Jumat, 06 Februari 2015

Mahfud: Kasus Samad Sepele, Kok Dibesar-besarkan


Mahfud MD.

Jakarta – WARA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. mengatakan dugaan pemalsuan dokumen yang dituduhkan kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad merupakan persoalan ringan. Karena itu, dia meminta Polri agar bisa membedakan kasus Samad tersebut masuk ke dalam mala in se atau mala prohibita.

"Saya melihat kasus Samad yang di Sulawesi Barat itu kan hanya sifatnya mala prohibita, bukan serius pemalsuan," ujar Mahfud di gedung KPK, Jumat, 6 Februari 2015. Menurut dia, mala in se adalah orang melakukan tindakan hukum melanggar aturan resmi dan aturan dalam masyarakat. Sedangkan mala prohibita ialah orang melanggar aturan tapi sebenarnya tidak merugikan apa-apa.

Misalnya, mencantumkan nama orang lain di kartu keluarga untuk keperluan praktis. Mahfud mencontohkan, dirinya mempunyai pembantu yang tidak memiliki dokumen resmi dari daerah asalnya. Dia lalu ke kantor kelurahan untuk meminta mencantumkan nama pembantu tersebut ke dalam daftar keluarganya. "Itu mungkin dari prosedur salah, tetapi kesalahannya mala prohibita, bukan mala in se. Begitu-begitu kalau dijadiin pidana yang serius menimbulkan kesan kriminalisasi," ujarnya.

Padahal, kata Mahfud, arah kebijakan Indonesia menganut restorative justice. "Itu tidak terlalu membesarkan hal yang sepele."

Mahfud juga mencontohkan, para hakim dan pejabat mempunyai kartu tanda penduduk lebih dari satu. "Itu semua melanggar aturan, mala prohibita, bukan mala in se," tuturnya. Saat menjabat Menteri Pertahanan periode 2000-2001, tanpa minta surat pindah, dia langsung disiapkan KTP dan kartu keluarga sebagai penghuni rumah dinas negara. "Itu kan tidak melanggar rasa keadilan. Meskipun tidak meminta, tiba-tiba datang surat pindah. Banyak pejabat begitu."

Sebelumnya, seorang perempuan bernama Feriyani Lim melaporkan Abraham Samad ke Bareskrim Mabes Polri. Kuasa hukum Feriyani, Haris Septiansyah, mengatakan laporan tersebut dibuat karena kliennya merasa dirugikan atas apa yang dilakukan oleh Samad dan temannya, Uki.

Menurut Haris, perkara tersebut berawal saat Feriyani ingin membuat paspor pada 2007. Saat itu domisili Feriyani masih di Pontianak, Kalimantan Barat. Karena mengalami kesulitan administrasi, teman Feriyani menyarankannya untuk pindah ke Makassar. Feriyani ditawari bantuan untuk mengurus pembuatan paspor.

Saat di Makassar, Feriyani ditawari bantuan oleh Uki dan Samad. Haris mengatakan bantuan itu dilakukan dengan memasukkan identitas Feriyani ke dalam kartu keluarga Samad. Namun, menurut Haris, diduga telah terjadi pemalsuan identitas dalam dokumen paspor yang dimiliki Feriyani. (Tempo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar