Minggu, 08 Februari 2015

Jakarta Termacet


Lalulintas yang macet total akibat jumlah kendaraan yang terlalu banyak.

Jakarta – WARA - Jangan beranggapan bahwa kemacetan lalu lintas di Jakarta adalah sebuah kewajaran. Pola pikir wajar tak akan memunculkan keinginan kuat, atau sangat kuat, untuk mengurai kemacetan. Seperti ketika muncul sebuah publikasi yang menyebut bahwa Jakarta adalah kota termacet di dunia, banyak yang berkomentar bahwa kondisi itu wajar. Wajar karena dalam kurun tertentu pertumbuhan luas jalan sangat kecil sementara jumlah kendaraan bertambah begitu cepat.

Jumlah kendaraan di DKI Jakarta mencapai 16,1 juta unit. Ditambah kendaraan dari sekitar Bodetabek, jumlahnya bisa mencapai 22 juta unit. Ruas jalan idealnya 20% dari total luas kota namun Jakarta hanya memiliki 6,2%. Jumlah perjalanan di dalam Jakarta mencapai 18,77 juta/hari. Pada 2014, diperkirakan jumlah kendaraan di jalan mencapai 7,46 juta unit dengan luas kendaraan di jalan 50,29 kilometer persegi. Sementara luas jalan yang ada di Ibu Kota tersedia 40,1 kilometer persegi.

Wajar pula karena kota tak menyediakan fasilitas angkutan umum memadai sehingga orang ramai-ramai menggunakan kendaraan pribadi. Dan, wajar karena jumlah penduduk terus bertambah. Semua pemangku kepentingan di Jakarta dan sekitarnya harus berpikir sebaliknya. Kemacetan merupakan ketidakwajaran.

Apakah kita baru terperangah dan menganggap kemacetan sebuah ketidakwajaran ketika muncul kalkulasi potensi dampak dari kemacetan yang mencapai Rp 68,2 triliun per tahun? Bayangkan, angka itu berarti dua kali lipat APBD DKI 2011. Berdasarkan data Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), potensi kerugian akibat kemacetan lalu lintas tersebut berasal dari kerugian dari sektor kesehatan Rp 38,5 triliun dan dari sektor penggunaan BBM Rp 29,7 triliun.

Kemacetan Jakarta juga wajar bila kita mengambil sudut pandang bahwa produksi mobil yang melimpah, pertumbuhan ruas jalan, jumlah penduduk yang terus bertambah, juga terjadi di kota-kota besar negara lain di dunia. Benar bahwa di kota-kota seperti Singapura, Kuala Lumpur, Tokyo, atau New York juga macet namun tidak separah Jakarta.

Sekurangnya menurut pemeringkatan sebuah produsen oli tadi, Jakarta menjadi kota termacet di dunia. Beda antara Jakarta dengan kota besar lainnya tadi adalah pada bagaimana menata dan mengelola kota. Bila sudah demikian, maka Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat adalah pihak yang paling bertanggung jawab.

Tanggung jawab itu kini ada di pundak Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Joko Widodo sebagai Presiden. Bukan kebetulan keduanya adalah pasangan yang pernah dua tahun bersama memimpin Jakarta.

Masih lekat dalam ingatan ketika Joko Widodo hendak masuk dalam bursa calon presiden. Ketika publik mempertanyakan komitmennya memimpin Jakarta, maka muncul jawaban bahwa mengabdi buat Jakarta tak harus ada pada posisi gubernur. Bila terpilih menjadi presiden Jokowi bakal melempangkan pembangunan Jakarta. Persoalan Jakarta bakal lebih mudah tertangani karena gubenur dan presidennya sudah ’klop’ dalam melihat permasalah Jakarta.

Jokowi-Basuki sudah meletakkan dasar-dasar pembagunan Jakarta dengan benar, mulai dari reformasi birokrasi, pengelolaan anggaran, penataan kawasan kumuh, dan penanggulangan banjir, serta penguraian kemacetan. Satu per satu sudah mulai tertangani. Namun demikian, kemajuan penanganan masalah pada masing-masing persoalan tidak seragam.

Soal kemacetan lalu lintas Pemprov DKI Jakarta tampaknya kedodoran. Kepemimpinan Jokowi yang dilanjutkan Basuki baru sebatas berhasil memulai proyek mass rapid transit (MRT). Proyek yang bakal rampung sebagian pada 2018 itu diyakini hanya akan mengurai kemacetan di tengah kota khususnya jalur padat Kota-Thamrin-Sudirman-Fatmawati -Lebakbulus. Selebihnya akan tetap sama.

Secara objektif kita mengakui penanganan kemacetan bukan tanpa kemajuan. Upaya mengurangi jumlah kendaraan dari wilayah sekitar Jakarta masuk ke jantung kota tampaknya cukup berhasil. Ini bukan hanya kerja Pemprov DKI Jakarta melainkan juga jasa PT KAI Commuter Jabodetabek. Ribuan motor dan mobil kini terparkir di sejumlah stasiun-stasiun kereta. Warga pinggiran Jakarta meninggalkan kendaraan mereka lantas menggunakan kereta rel listrik menuju pusat kota.

Upaya serupa terlihat pada makin banyak peminat Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB), angkutan dari pinggiran kota ke tengah kota. Apalagi APTB kemudian terintegrasi dengan jalur busway.

Apa yang sudah berjalan baik perlu diakselerasi. Warga pinggiran yang menyerbu Jakarta pada pagi hari dan meninggalkannya pada sore dan malam hari belum disentuh. Pesan secara sengaja dari otoritas yang bertanggung jawab terhadap lalu lalang orang tak pernah disampaikan kepada mereka.

Sangat minim informasi -apalagi imbauan- mengenai angkutan alternatif menuju tengah kota. Warga mengetahuinya bukan dari pemerintah daerah atau institusi perhubungan melainkan dari mulut ke mulut. Tak ada gerakan masif dan terus menerus membudayakan warga menggunakan angkutan umum.

Boleh jadi hal ini terjadi karena pemerintah belum mampu menyediakan angkutan umum yang aman nyaman dan terjangkau. Pemprov DKI Jakarta yang sekarang memiliki anggaran belanja sebesar Rp 73 triliun belum mampu mengganti angkutan jenis Kopaja dan metromini yang sudah reot. Entah kapan janji akan mengganti 1.000 metromini dan kopaja akan terealisasi.

Dengan berbagai alasan, Jakarta akhirnya tak akan mempunyai monorel yang sebelumnya digadang-gadang menjadi salah satu transportasi massal Jakarta masa depan. Penerapan teknik rekayasa lalu lintas seperti three in one dan electronic road pricing belum optimal. Demikian juga kebijakan parkir mahal di tengah kota belum berjalan.

Kebijakan menerapkan disiplin di jalur busway pun dilakukan setengah hati. Kondisi ini diperparah dengan perilaku oknum aparat di lapangan yang melegalkan pelanggaran demi segenggam uang.

Kemacetan memang merupakan persoalan klasik. Anak muda sekarang menyebutnya basi. Namun, semangat untuk mengurai kemacetan tidak boleh basi. Masyarakat menunggu duet Presiden dan Gubernur atau sinergi pemerintah pusat dan DKI dapat mengatasi. Semoga mantan gubenur DKI menjadi menjadi presiden RI ada pengaruhnya bagi pembangunan Jakarta. (SP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar