Kamis, 18 Desember 2014

Demi Santhara, orang India rela puasa sampai mati



WARA - Puasa menjadi bagian penting dari beberapa budaya di dunia. Tetapi sebagian orang di dunia, rupanya memiliki ritual puasa yang sangat ekstrem. Bahkan sampai berujung pada kematian.

Ritual puasa ekstrem ini adalah bagian dari Jainisme, salah satu agama tertua di dunia. Mereka yang melakukan ritual - yang disebut Santhara - ini berhenti makan sampai mereka benar-benar mati kelaparan. 

Menurut penganut Jain, ini adalah cara untuk membersihkan diri dari karma buruk dan mencapai Moksha - pembebasan dari siklus duniawi - kematian dan reinkarnasi.

Sebagaimana dilansir Times of India, setiap tahun ratusan penganut Jain mengambil sumpah dalam ritual Santhara. Beberapa dari mereka adalah rahib dan lainnya adalah orang-orang biasa.

Menariknya, lebih dari 60 persen dari peserta ritual ini adalah perempuan. Dan diyakini bahwa perempuan punya kemauan lebih besar untuk menjalani ritual ekstrem ini ketimbang kaum Adam. Namun dalam praktiknya, ritual ini lebih populer di kalangan penganut Jain yang sakit atau divonis akan mati, tetapi orang yang sehat juga bisa berpartisipasi dalam Santhara.

Ketika seorang Jain merasa bahwa dia telah memasuki tahap akhir dalam hidupnya, dia bisa meminta izin teman, keluarga, dan gurunya untuk mengikuti praktik Santhara. Setelah permintaannya disetujui, orang tersebut diizinkan untuk secara bertahap tidak makan dan minum. Selama masa itu, dia harus belajar untuk melepas hasrat duniawi dan mulai berdamai dengan kematiannya. Jika dia tidak mampu untuk melakukan hal ini, itu berarti dia telah menggagalkan sumpahnya dan harus segera berhenti berpuasa.

Rekor terlama dalam ritual ini adalah 87 hari dan itu dicapai oleh Sadhvi Charan, rahib Rajasthani berusia 60 tahun. Rekor itu dicapai pada tahun 2009 lalu. Lebih dari 20.000 orang merayakan kepergiannya dari pusaran kematian dan kehidupan.

Santhara sendiri dianggap sebagai salah satu peristiwa penting bagi para Jain. Bahkan informasi tentang detik-detik terakhir kematian pengikut ritual ini diterbitkan di koran lokal, sehingga orang-orang bisa datang untuk menyaksikan kematiannya. Para penonton biasanya akan memakai pakaian putih, atau kadang-kadang bahkan telanjang, untuk menghormati orang yang sekarat tersebut. Ketika mereka merasakan kematian telah mendekat, mereka mulai menyebut nama-nama dewa mereka.


Karena dirasa terlalu ekstrem, ritual ini pun kerap disamakan dengan bunuh diri. Namun, para Jain menolak pernyataan yang menyamakan ritual Santhara dengan praktikbunuh diri. Beberapa meminta pemerintah untuk melarang ritual ini karena dianggap mengerikan. Tetapi para Jain berpendapat bahwa mereka memiliki hak dalam kebebasan beragama. Mereka pun bersikeras bahwa praktik ini normal dan harus diperlakukan dengan hormat. (Merdeka.com)

Ahok : Saya Belum Dapat Hidayah


Jakarta - WARA - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan sudah mengenal Islam sejak muda. Ahok mengaku tahu konsep agama yang dibawa Nabi Muhammad ini adalah rahmatan lil alaamin atau memberi rahmat dan kebaikan buat seluruh manusia.

"Saya sepakat dengan konsep itu, tapi sayangnya sampai sekarang, saya belum dapat hidayah saja," kata Ahok di hadapan puluhan marbot yang bakal diberangkatkan umroh oleh pemerintah DKI Jakarta, Selasa, 16 Desember 2014.

Ahok mengklaim hampir saja mempelajari Al-Quran jika tidak dicegah gurunya. Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, Ahok mau masuk ke dalam masjid bersama teman-temannya untuk mempelajari Al-Quran. Namun saat itu guru melarang karena Ahok non-muslim. "Coba kalau dari dulu saya belajar, mungkin bisa-bisa saya hafal Al-Quran 30 juz," ujar Ahok.

Pengalaman tak boleh masuk masjid berlanjut saat Ahok sudah menjadi Bupati Belitung Timur periode 2005-2006. "Saya dilarang menginjak halaman masjid karena dianggap kafir," kata Ahok. Padahal waktu itu Ahok sedang mendampingi Gubernur Bangka Belitung yang sedang safari Ramadan.

Ahok berpesan kepada para marbot, jangan sampai pengalaman dia terjadi di Jakarta. "Marbot di Jakarta jangan menutup diri, justru harus menjadi duta masjid, mengajak, dan menarik orang untuk datang ke masjid," ujarnya. "Marbot itu tugas mulia, bukan cuma mengurus masjid." (Tempo)


Bupati Lebong: Kami Diminta Jaga Hutan, Sementara Rakyat Kami Kurus



Firmansyah Bupati Lebong, Bengkulu, Rosjonsyah dalam pidatonya menyoal kontribusi dunia bagi daerahnya yang menjaga paru-paru dunia

Bengkulu - WARA - Bupati Kabupaten Lebong, Bengkulu, Rosjonsyah mengeluhkan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang mengepung wilayahnya tak membawa kemakmuran bagi rakyat. Sementara pihaknya diminta menjaga hutan tersebut karena bagian dari paru-paru dunia.

"Kami diminta menjaga hutan sementara rakyat kami kurus, tak dapat melakukan apa-apa, karena hanya 30 persen luasan Kabupaten Lebong yang dapat dikelola masyarakat, sisanya adalah taman nasional. Ini tidak adil, dunia harusnya memberikan kami kompensasi menjaga hutan agar kami tak kurus," ungkap Rosjonsyah dalam acara konsolidasi implementasi REDD di Bengkulu, Rabu (17/12/2014).

Ia menjelaskan, Kabupaten Lebong memiliki luas 221.000 hektar dengan penduduk 174.000 jiwa penduduk. Dari total luas daerah Lebong, 20.777 hektar di antaranya hutan lindung, 111.000 hektar wilayah TNKS, 2.800 hektar suaka alam dan area peruntukan lain 58.000 hektar.

"Kami diminta menjaga hutan sebagai paru-paru dunia namun kami masak tetap gunakan kayu, semua kehidupan masyarakat kami tergantung pada hutan. Saya tak dapat mencegah mereka (rambah hutan), karena tak ada perkebunan di Lebong. Kalau skema penjualan karbon dijalankan dan kami mendapatkan kompensasi, saya sanggup larang warga ke hutan," tegasnya dalam pidato.

Menurut dia, APBD Kabupaten Lebong tak dapat diandalkan untuk membantu menyelamatkan TNKS jika tak ada bantuan dari pihak lain. Ia juga mengkritik keberadaan tapal batas TNKS yang merangsek permukiman bahkan hingga ke dapur rumah warga.

"Tapal batas TNKS sangat dekat dengan rumah warga, padahal dulunya jauh di tengah hutan, kenapa bisa terjadi, ini harus dievaluasi," bebernya.

Sementara itu, Direktur Yayasan Akar, Erwin Basyrin menjelaskan, konflik masyarakat dengan hutan kerap terjadi di daerah itu, bahkan tak jarang berakhir hingga masuk penjara. Berdasarkan catatan Yayasan Akar, Provinsi Bengkulu memiliki 1.507 desa dan 620 di antaranya masuk ke kawasan hutan termasuk taman nasional.

"Kita harus fair, hutan harus lestari dan masyarakat makmur, masyarakat sejahtera namun hutan rusak itu juga tak baik, bencana akan mengancam," ingatnya.

Sementara itu, asisten ahli kepala nadan pengelola Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD ) atau pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan, Didy Wurdjianto menyebutkan, Bengkulu harus menyiapkan perangkat berupa data, kesepakatan dalam bentuk kontrak, dan kelengkapan lainnya untuk ikut dalam skema perdagangan karbon untuk mendapatkan kompensasi pengelolaan hutan.

"Perangkatnya yang harus disiapkan seperti membentuk semacam Satgas yang melakukan kerja dan berkoordinasi dengan REDD. Setelah itu terbentuk barulah dilakukan kerja pengurangan emisi karbon dan nanti akan dievaluasi dan dihitung berapa penurunan karbonnya, jadi tidak serta merta mendapatkan kompensasi, masih banyak tahapannya," kata Didy.

Meski demikian, ia juga mengapresiasi Bengkulu dengan inisiatif sendiri tanpa dibantu pihak lain mampu menurunkan laju emisi karbon sebesar 15,7 persen. (KOMPAS.com)

Issei Sagawa, Manusia Kanibal dari Keluarga Kaya yang Bebas Hukum



Tokyo - WARA - Rupanya memang benar, berbekal pendidikan memadai dengan kemampuan intelektual yang sangat baik serta lahir dari keluarga kaya raya ternyata tak menjamin seseorang untuk selalu berbuat baik. Tengok saja, Issei Sagawa, pria cerdas keturunan keluarga kaya di Jepang dengan keji membunuh temannya sendiri.

Lebih kejam dari itu, Sagawa ternyata memakan wanita cantik yang telah dibunuhnya tersebut. Renee Hartevelt, sang korban, merupakan teman kelas Sagawa sendiri.

Setelah terbukti bersalah melakukan pembunuhan tersebut di Paris pada 1981, Sagawa tak segang-segan mengakui perbuatannya. Dia mengaku telah menembak kepalanya dan memakan sebagian anggota tubuh Hartevelt.

Yang menjadi kontroversi dari kasus tersebut, adalah keluarga Sagawa berhasil membebaskan dia dari segala hukuman. Mengapa Sagawa bisa dinyatakan bebas?

Berikut ulasan singkat kasus pembunuhan dan kanibalisme yang dilakukan Sagawa seperti dikutip dari The Richest, Japan For The Uninvited, dan The Crime Library serta sejumlah sumber lain, Rabu (17/12/2014):

Pendidikan tinggi Issei Sagawa
Issei Sagawa lahir prematur di Tokyo pada 1949. Sagawa merupakan anak dari keluarga super kaya yang mendapat perhatian penuh dari ayah dan ibunya.

Sagawa merupakan pria pendek dengan tangan dan kaki yang terbilang kecil untuk pria berusia 20 tahunan. Bahkan suaranya terdengar seperti wanita .

Dengan kemampuan intelektual yang sangat tinggi, Sagawa dengan mulus merampungkan gelar sarjana di jurusan Sastra Inggris, Wako University di Tokyo. Pada 1997, di usia ke-28, Sagawa melanjutkan studinya ke luar negeri.

Dia memilih Paris untuk mendapatkan gelar PhD. Di sanalah dia bertemu dengan Hartevelt yang kemudian menjadi korban dari segala kekejian dan obsesi kanibalismenya sejak masih remaja.
Membunuh dan Memakan Wanita Cantik
Dengan tubuh yang kurang menarik bagi para wanita, Sagawa terobsesi dengan wanita cantik. Gejala dari obsesi tersebut ditunjukkan sejak dia masih berusia remaja.

Sagawa mengaku selalu ingin memakan wanita cantik yang ditemuinya di mana saja. Sagawa pernah mencoba merealisasikan fantasinya dengan masuk secara diam-diam ke apartemen dosennya di Tokyo.
Dosen asal Jerman tersebut memang telah membuat Sagawa tergila-gila. Namun aksi tersebut gagal saat dosen tersebut terbangun dan berteriak membuat Sagawa ketakutan.

Kejadian tersebut justru semakin menambah hasratnya pada wanita cantik. Obsesi tersebut dibawanya ke Paris dan membuatnya jatuh cinta pada teman sekelasnya.

Di Paris, dia bertemu dengan gadis asal Belanda, Renee Hartevelt. Kulitnya yang putih dengan lekuk tubuhnya yang sempurna membuat Sagawa tergila-gila.

Setelah berhasil membujuk Hartevelt datang ke apartemennya untuk belajar bersama, Sagawa langsung melancarkan aksinya. Dia lantas menembak Sagawa dan memakan anggota tubuhnya selama dua hari.
Sisa tubuhnya lantas hendak dibuang ke danau saat polisi berhasil membekuk Sagawa.
Akui kesalahan, Sagawa Dibebaskan
Setelah dibekuk polisi, Sagawa mengaku telah membunuh dan memakan bagian tubuh Hartevelt. Mengetahui anaknya tersangkut kasus pembunuhan, ayah Sagawa yang kaya raya lantas membayar pengacara handal di Paris.

Dengan alasan gangguan jiwa, Sagawa lantas dibebaskan dari segala tuduhan dan hukuman. Itu setelah Sagawa menjalani sejumlah tes mental dan psikologis.

Setelah dibebaskan dari hukumannya, dia menjadi selebriti di Jepang setelah mempublikasikan buku mengenai pembunuhan yang dilakukannya. Sagawa kini tinggal di Tokyo dan kebebasannya masih sangat kontroversial hingga saat ini. (Liputan6.com)