Minggu, 07 Desember 2014

Pemerintah Diminta Tak Mengesahkan Parpol yang Masih Konflik



Wakil Ketua DPD RI La Ode Ida (kanan).
Jakarta - WARA - Pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) diminta untuk tidak mengesahkan salah satu kubu dari partai politik (parpol) yang mengalami konflik internal seperti Partai Golkar.
Pihak pemerintah harus belajar dari konflik internal PPP di mana pihak Kemenkum dan HAM tergesa-gesa mengesahkan kubu Romy sehingga menimbulkan permasalahan baru, lantaran kubu Romy dianggap pro Jokowi-JK.

“Ini artinya, peluang untuk terus berlanjutnya konflik internal Golkar dan PPP akan terus terbuka lebar,” kata mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Laode Ida, Minggu (7/12) malam.

Ia mengatakan, sikap politik Munas Golkar di Ancol agaknya berupaya merebut dukungan politik dari administrasi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK). Itu tampak dari pernyataan yang secara terbuka berada di belakang Jokowi-JK.

Hal itu, kata Laode, sungguh merupakan ekspresi dari ketak percayaan pada diri sendiri (low self confidence) dari para tokoh Golkar yang sudah dipecat oleh pihak Aburizal Bakrie (ARB).

Sikap Munas Jakarta, kata dia, sekaligus berupaya meminta dukungan administrasi politik parpol dari Kemkumham agar mempersulit Golkar kubu ARB. Tepatnya, pihak Munas Jakarta secara tak langsung meminta pemerintah untuk intervensi konflik internal Golkar. 

“Suatu yang sangat sulit dilakukan di era skarang ini,” tegas Laode.
Menurut Laode, harusnya tanpa ada pernyataan itu smua orang pun sudah membaca arah politiknya, yakni ke Jokowi-JK. “Pihak ARB sendiri tentu tak boleh anggap remeh manuver kubu Munas tandingan ini, apalagi jika dikaitkan dgn status parpol yng konflik dalam UU tentang Parpol,” kata dia.

Tantangan Serius
Menurut Laode, pasca Munas Bali, Golkar menghadapi tantangan serius untuk eksistensinya ke depan. Pertama, Golkar, kalau konsisten janji Ketumnya ARB dan barisannya, akan berada di luar pemerintah.

Sejarah baru, tentu. Padahal banyak pihak tahu betul, saat berada di barisan eksekutif pusat banyak sumberdaya yang bisa dimanfaatkan oleh para pejabat asal parpol untuk kepentingan gerakan parpolnya. Sebaliknya, berada di luar eksekutif sama dengan "puasa", harus kencangkan ikat pinggang.

Problemnya lagi, jika pihak Jokowi-Jk akan menghindari pola transaional antara parlemen dengan eksekutif, maka niscaya akan kian sulit akses sumberdaya itu.

Kedua, Golkar menghadapi konflik internal dengan cukup tajam. Puluhan kader yang sebelumnya pejabat teras Golkar dipecat oleh pihak ARB.

Yang dipecat ini menggugat, dan berupaya memperoleh dukungan politik dari pihak administrasi penguasa. Jika tak ada konsolidasi kembali, maka setidaknya kubu yang dipecat akan cukup mengganggu kekuatan lapangan Golkar ke depan.

Ketiga, Golkar jugag menghadapi tantangan di dalam KMP. Saat ini, misalnya, saat Munas Golkar Bali rekomendasikan tolak Perppu Pilkada langsung, pihak PD di bawah SBY justru beri sinyal untuk tetap dukung Perppu.

Jika PD bisa ajak PAN dan parpol lain, maka KMP jelas akan retak, yang berarti perjuangan politik Golkar untuk tolak Perpu itu berpeluang besar gagal. Ini juga tentu jadi ujian bagi kesolidan KMP dalam perjalanan ke depan. (SP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar