Kamis, 11 Desember 2014

MUI Sarankan Umat Tak Nikah Siri



Jakarta - WARA - Pernikahan siri di Indonesia sah menurut agama Islam selama rukunnya terpenuhi. Rukun pernikahan dalam Islam antara lain ada pengantin laki-laki, pengantin perempuan, wali, dua orang saksi laki-laki, mahar, serta ijab dan kabul.

Meski demikian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menganjurkan agar umat tak menikah siri dan memilih pernikahan resmi sesuai hukum yang berlaku.

Wakil Ketua Umum MUI, Kiai Haji Ma'ruf Amin mengatakan, MUI sudah sejak lama mengimbau masyarakat agar menikah secara resmi. Alasannya, meski nikah siri sah secara agama, namun tak memiliki kekuatan hukum. Dengan tak adanya kekuatan hukum, maka baik istri maupun anak berpotensi menderita kerugian akibat pernikahan tersebut.

"Lebih baik menikah secara resmi, supaya tak ada yang berisiko menanggung kerugian. Karena nikah siri itu tak diakui negara. Kalau perkawinan tak dicatat oleh negara, berarti tak ada bukti bahwa seseorang itu sudah menikah," ujar Ma'ruf Amin kepada Warta Kota, Selasa (9/12).

Dalam Undang-undang No­mor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat negara. Bagi yang beragama Islam, hal ini berarti pernikahan harus dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

"Jadi, MUI menganjurkan supaya masyarakat melakukan perkawinan resmi sesuai Undang-undang Perkawinan. Dengan begitu, sah secara negara, dan sah pula secara agama," ujar Ma'ruf.

Ma'ruf menjelaskan, pernikahan siri (nikah di bawah tangan) sah dalam Islam, asalkan semua rukun dan syaratnya terpenuhi. Tetapi tak memenuhi hukum negara. "Karena kalau menurut hukum negara sebuah perkawinan harus dicatat di KUA."

Menjadi Haram
Selama suami bertanggungjawab dan memenuhi kewajibannya sebagai kepala rumah tangga, kata Ma'ruf, maka pernikahan siri sah dan halal secara agama. Bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka pihak istri maupun anak dari hasil pernikahan itu berpotensi menjadi pihak yang dirugikan.

Dikatakan Ma'ruf, bila suatu saat suami memberikan perlakuan tak baik, seperti memudaratkan, menimbulkan penderitaan, atau menelantarkan anak-istrinya, perkawinan itu tetap sah, tapi perbuatan si suami menjadi haram.

Di sisi lain, bila istri dan anak ditelantarkan, tidak bisa menuntut suami atau ayahnya karena tak ada bukti pernikahan. Dengan tak adanya bukti nikah, berarti istri dan anaknya tak punya kekuatan hukum. Hal inilah yang menurut Ma'ruf menjadi kelemahan pernikahan siri.

Menurut Ma'ruf, MUI terus mengimbau masyarakat agar menikah sesuai ketentuan dalam Undang-undang. Dengan menikah resmi, baik istri maupun anak tak kehilangan haknya, seperti harta warisan, nafkah, dan lain-lain bila terjadi sesuatu di kemudian hari. (Warta Kota)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar