Rabu, 21 Januari 2015

Percepatan Penanganan Korupsi


Jelang pencoblosan pemilihan umum anggota legislatif pada 9 April mendatang, Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar alat kampanye raksasa dengan tulisan "Pilih yang jujur" di gedung KPK, Selasa (8/4).
WARA - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memerintahkan anak buahnya untuk mempercepat proses sejumlah kasus korupsi yang sedang diusut, sehingga sebelum berakhir masa tugas mereka di penghujung 2015, kasus-kasus tersebut sudah maju ke tahap penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan.

Tercatat sejumlah tersangka belum juga mendapat kejelasan mengenai proses yang sudah dilakukan oleh KPK, di antaranya mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Purnomo, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik dan kader Partai Demokrat Sutan Bhatoegana. Mereka sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam waktu yang berbeda pada 2014, namun sudah sekian bulan tak juga kasusnya diajukan ke pengadilan.

Memang, seturut amanat UndangUndang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan payung hukum badan antikorupsi itu, tidak ada kewenangan untuk menerbitkan surat perintah penghentian peyidikan. Artinya, bisa hitungan bulan atau tahun, seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka akan dibawa ke hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Ketika KPK dihadapkan kepada pertanyaan soal kejelasan penanganan sebuah kasus yang terbilang lama tidak ada kemajuan, atau tersangka tak juga kunjung ditahan, selalu ada dalil pembenaran yang diajukan. Pertimbangan waktu penahanan yang terbatas, padahal masih banyak saksi yang perlu dimintai keterangannya.

Bila KPK lebih awal menahan tersangka, sedangkan penyidikan masih perlu waktu, maka tersangka harus dilepas demi hukum apabila masa penahanannya habis. Alasan semacam itu bisa diterima, namun sesungguhnya tidak sepenuhnya berlaku bagai sebuah lembaga hebat dan memegang bermacam kewenangan istimewa seperti KPK.

Bukankah KPK dibentuk karena lembaga penegak hukum lainnya, yakni Kejaksaan dan Polri belum efektif dan efisien dalam memberantas korupsi. Lalu apa bedanya KPK dengan kedua lembaga di bawah pemerintah apabila proses hukum yang dilakukan harus memakan waktu berbulan-bulan bahkan sampai bilangan tahun.

Kehebatan dan digdaya KPK bukan hanya karena kewenangan bisa menjangkau sampai ke petinggi negara maupun kelengkapan peralatan untuk menyadap pembicaraan telepon di antara orang-orang yang tengah dicurigai. Bagi publik, KPK disegani karena bisa menyentuh mereka yang dipandang tidak tersentuh hukum.

Kerabat dekat penguasa pun tidak bisa menghindar dari jangkauan KPK. Mereka yang duduk di partai politik pendukung utama penguasa, juga tidak ada yang dapat lari dari kejaran lembaga yang ditakuti oleh para perampok uang negara serta para penyelenggara yang doyan menerima suap.

Desakan kepada KPK untuk mempercepat proses dalam kasus korupsi yang tengah ditangani kembali mengemuka ketika lembaga penegak hukum independen itu menetapkan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai tersangka, hanya satu hari menjelang menjalani uji kelayakan dan kepatutan di hadapan para anggota DPR. Publik mereka-reka bila penetapan tersangka itu tergesa-gesa. Bahkan, ada yang meragukan bila KPK menjadikan calon tunggal Kapolri itu sebagai tersangka semata pertimbangan yuridis.

Presiden Joko Widodo tidak segera melantik Budi sebagai Kapolri dengan pertimbangan memberikan ruang bagi KPK untuk melakukan proses hukum atas perwira polisi berbintang tiga itu. Dengan menunjuk pelaksana tugas Kapolri, amat jelas sinyal yang disampaikan oleh presiden yang menghormati poses di KPK. Ada saling menghormati di antara lembaga negara apabila KPK merespons dengan mempercepat proses yang sedang berjalan sehingga ada kejelasan mengenai sangkaan menerima gratifikasi yang ditimpakan kepada Budi Gunawan.

Sebagai sebuah lembaga yang secara tegas dipagari oleh undang-undang, sebagai institusi yang tidak boleh tunduk kepada kekuasaan apa pun, termasuk campur tangan dari eksekutif dan legislatif, KPK sudah dibekali dengan kewenangan yang tidak dipunyai oleh Kejaksaan dan Polri. Dengan kewenangan hebat, sepatutnya KPK tidak perlu waktu lama untuk memajukan sebuah kasus dari penyidikan ke tahap penuntutan atau persidangan.

Justru dikhawatirkan bila penetapan seorang tersangka yang sudah berbulan-bulan belum pernah diperiksa sebagai tersangkan karena bukti-bukti yang didapat masih sumir. Atau karena sebuah momentum saja sehingga KPK memanfaatkannya untuk membongkar sebuah kasus yang segera menyita perhatian publik.

Setelah menetapkan seseorang sebagai tersangka maka KPK sepatutnya memprioritaskan proses penyidikannya agar tersangka memperoleh kejelasan menyangkut persoalan hukum yang tengah menerpanya. Tidak ada kepastian mengenai prosesnya berakibat kian jauhnya proses untuk memperoleh keadilan.

Janganlah KPK sekadar kejar target tanpa memperthitungkan kemampuan personelnya dalam mempercepat proses sebuah kasus hukum. Bagi pengadilan, tidak pernah ada kewajiban untuk menghukum setiap terdakwa yang dibawa KPK ke hadapan majelis hakim karena sebuah kasus sudah lama berada di tangan lembaga nan hebat itu. (SP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar