Senin, 09 Februari 2015

Pengacara Ini Gugat Presiden Ke PTUN



Todung Mulya Lubis

Denpasar – WARA - Terpidana mati Bali Nine, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas keputusan Presiden Jokowi menolak permohonan grasi mereka.

Hal itu disampaikan pengacara kedua terpidana mati, Todung Mulya Lubis, dalam wawancara dengan ABC. Gugatan itu rencananya akan didaftarkan pekan ini.

Sukumaran dan Chan, divonis sebagai otak percobaan penyelundupan heroin dari Bali ke Australia, telah ditolak permohonan grasinya oleh Presiden Jokowi.

Menurut Todung Mulya Lubis, tidak ada peluang lagi untuk menyelamatkan kliennya, selain mengajukan gugatan ke PTUN atas keputusan penolakan grasi tersebut.

Upaya menggugat keputusan grasi Presiden ke PTUN selama ini, tidak banyak dilakukan oleh para terpidana mati yang permohonannya ditolak presiden.

"Kami telah melakukan hampir semuanya dan sekarang kami akan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta," katanya.

Chan dan Sukumaran sebelumnya telah mengajukan dalil, termasuk ke MA, bahwa mereka menyesali perbuatannya dan telah mengalami rehabilitasi.

Keduanya menggunakan aktivitas mereka di penjara dalam menolong narapidana lainnya sebagai dalih mengapa mereka perlu mendapat pengampunan dari eksekusi mati.

Dalam menyampaikan penolakan permohonan grasi ini, Presiden Jokowi menyatakan Indonesia berada dalam keadaan darurat narkoba, sehingga pihaknya tidak akan memberi pengampunan bagi pelaksanaan eksekusi para terpidana mati.

Menurut Todung, atas dasar itulah pihaknya akan menggugat ke PTUN.

"Menurut kami, presiden tidak bisa menolak permohonan grasi seseorang hanya berdasarkan atas situasi darurat narkoba," katanya.

"Presiden seharusnya melihat kasus per kasus. Tidak bisa hanya membaca surat-surat lalu membuat keputusan menolak," tambah Todung.

"Bukan begitu caranya, karena kita ini bicara tentang nyawa manusia," ujarnya menambahkan.

Sah Di Indonesia
Sebelumnya di tahun 2008, Todung juga mengajukan gugatan konstitusionalitas hukuman mati, namun pengadilan menyatakan hukuman mati tetap sah di Indonesia.

"Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, dan kita juga telah meratifikasi banyak instrumen HAM sehingga kita harus menghargai HAM tersebut," katanya.

"Salah satu hak mendasar manusia adalah hak untuk hidup, jadi saat menerima permohonan grasi, presiden seharusnya mempertimbangkan hak hidup pemohon," jelas Todung.

Meskipun demikian, ia menyatakan sangat berharap adanya keajaiban dalam kasus ini.

Dikatakan, pihak Kejaksaan Agung tidak boleh melaksanakan proses eksekusi selama kasus ini masih diperiksa di PTUN.

Pihak keluarga kedua terpidana mati ini kabarnya berangkat ke Jakarta untuk bertemu dengan berbagai pihak, termasuk Komnas HAM, dalam upaya untuk menghindari pelaksanaan eksekusi.

Australia selama ini tidak lagi mengenal sistem hukuman mati, terhitung sejak tahun 1985. Terpidana mati yang terakhir kali dieksekusi di Australia adalah Ronald Joseph Ryan di Melbourne tanggal 3 Februari 1967.

Pemerintah Australia juga mengajukan keberatan atas rencana pelaksanaan hukuman mati ini dengan alasan kedua terpidana Bali Nine itu terbukti telah mengalami rehabilitasi, dan perlu diberi kesempatan kedua untuk hidup. (SP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar