Kamis, 18 Desember 2014

Galungan Hindu dan Shafaran Muslim Berjalan Mesra di Bukit Tabuan


HARMONIS-Warga Hindu dan Muslim di Bukit Tabuan, Kabupaten Karangasem, Bali, melakukan ritual Hari Raya Galungan dan Shafaran di tempat yang sama dan dalam waktu hampir bersamaan, Rabu (17/12). Kerukunan antarwarga berbeda agama terjaga di sana sejak abad 16, karena sejarah dan leluhur yang sama.
Karangasem – WARA - Di Desa Adat Seraya, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, berdiri sebuah bukit yang diberi nama Bukit Tabuan. Bebukitan yang ditumbuhi pepohonan itu masih terlihat asri, dan terasa damai suasananya. Kesatuan leluhur telah mengeratkan kerukunan antarsesama penduduknya yang berbeda keyakinan.

Daerah yang agak terpencil dari hiruk pikuk kota ini dihuni oleh sebagian umat Hindu dan Islam yang telah membaur sejak abad ke-16 Masehi. Walaupun berbeda keyakinan, mereka terlihat seperti bersaudara, dan tak pernah berselisih satu sama lain. Kondisi tersebut tercermin dari acara yang dilakukan secara bersama dan bergiliran dalam satu lokasi yang dianggap memiliki nilai kesakralan oleh seluruh warga di sana, baik yang Hindu maupun Islam.

”Kita semua sudah seperti saudara. Kita ada di sini sejak dipindahkan dari Yeh Kali oleh Anak Agung Ngurah Karangasem (Raja Karangasem). Mungkin sekitar abad 16,” ujar tokoh Desa Dinas Bukit Tabuan, Burhanuddin, Rabu (17/12) kemarin.

Suasana persaudaraan antara umat Hindu dan Islam di Bukit Tabuan yang mengikat mereka sejak beberapa abad tercermin dari gelar ritual yang dilakukan di waktu yang hampir bersamaan di lokasi yang sama. Bertepatan dengan jatuhnya Hari Raya Galungan, sebagian umat Islam di Bukit Tabuan juga melakukan tradisi Shafaran yang dilakukan setiap tahun sekali, atau tepatnya pada akhir bulan Shafar (menurut kalender Islam), yang jatuh pada pertengahan Desember ini.


Sebelum melakukan ritual, dua warga yang memiliki keyakinan berbeda terlihat membaur menjadi satu di lokasi yang sama, karena lokasi tersebut dianggap memiliki kesakralan bagi mereka bersama. Tempat tersebut bernama Prasasti Pesantren Buar–Buaran, dan kini berubah nama menjadi Pura Bhor Lokha atau Pura Buar–Buaran.

Ratusan ciptaan Tuhan yang berbeda keyakinan terlihat duduk secara bersama di Pura Bhor Lokha, untuk melakukan ritual menurut kepercayaannya. Umat Hindu terlihat menggunakan pakaian adat khas Bali untuk persembahyangan Hari Raya Galungan, sedangkan umat Islam menggunakan pakaian yang pada umumnya biasa dikenakan kaum muslim lainnya, yakni peci, sarung, serta baju koko.


Sebelum upacara persembahyangan (Galungan) digelar oleh umat Hindu, sebagian umat Islam diberi kesempatan untuk melakukan ritual terlebih dahulu. Lantunan ayat Al-quran terdengar dari sekitar Pura Bhor Lokha, dan beberapa umat Islam juga terlihat menebarkan kembang di Prasasti tersebut.


Saat ritual umat Islam digelar, beberapa pemangku dan pemedek Hindu juga terlihat mendampingi di pinggir. Begitu juga nanti sebaliknya. Usai ritual tersebut, acara dilanjutkan oleh umat Hindu Desa Bukit Tabuan. Mereka melakukan persembahyangan secara bersama untuk memperingati Hari Raya Galungan, dan dilanjutkan nunas yeh tirta yang dilakukan oleh para pemangku. 

Ritual antara umat Hindu dan Islam di Pura Bhor Lokha ditutup dengan penyerahan sesajen antara dua tokoh. ”Ini adalah momen yang paling bahagia. Ini baru pertama kami menggelar upacara secara bersama di tempat ini (Pura Bhor Lokha),” imbuh tokoh Desa Bukit Tabuan, Hasan Basri.

Menurut Bandesa Adat Seraya, I Nyoman Matal, ikatan persaudaraan umat Hindu dan Islam di Desa Dinas Bukit Tabuan telah terjalin sejak dulu. Tali persaudaraan itu diikat oleh sebuah prasasti yang merupakan warisan dari leluhur bersama mereka.


Hasan Basri menambahkan, mereka umat Hindu dan Islam di Bukit Tabuan kadang menyampaikan rasa syukurnya di Prasasti.


”Tahun ini tradisi Shafaran bertepatan dengan Hari Raya Galungan. Jadi penyampaian rasa syukur dilakukan secara bersama dalam waktu bergiliran,” ungkap Matal.


Hasan Basri menambahkan, prasasti yang berada di Pura Bhor Lokha sudah ada sejak para leluhur di sana mengenal solat telu waktu (tiga waktu). Di tempat ini pula para leluhur di Bukit

Tabuan melakukan ibadah secara bersama. ”Leluhur dulu mengadakan ritual disini dengan membawa sesajen. Biasanya sebelum musim panen, mereka datang kesini (Prasasti) untuk bersyukur. Kerukunan ini sudah terjadi sebelum kita ada,” tambah Hasan Basri. (Tribun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar