Jumat, 13 Februari 2015

Endriartono : TNI Bisa Dikerahkan Atasi Konflik KPK-Polri



Endriartono Sutarto.

Jakarta – WARA - Mantan panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto menyatakan bahwa TNI dapat dikerahkan untuk mengatasi konflik Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri, saat ini.

"(Pengerahan TNI) asal memang instruksi presiden maka itu yang harus dilakukan, tapi tidak tanpa keputusan presiden," kata Endriartono di gedung KPK Jakarta, Kamis.

Endriartono bertemu dengan pimpinan KPK untuk membicarakan mengenai ancaman serius yang dialamatkan kepada penyidik dan struktural KPK serta keluarga mereka.

"Dalam aturan memang tidak dibenarkan (pengerahan), tapi kalau presiden memerintahkan maka itu harus dilakukan dan saya percaya ini situasi belum mengharuskan turunnya TNI," tambah Endri.

Mantan penasihat tim pembela KPK tersebut menyatakan bahwa ancaman tersebut dapat mengancam keselamtan seluruh warga negara.

"Ternyata memberikan ancaman itu adalah hal yang serius karena ancaman ini bisa juga mengancam keselamata seluruh warga negara kalau itu terjadi, cuma saya masih punya keyakinan tidaklah kalau itu dilakukan aparat atau institusi yang memberikan keselamatan kepada masyarakat, tapi memberikan ancaman," tutur Endriartono.

Ia meminta agar Presiden Joko Widodo memberikan keputusan cepat dalam menyelesaikan masalah KPK-Polri tersebut.

"Kita berharap sangat agar presiden segera memberikan keputusan kemudian keputusan itu dapat menenteramkan semua pihak untuk menyelesaikan semua persoalan demi persoalan dengan baik, kedua institusi bis kembali bekerja dengan normal," jelas Endri.

Tapi, ia mengakui bahwa konflik KPK-Polri kali ini lebih berat dibanding konflik sebelumnya kedua institusi tersebut.

"Saya lihat memang situasi sekarang lebih kompleks, lebih berat sehingga apa-apa langkah yang waktu itu kita lakukan apakah masih valid bila dilakukan sekarang. Konflik antarinstitusi kepolisian dan KPK ini harus bisa diselesaikan dengan baik, tanpa kekerasan tanpa harus melanggar ketentuan dan aturan hukum," ungkap Endri.

Presiden menjadi pihak satu-satunya yang berwenang menyelesaikan masalah tersebut.

"Kalau presiden mengambil keputusan dan tidak menunggu sampai berlarut-larut dan situasi semakin buruk, masyarakat semakin kehilangan keyakinan bahwa ini akan selesai, dan kedua institusi tidak bisa bekerja secara maksimal," tegas Endri.

Pada Rabu (11/2), Wakil ketua KPK Bambang Widjojanto menyatakan bahwa ada ancaman yang enyangkut pada keselamatan nyawa dan eskalatif, termasuk dengan pemanggilan terhadap pejabat struktural KPK ke Bareskrim Polri.

Selain teror terhadap penyidik, sejumlah pihak juga sudah melaporkan empat pimpinan KPK kepada Bareskrim Polri pasca penepatan calon tunggal Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan menjadi tersangka.

Dalam hal ini, Bambang Widjojanto sudah menjadi tersangka kasus dugaan menyuruh saksi memberikan keterangan palsu dalam sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada 2010 berdasarkan laporan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Sugianto Sabran pada 19 Januari 2015.

Selanjutnya Abraham Samad, dilaporkan oleh Direktur Eksekutif KPK Watch M Yusuf Sahide karena diduga bertemu dengan pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK yaitu petinggi partai PDI-P.

Abraham juga dilaporkan perempuan Feriyani Lim pada 2 Februari 2015 dengan tuduhan pemalsuan dokumen yang diduga dilakukan Abraham Samad karena memalsukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari suatu daerah ke Makassar, Sulawesi Selatan pada 2007.

Kemudian Abraham kembali dilaporkan LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) terkait kepemilikan senjata api yang surat izinnya sudah mati pemberian Komjen Pol Suhardi Alius.

Selanjutnya Komisioner KPK Adnan Pandu Praja dilaporkan pada 24 Januari 2015 oleh ahli waris pemilih PT Deasy Timber, karena diduga memalsukan surat akta perusahaan pada 2005 saat menjadi kuasa hukum perusahaan yang bergerak dalam bidang hak pengelolaan hutan (HPH) tersebut.

Sedangkan pada 28 Januari, Zulkarnain dilaporkan Aliansi Masyarakat Jawa Timur karena diduga menerima uang dan gratifikasi berupa mobil saat mengani tindak pidana korupsi Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) pada 2008 yang menjadikan 186 orang sebagai tersangka. (SP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar