Minggu, 11 Januari 2015

Apa Iya Jokowi Presiden Pro Rakyat?



WARA - Di permulaan tahun 2015, ada beberapa barang pokok strategis dan layanan publik, yakni premium, gas elpiji, listrik, dan layanan kereta api, yang pelan-pelan diserahkan oleh pemerintahan Jokowi-JK kepada mekanisme pasar.

Seperti ramai diberitakan, pada tanggal 31 Desember lalu, pemerintahan Jokowi-JK melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian-nya, Sofyan Djalil, mengumumkan keputusan tentang pencabutan subsidi untuk BBM jenis premium atau RON 88. Selanjutnya, menurut sang Menteri, penentuan harga premium akan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.

Kemudian, pada tanggal 1 Januari 2015, sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 tahun 2014, Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) untuk 12 golongan pengguna. Beruntung, karena tekanan dan protes luas dari masyarakat, kebijakan tersebut ditunda. Banyak yang menilai, kenaikan TDL secara berkala merupakan prakondisi untuk membawa harga listrik pada mekanisme pasar.

Sehari kemudian, tepatnya 2 Januari 2015, Pertamina juga mengumumkan kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram. Menurut pejabat Pertamina, penaikan harga tersebut dilakukan untuk menutupi kerugian bisnis yang diderita oleh perusahaan ‘plat merah’ tersebut. Lebih lanjut, Pertamina akan melakukan penyesuaian harga setiap tiga bulan. Harga tersebut akan disesuaikan dengan harga pasar dunia elpiji, yakni berpatokan pada contract price/CP Aramco.

Juga tak terlupakan, per 1 Januari 2015, pemerintahan Jokowi-JK mencabut subsidi kereta ekonomi jarak jauh. Selanjutnya, PT. Kereta Api Indonesia (KAI) akan melakukan penyesuaian harga tarif kereta api dengan berpatokan pada mekanisme harga pasar.

Juga baru-baru ini, pemerintahan Jokowi-JK melalui Kementerian Perhubungannya yang sangat pro-pasar, Ignasius Jonan, membuat kebijakan tentang  tarif batas bawah minimal 40 persen dari tarif batas atas. Dengan demikian, berakhirlah riwayat tiket murah.

Sangat ironis sekali, seorang Presiden yang mendengun-dengunkan konsep ekonomi kerakyatan semasa kampanye lalu, yang harga kemeja dan celananya hanya seratusan ribu, ternyata sangat agressif melepaskan satu persatu barang publik dan layanan publik ke mekanisme pasar.

Fakta di atas menunjukkan, kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi-JK belum bergeser dari pendekatan ekonomi rezim sebelumnya, yakni neoliberalisme. Malahan, dalam derajat tertentu, pemerintahan Jokowi-JK jauh lebih neoliberal dibanding rezim sebelumnya. Buktinya: dalam hitungan pekan, Presiden Jokowi dan Menteri-Menterinya sudah sibuk ‘menjajakan’ Indonesia kepada investor asing melalui berbagai forum. Juga, dalam hitungan bulan, satu persatu layanan publik strategis dan barang publik sudah diserahkan ke mekanisme pasar.

Yang perlu diketahui, salah satu esensi dari neoliberalisme adalah komoditifikasi berbagai jenis barang dan layanan publik: energi, pangan, air minum, udara, tanah, hutan, pelabuhan, jalan raya, kesehatan, transportasi publik, pendidikan, dan lain sebagainya. Proses komoditifikasi ini ditempuh melalui jalur privatisasi dan pencabutan subsidi. Semua barang publik dan layanan publik tersebut diserahkan kepada mekanisme pasar.

Hal ini akan membawa beberapa konsekuensi. Pertama, pengalihan berbagai bentuk hak milik/kepemilikan kolektif/bersama/negara menjadi bentuk kepemilikan pribadi yang eksklusif. Tidak ada lagi bentuk-bentuk kepemilikan bersama/komunal. Barang-barang kebutuhan hidup yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti air bersih, pangan, hutan, tanah, energi, dan lain-lain, dikuasai oleh swasta dan dikonversi sebagai komoditi untuk mendatangkan keuntungan. Yang terjadi sebetulnya, privatisasi dan swastanisasi merupakan mekanisme perampasan kekayaan kolektif/bersama untuk diserahkan kepada segelintir tangan/swasta.

Kedua, tanggung jawab negara dalam urusan menyediakan dan memastikan kesejahteraan rakyatnya dihilangkan. Negara tidak lagi bertanggung-jawab untuk memastikan barang kebutuhan pokok bisa diakses oleh setiap warga negara. Sebaliknya, nasib dan kesejahteraan rakyat diserahkan kepada pasar. Di sini tidak ada lagi konsep ‘warga negara’ , tetapi sudah digantikan dengan konsep ‘konsumen’.

Warga negara diperlakukan layaknya konsumen: kalau butuh layanan pendidikan dan kesehatan, misalnya, ya, harus membeli. Masalahnya, pasar hanya melayani mereka yang sanggup membeli. Artinya, mereka yang tidak punya daya beli, terutama rakyat miskin, tidak akan punya kesempatan untuk mengakses barang-barang dan layanan dasar untuk kelanjutan hidupnya. Tak hanya itu, karena pasar melayani berdasarkan daya beli, maka seringkali terjadi praktek diskriminasi, segmentasi, dan ekslusi.

Selain itu, mekanisme pasar dipandu oleh logika dasar kapitalisme, yakni logika profit (keuntungan). Di bawah kapitalisme, pasar menjadi ruang sirkulasi bagi kapitalis untuk merealisasikan dan memaksimalkan keuntungan melalui penjualan komoditi. Jadinya, ketersediaan barang dan jasa bukan diabdikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, melainkan untuk melayani kepentingan si kapitalis: menggali keuntungan. Yang seringkali terjadi, ketersediaan barang dan jasa berkelimpahan, tetapi rakyat banyak mengalami kekurangan dan kelaparan.

Ketiga, privatisasi dan penyerahan sebagian besar public utilities kepada mekanisme pasar itu mengarah pada pengonsentrasian sumber daya dan kekayaan ke tangan segelintir tangan, terutama segelintir kapitalis asing dan pengusaha domestik di lingkaran kekuasaan.

Sebetulnya, langkah pemerintahan Jokowi-JK memprivatisasi semua barang dan layanan publik sangat bertolak belakang dengan mandat konstitusi (UUD 1945) dan cita-cita para pendiri bangsa kita. Di dalam pasal 33 UUD 1945 ayat (2) ditegaskan bahwa ‘cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara.’ Kemudian, pasal 33 UUD 1945 ayat ke (3) menegaskan, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Dari penegasan konstitusi di atas tersirat beberapa hal. Pertama, keharusan menempatkan cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (public utilities) di tangan negara. Di sini negara dimaknai sebagai organisasi politik yang mewakili kepentingan umum/warga negara. Hal ini bertujuan untuk mencegah tampuk produksi jatuh ke tangan perseorangan/swasta, yang berpotensi mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Sebab, kita tahu, usaha perseorangan/swasta didikomandoi oleh logika profit alias mencari untung belaka.

Kedua, penempatan kekayaan ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya’ ke tangan negara. Dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 disebutkan, ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya’ merupakan ‘pokok-pokok kemakmuran rakyat’. Karena itu, penguasaannya harus berada di tangan negara dan dipergunakan untuk mendatangkan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat.

Karena itu, sehubungan dengan mandat dari konstitusi itu, negara berkewajiban memastikan dua hal, yakni: pertama, memastikan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan layanan dasar yang dibutuhkan oleh warga negara untuk pengembangan hidupnya; dan kedua, memastikan barang kebutuhan dan layanan dasar itu bisa diakses oleh seluruh warga negara tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi.

Selain itu, terkait model penyelenggaran produksi dan distribusi, pasal 33 UUD 1945 punya dua prinsip tegas: pertama, pemilikan sosial terhadap alat produksi, atau dalam bahasa pasal 33 UUD 1945 ayat (1) sebagai ‘usaha bersama’ berdasar azas kekeluargaan; dan kedua, orientasi produksi dan distribusi haruslah mengutamakan pemenuhan kebutuhan rakyat.

Sayang, pemerintahan Jokowi-JK telah mengabaikan mandat konstitusi tersebut. Sebaliknya, pemerintahan yang sempat gembar-gembor memperjuangkan Trisakti ini justru menyerahkan nasib ratusan juta rakyat Indonesia ke mulut pasar. Karena itu, kita patut bertanya, pemerintahan Jokowi-JK ini pro-rakyat atau pro-pasar? (suaranews)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar