Kamis, 04 Desember 2014

Cerita Buku Nabi Muhammad Beristri 20 Gegerkan Aceh

Buku pendangkalan aqidah beredar di Aceh.
WARA - Warga Aceh digegerkan dengan penemuan buku pendangkalan aqidah. Buku-buku yang beredar secara diam-diam ini berisi menyudutkan ajaran Agama Islam. Sehingga membuat warga resah dan telah melaporkan peredaran buku itu pada ulama.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali membenarkan adanya peredaran buku tersebut. Peredaran buku ini terjadi di beberapa kabupaten yaitu Pidie Jaya, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Besar dan Bireuen.

”Buku yang beredar pada masyarakat itu beragam, ada 4 jenis. Intinya dalam buku itu adalah upaya pemurtadan siapa yang membacanya,” kata Wakil Ketua MPU Aceh, Faisal Ali, Rabu (3/12) di kantor MPU Aceh.

Buku itu pun kini menjadi buah bibir di masyarakat Aceh. Lalu apa isi buku yang menggegerkan itu? Dan bagaimana bisa tersebar di Aceh? Berikut peristiwanya:
Buku menyebut Nabi Muhammad beristri 20 beredar di Aceh
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali menyatakan buku-buku yang beredar itu perlu di-black list. Menurutnya bila buku tersebut dibaca oleh masyarakat awam maka akan sulit membedakan mana yang benar dan salah. Sehingga rawan terhadap terjadi pemurtadan dan pendangkalan aqidah umat muslim di Aceh.

Faisal Ali juga mencontohkan isi buku yang mengarah pendangkalan aqidah seperti disebutkan bahwa bahwa Alquran itu telah memutarbalikkan kitab. Kemudian disebutkan juga bahwa Nabi Muhammad menikah sebanyak 20 kali.

”Ini semua upaya menyudutkan Islam dan modus operandinya setiap beredar buku penangkalan aqidah sama. Namun sekarang ini intensitasnya yang semakin masif terjadi di Aceh,” terang Tgk H Faisal Ali.
Buku dititipkan di warung & pondok pesantren
Adapun metode penyebaran buku itu di Kabupaten Aceh Besat, dititipkan di warung-warung dengan menggunakan sepeda motor. Hal yang sama juga metode peredaran di Aceh Jaya dan beberapa kabupaten lainnya..

”Kalau di Pidie Jaya itu justru dititipkan di sebuah pesantren yang ada di Pidie Jaya,” ujar Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali.

Oleh karena itu, Faisal Ali meminta kepada pihak kepolisian dan Pemerintah Aceh untuk mengusut tuntas peredaran buku tersebut. S
Diduga untuk mengadu domba Muslim dan Non-muslim
Dalam buku yang sudah beredar luas itu, isinya telah memutarbalikkan kitab suci Alquran. Kemudian disebutkan juga bahwa Nabi Muhammad menikah sebanyak 20 kali.

”Ini semua upaya menyudutkan Islam dan modus operandinya setiap beredar buku penangkalan aqidah sama. Namun sekarang ini intensitasnya yang semakin masif terjadi di Aceh,” terang Ali.

Menurut Faisal Ali, kasus buku ini harus dituntaskan, agar tidak terjadi salah paham dengan non-muslim yang ada di Aceh. Hal ini karena dengan modus operandi yang sistematis dan masif, dia mensinyalir ada upaya mengadu domba antara Muslim dan non-muslim di Aceh.
Pendangkalan aqidah di Aceh terstruktur & masif
Pendangkalan aqidah dan pemurtadan di Aceh sudah berlangsung secara terstruktur, sistematis dan masif. Atas dasar itu, Gubernur Aceh selaku kepala pemerintahan diminta segera bersikap dan mengambil langkah strategis untuk mengantisipasinya.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Nur Zahri mengatakan, kasus pendangkalan aqidah di Aceh bukan hal yang baru. Kasus serupa sudah sering terjadi dan terus berulang. Namun Pemerintah Aceh belum ada langkah kongkrit untuk mengatasinya.

”Sudah sangat memprihatinkan pendangkalan aqidah dan upaya pemurtadan di Aceh, sudah berlangsung secara sistematis, terstruktur dan masif,” kata Nur Zahri, Rabu (3/12) via telepon.
Pemerintah didesak turun tangan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Nur Zahri mendesak Pemerintah Aceh harus segera mengambil langkah kongkret dan harus pro aktif untuk secepatnya menyelesaikan kasus pendangkalan aqidah di Aceh yang sudah memprihatinkan. Termasuk harus melibatkan multi stakeholder untuk penyelesaiannya.

Bila tidak segera diantisipasi, Nur Zahri khawatir pendangkalan aqidah di Aceh terus berlanjut dan kemudian akan menyulut benih konflik baru antar agama di Aceh. Padahal Aceh dikenal daerah yang sangat toleransi terhadap agama lainnya kuat dan belum pernah terjadi konflik antar agama.

”Pemerintah Aceh yaitu Gubernur Aceh harus mengambil langkah pro aktif, jangan sampai ada pembiaran terus terjadi, karena ditakutkan nanti ada konflik baru terjadi di Aceh,” pintanya.

Selain itu, Nur Zahri juga meminta pihak kepolisian tidak hanya menunggu delik aduan terhadap kasus tersebut. Pihak kepolisian harus memaksimalkan fungsi intelijen untuk mengatasi dan melacak pelaku pendangkalan aqidah itu.

”Pihak kepolisian harus bekerja sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku, kasus seperti ini seharusnya polisi bisa bertindak pencegahan dengan memfungsikan fungsi intelijen,” pintanya.

Menurutnya, aksi pendangkalan aqidah di Aceh yang terjadi sudah berlangsung lama dan berlangsung secara masif, tidak mungkin pihak intelijen tidak mengetahuinya. “Pihak intelijen pasti tau, gak mungkin mereka tidak tau,” tutupnya. (merdeka.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar