Sabtu, 21 Februari 2015



Jakarta – WARA - Kementerian Perhubungan (Kemhub) harus menindak tegas maskapai penerbangan Lion Air, sehubungan dengan keterlambatan puluhan penerbangan pada sejumlah rute sejak Rabu (18/2) lalu, yang mengakibatkan sedikitnya 6.000 penumpang telantar di sejumlah bandara. Sanksi tegas ini perlu diberikan sebagai bagian dari pembenahan pelayanan sektor transportasi publik.

Kemhub harus menunjukkan kepada masyarakat bahwa aturan mengenai tanggung jawab jasa angkutan udara benar-benar ditegakkan, tidak hanya menyangkut faktor keselamatan tetapi juga elemen yang terkait dengan pelayanan. Pesan yang harus disampaikan Kemhub adalah jangan ada kesan di masyarakat ada maskapai penerbangan yang menjadi anak emas, siapa pun pemiliknya, baik BUMN maupun swasta. Semua maskapai harus diperlakukan sama.

Pangkal gangguan pelayanan ini akibat kerusakan yang terjadi pada tiga pesawat Lion Air. Manajemen maskapai melaporkan, satu pesawat di Semarang kemasukan burung, sedangkan dua pesawat di Jakarta kemasukan benda asing (foreign object debris).

Kerusakan itu berbuntut panjang, karena jadwal penerbangan saling terkoneksi. Kebetulan insiden tersebut terjadi pada peak season, yakni sehari menjelang libur Tahun Baru Imlek. Alhasil, jadwal penerbangan kacau balau dan ribuan penumpang telantar dan terlambat tiba di tujuan hingga lebih dari 24 jam. Kondisi tersebut diperparah dengan tidak adanya pesawat cadangan yang sewaktu-waktu siap dioperasikan jika ada peristiwa darurat.

Menilik penyebab keterlambatan, yakni adanya kerusakan pesawat, sejatinya penumpang tidak perlu meluapkan rasa kecewa dan marahnya secara berlebihan. Penumpang harus menyadari bahwa aspek keselamatan adalah di atas segalagalanya. Maskapai dan regulator wajib membatalkan penerbangan jika pesawat ternyata tidak layak diterbangkan.

Namun, harus diakui pula, maskapai hendaknya memiliki manajemen krisis untuk mengatasi kendala operasional penerbangan, agar penumpang tidak dirugikan akibat terganggunya layanan. Manajemen krisis dimaksud mulai dari pemberian informasi yang akurat kepada penumpang, pemberian kompensasi sesuai aturan, bantuan penyediaan penerbangan alternatif baik oleh maskapai yang sama atau maskapai lain, hingga penyediaan pesawat cadangan.

Sayangnya, manajemen krisis tersebut tak dimiliki oleh maskapai. Terbukti, kemarahan penumpang kerap dipicu akibat tidak adanya petugas maskapai yang bisa memberi informasi faktual.

Di samping itu, di banyak kasus, maskapai cenderung menunda atau mempersulit proses pembayaran kompensasi keterlambatan dan refund atau pengembalian biaya tiket bagi penumpang. Padahal refund itu diperlukan untuk membeli tiket penerbangan alternatif, jika memang maskapai belum menyediakannya.

Dalam kasus keterlambatan Lion Air kali ini, kompensasi bahkan ditalangi oleh PT Angkasa Pura II selaku pengelola Bandara Soekarno-Hatta. Tak hanya kompensasi, fasilitas makan bagi penumpang yang telantar di bandara pun disiapkan Angkasa Pura.

Padahal, sesuai aturan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2001 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, kompensasi, makan, dan akomodasi bagi penumpang akibat keterlambatan penerbangan, menjadi kewajiban maskapai. Kelemahan inilah yang harus menjadi perhatian Kemhub, bahwa semua maskapai penerbangan wajib mematuhi aturan yang ada.

Untuk itu, Kemhub sebaiknya melakukan audit terhadap semua maskapai. Audit dimaksud tidak hanya terhadap kelaikan pesawat menyangkut aspek keselamatan penerbangan, tetapi juga kinerja secara keseluruhan termasuk aspek pelayanan, seperti on time performance.

Selain itu, Kemhub juga perlu melakukan audit terhadap kondisi keuangan semua maskapai. Hanya maskapai yang sehat finansialnya, mampu menyelenggarakan jasa penerbangan dengan memenuhi baik aspek keselamatan maupun kenyamanan bagi penumpang.

Audit keuangan ini sudah saatnya menjadi perhatian Kemhub. Hal ini mengingat karakter bisnis penerbangan di Tanah Air, di mana komponen biaya mayoritas dalam valuta asing, sebaliknya komponen pendapatan sebagian besar dalam rupiah. Nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS, ditambah fluktuasi suku bunga, berpotensi meningkatkan biaya yang harus ditanggung maskapai penerbangan. Dalam kondisi tersebut, audit keuangan diperlukan untuk melihat ada tidaknya potensi arus kas negatif.

Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa kompensasi penumpang Lion Air ditalangi pihak Angkasa Pura II, tak bisa dielakkan memunculkan kecurigaan bahwa Lion tengah dilanda kesulitan likuiditas jangka pendek. Dari kasus keterlambatan banyak penerbangan Lion Air ini, menjadi pintu masuk bagi Kemhub untuk menyelidiki apakah semua maskapai mampu menyelenggarakan jasa penerbangan sesuai aturan yang berlaku, baik menyangkut aspek keselamatan maupun kualitas pelayanan.

Kemhub harus memastikan bahwa semua maskapai penerbangan siap menghadapi risiko-risiko yang muncul, agar keselamatan dan kenyamanan penumpang terjaga. Dengan demikian, harus ada tindakan tegas bagi setiap maskapai yang tidak mampu memenuhi aturan penyelenggaraan jasa penerbangan.

Kemhub harus memperlakukan semua maskapai sama, tidak boleh ada anak emas dalam industri penerbangan nasional dan jangan sampai didikte oleh manajemen maskapai tertentu. (BS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar