Selasa, 25 November 2014

Lampu Merah Toleransi Beragama



Banyak aturan soal kebebasan beragama, tapi lemah implementasi.
IBADAH DI DEPAN ISTANA - Jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia 
melakukan ibadah Paskah di depan Istana Negara, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Jakarta - WARA,
Sebuah foto terpampang di auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, Senin (17/11). Tidak ada yang istimewa sebenarnya jika melihat foto itu dari kejauhan.

Foto itu memperlihatkan gambar sebuah kertas berwarna yang di kanan bawahnya berisi kolom jawaban. Di atas kolom tertera pertanyaan: Kau ingin menuliskan harapanmu yang lain?
Seorang anak, yang tidak diketahui namanya, menuliskan jawaban atas pertanyaan itu. Ia menulis, “Pengen pulang ke desaku.”   Pertanyaan itu dijawab jujur oleh seorang anak yang terpaksa ikut orang tuanya mengungsi akibat konflik antarwarga di Sampang, Madura, Jawa Timur.

Ada juga foto lain yang mengungkap harapan seorang anak bernama Zulfa. “Zulfa takut dipukul sama orang yang membakar rumahku, hangus semuanya, dapur serta seragam (sekolah).”

Kedua foto itu hanyalah sepotong mozaik dari serangkaian foto konflik di sejumlah wilayah di Indonesia, yang terekam oleh manusia. Foto-foto itu dipamerkan sejumlah lembaga hak asasi manusia (HAM) dalam menyambut Hari Toleransi Internasional, 16 November.

Hingga kini, Indonesia masih me-nyimpan bara konflik yang sewaktu-waktu bukan tidak mungkin dapat memorak-porandakan keharmonian masyarakat. Sudah sejak lama bara itu dibiarkan tidak padam di dalam masyarakat.

Hal itu setidaknya terlihat di Yogyakarta, Agustus. Daerah yang selama ini dikenal paling “toleran” dibandingkan daerah lain di Indonesia ternoda aksi kekerasan. Sejumlah orang menyerang rumah yang tengah menggelar ibadah. Beberapa orang menjadi korban akibat penyerangan itu, termasuk sang pemilik rumah.

Hal yang terjadi di Yogyakarta tentu saja mengagetkan banyak orang, sekaligus menimbulkan kekhawatiran terutama dari pegiat HAM. Anggota Sub Komisi Mediasi Komisi Nasional (Komnas) HAM, Siti Noor Laila menilai, kekerasan berlatar belakang agama yang terjadi di Yogyakarta menunjukkan, intoleransi di kota itu sudah berada di ambang batas.

Kasus Meningkat
Wahid Institute adalah lembaga yang dalam beberapa tahun terakhir aktif memantau dan mencatat peningkatan jumlah kasus intoleran di Indonesia. Sejak 2009, terjadi peningkatan besar jumlah kasus intoleran di Indonesia.

Pada 2009, jumlah kasus intoleran ada 121, kemudian meningkat menjadi 245 kasus pada 2013. Tahun itu, Wahid mencatat, setidaknya terdapat dua kasus kekerasan beragama di Yogyakarta yang pelakunya adalah kelompok masyarakat.

Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM, Jayadi Damanik menyebutkan, kekerasan beragama terus terjadi karena negara membiarkan hal tersebut. Tidak hanya itu, negara terlibat sebagai pelaku kekerasan beragama.

”Pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi dalam kategori forum internum dan forum externum yang pelakunya tidak hanya aktor nonnegara, tetapi juga institusi negara, baik berupa tindakan aktif (by commission) maupun tindakan pembiaran (by omission),” ujar Jayadi.
Dilihat secara keseluruhan, Jawa Barat merupakan wilayah yang paling rawan dan berbahaya dalam hal toleransi. Tahun 2013, Wahid Institute mencatat, ada 46 kasus kekerasan beragama yang dilakukan kelompok masyarakat dan 40 kasus dengan pelaku aparatur negara. Disusul daerah Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah sebagai wilayah yang rawan bagi hidupnya toleransi antarumat beragama. Empat wilayah ini paling sering terjadi kekerasan berlatar belakang agama.

Contoh saja kekerasan dan penutupan rumah ibadah yang dialami jemaah Ahmadiyah dan warga kristiani di sejumlah tempat di Jawa Barat dan Jakarta. Ada juga kekerasan yang dialami warga Syiah di Sampang, Madura.

Implementasi Lemah
Uli Parulian Sihombing dari Indonesian Legal Resource Center mengatakan, pemerintah Indonesia banyak mengeluarkan dan menyetujui peraturan internasional terkait HAM, terutama tentang kebebasan beragama. “Banyak aturan kebebasan beragama, tapi implementasinya lemah. Tidak ada satu pun yang dilaksanakan hingga saat ini. Padahal, kita (Indonesia) masuk ke Human Rights Council,” tutur Uli.

Malah Uli menjabarkan, pelaku kekerasan beragama dari kelompok “aktor negara” di Indonesia selama ini berdasarkan laporan Wahid Institute adalah pemerintah daerah (pemda). Aparatur pemerintah disebut juga sebagai pelaku karena banyak mengeluarkan aturan-aturan yang mengebiri hak kebebasan warga dalam menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Febi Yonesta menyatakan, penegakan hukum oleh aparat masih lemah terutama terhadap pelaku kekerasan. “Kami menemukan motivasi politik di balik pembiaran atas aksi-aksi intoleransi,” ucapnya.

Namun, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Ronny Franky Sompie, membantah aparat penegak hukum membiarkan terjadinya kekerasan beragama. Menurutnya, kepolisian telah berupaya mencegah agar kekerasan beragama tidak terjadi.

Ronny mencontohkan, ada upaya kepolisian mencegah kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat, pada 2010. “Terlihat upaya preventif dari yang dilakukan aparat kepolisian, seperti mendeteksi dini atas potensi kekerasan,” tutur Ronny.

Direktur Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag), Machasin mengakui, pemerintah telah mengabaikan agama atau kepercayaan lain di luar enam agama yang selama ini diakui negara dalam undang-undang yang disahkan pada 1965. Machasin menjelaskan, Undang-Undang (UU) Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyebutkan, agama di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.

“Agama lain boleh hidup, tapi selama ini tidak mendapat bantuan seperti enam agama (yang resmi diakui). Kondisi ini dirasakan tak cukup. Agama lain juga perlu perlindungan sehingga kami berusaha bisa memperluas perlindungan dan pelayanan untuk agama di luar enam itu,” katanya.

Jayadi mengingatkan, pemerintah harus bersungguh-sungguh menjalankan kewajiban konstitusi. Konstitusi, Jayadi mengatakan, mengamanatkan negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa pengecualian. (Sumber : Sinar Harapan) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar