mampu membeli obat untuk anaknya sehingga berniat menjual tabung elpiji.

Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Agustin Poliana, mengatakan dengan banyaknya keluhan di masyarakat membuktikan belum siapnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

"Kami akan panggil pihak-pihak terkait untuk menyikapi ini. Apalagi ini terjadi di Kota Surabaya yang memiliki APBD yang cukup besar," katanya, Rabu (25/2).

Hal sama juga diungkapkan Wakil Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Junaedi. Ia mengatakan pada prinsipnya terkait keluarga tidak mampu yang tidak bisa berobat tidak perlu terjadi.

"Solusinya pihak rumah sakit memberikan kebijakan atau toleransi jika ada pasien yang tidak mampu membeli obat," katanya.

Ia menilai kejadian ini dikarenakan kurangadanya sosialisasi menyeluruh baik dari rumah sakit, pemerintah kota dan BPJS. "Pihak rumah sakit juga tidak boleh menolak pasien apalagi memberikan obat-obatan yang diluar batas kemampuannya," ujarnya.

Diketahui kejadian itu bermula pada saat seorang ibu warga Jalan Kutai Surabaya Vita Ridhani Yuniningsih (43) sudah tidak memiliki cara lagi untuk membeli obat-obatan yang dibutuhkan putri bungsunya, Chiquitita Adinda Putri Istiawan (2) yang divonis menderita epilepsi sejak usianya masih menginjak 6 bulan.

Balita kelahiran 28 Mei 2012 ini harus mengkonsumsi Depakene untuk mengurangi kejang-kejang saat Epilepsinya kambuh sewaktu-waktu. Ketika stok Depakenenya habis selama sepekan sejak pertengahan bulan ini, Dinda sering mengalami kejang-kejang, sehari bisa sampai tiga kali.

Tentu saja, hal ini membuat Vita panik dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Sehingga, istri dari Heru Istiawan (41) ini sampai berniat menjual satu-satunya barang berharga miliknya yang tersisa yakni tabung gas elpiji Blue Gas 5,5kg beserta tungkunya.

Niat ibu tiga anak yang akrab dipanggil Vita ini disampaikannya pada Ketua Komunitas Tolong-Menolong (KTM) Daniel Lukas Rorong melalui pesan singkat (SMS) belum lama ini.

Mendapati info seperti itu, Daniel mencoba mengorek-orek permasalahan yang sebenarnya terjadi. Tanpa butuh waktu yang lama, komunitas sosial yang bermarkas di Surabaya ini langsung merespons dengan membelikan obat-obatan dan vitamin yang dibutuhkan, seperti Depakene, Locoid Scalp dan Prolacta DHA yang jika ditotal, harganya tidak sampai Rp 400.000.

"Pihak kami langsung bergerak cepat untuk menolong apa yang menjadi kesulitan keluarga tak mampu ini," kata Daniel.

Sedangkan untuk Locoid Scalp diperlukan untuk mengobati sejenis jamur (Tinea Barbae and Tinea Capitis) yang tumbuh di beberapa bagian di kulit kepalanya.

Prolacta DHA Baby sendiri diperlukan untuk pemenuhan gizi Dinda yang termasuk terlambat pertumbuhan di usianya yang genap 3 tahun pada Mei mendatang.

"Sampai saat ini, anak saya hanya bisa mengucapkan kata mama saja. Dan berjalannya pun masih belum laiknya anak-anak seusianya," kata Vita.

Untuk diketahui, Dinda sendiri sebenarnya adalah pasien BPJS umum kelas 1 dengan nomer kepesertaan 0001244551997 yang tiap bulannya membayar Rp 59.000. "Tapi saya tidak tahu, kenapa obat-obatan yang diperlukan anak saya tidak dicover saat saya berniat menebusnya di apotik salah satu rumah sakit di Surabaya setelah saya memeriksakan kondisinya," ungkap Vita.

Untuk itu, dirinya berharap pihak BPJS bisa membantu dan merespons apa yang menjadi keluhannya ini.

"Meski tergolong tidak mampu, tapi saya sadar asuransi sehingga menyertakan anak saya di BPJS dengan harapan agar dapat dicover kesehatannya," harap Vita yang pernah menjadi penyanyi di kafe dan hotel di Surabaya serta Bali ini.

Vita sendiri, sejak Dinda, putri bungsunya berusia 1 tahun, memutuskan untuk tidak bekerja dan fokus mengurus buah hatinya tersebut. Penghasilan suaminya yang bekerja di salah satu gudang besi di kawasan industri Rungkut, Surabaya dengan pendapatan Rp2 juta per bulan ini tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Sehingga untuk membantu perekonomian dan untuk pengobatan anaknya, Vita membuka lapak kecil di teras rumah ibunya yang letaknya tak jauh dari kos-kosannya dengan berjualan kopi dan mie instan. (BS)

Koalisi Masyarakat Sipil Minta Propam Periksa Kabareskrim



Kabareskrim Komjen Pol Budi Waseso menjawab pertanyaan wartawan saat tiba di Mabes Polri, Jakarta, 20 Februari 2015 (sumber: Antara)
Jakarta - WARA - Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri LSM ICW dan KontraS meminta Kadivpropam Polri Irjen Pol Syafruddin memeriksa Kabareskrim Komjen Pol Budi Waseso dan jajaran penyidiknya yang telah terlibat dalam penangkapan Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto.

"Kami mendesak Kadivpropam untuk memeriksa Kabareskrim, mengingat kesalahan penyidik juga merupakan tanggung jawab Kabareskrim sebagai atasan tertinggi yang memerintahkan untuk menangkap korban," kata perwakilan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Arif Nur Fikri di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (25/2).

Menurut dia, rekomendasi Ombudsman RI (ORI) yang menyatakan telah terjadi maladministrasi dalam proses penangkapan dan pemeriksaan BW oleh Bareskrim sesuai dengan laporan pelanggaran yang disampaikan KontraS dan Indonesia Corruption Watch (ICW) ke Propam Polri pada 18 Februari 2015.

Ia menyebut beberapa pelanggaran yang dilakukan Bareskrim di antaranya penangkapan dilakukan tanpa adanya pemanggilan terlebih dulu, adanya anggota Polri di luar nama penyidik yang tercantum dalam surat perintah penangkapan yang turut menangkap BW.

Berikutnya, adanya kesalahan administrasi dalam surat perintah penangkapan serta Bareskrim yang tidak memberikan salinan berita acara pemeriksaan (BAP) kepada BW maupun penasihat hukumnya.

"Penangkapan Bareskrim terhadap BW tidak didahului dengan pemanggilan terhadap yang bersangkutan selama dua kali berturut-turut. Polri telah mengabaikan Perkap yang dibuat oleh lembaganya sendiri," tuturnya.

Selain meminta Propam agar memeriksa Budi Waseso, pihaknya juga meminta Propam menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman dengan memanggil Kombes Victor E. Simanjuntak dan Kombes Daniel Bolly Tifaona.

Pada Jumat (23/1) Bambang ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap oleh penyidik Bareskrim Polri terkait kasus dugaan memerintahkan saksi memberikan kesaksian palsu dalam sidang sengketa pemilihan Bupati Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010.

Pengamat: Indonesia Terlalu Banyak Lembaga Ekstra Konstitusional



Ilustrasi

Malang - WARA - Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof Dr Muhajir Effendi, menyatakan di Indonesia saat ini terlalu banyak lembaga ekstra konstitusional, sehingga perannya tumpang tindih dan tidak efektif.

"Banyaknya komisi-komisi yang ekstra konstitusional bentukan pemerintah, seperti Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) dan hadirnya Badan Narkotika Nasional (BNN) menjadikan peran dan kewenangan lembaga yang semestinya menjadi teramputasi," tegas Muhajir di Malang, Kamis (26/2).

KPK, lanjutnya, mengambil alih tugas penegak hukum, yakni Polri, Kejaksaan dan Pengadilan yang pada saat itu institusi tersebut tidak lagi dipercaya masyarakat, sehingga pemerintah membentuk KPK.

Sebenarnya keberadaan KPK bersifat sementara (ad-hoc) dan kontingensi, namun saat ini keberadaannya justru semakin besar, kian meluas, bahkan memperluas jaringan dengan rencana membentuk KPK di daerah-daerah.

Bahkan, kata Muhajir yang juga rektor UMM itu, dukungan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak terukur dan membabi buta, padahal personel KPK juga manusia yang pernah khilaf dan tidak bersih 100 persen.

Ia menilai KPK saat ini terus berupaya bagaimana mempertahankan keberadaannya agar tidak terusik, apalagi dibubarkan (dihapus).

"Kondisi KPK saat ini mengingatkan saya pada teori seorang sosiolog Amerika Serikat (AS) Talcott Parsons yang menyatakan teori fungsional struktural, yakni semua yang dibutuhkan akan terus dijaga untuk terus hidup dan bagaimana mempertahankannya agar tetap dibutuhkan," katanya.

Padahal, idealnya suatu saat lembaga-lembaga ekstra konstitusional maupun komisi-komisi yang tumpang tindih itu harus dihapus dan kewenangannya dikembalikan pada lembaga sebelumnya, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

"Memang lembaga-lembaga penegak hukum ini harus dioptimalkan dan benar-benar bekerja dengan bersih jika peran dan kewenangannya tidak ingin diamputasi dan diberikan pada lembaga bentukan baru lagi. 

Bukan saya tidak suka dengan keberadaan KPK, namun secara bertahap harus mulai dikurangi kewenangan dan perannya, sehingga peran-peran yang selama ini diambil alih KPK dikembalikan lagi pada lembaga lama yang berwenang," tandasnya.

Ia mengakui untuk mengembalikan peran dan kewenangan penegakan hukum pada institusi lama dan secara bertahap peran KPK dihapus termasuk kelembagaannya memang tidak mudah.

"Memang perlu keberanian dan kepemimpinan yang kuat, termasuk untuk menghapus komisi-komisi lain dan lembaga ekstra konstitusional lainnya," tegasnya. (BS)