Rabu, 18 Februari 2015

Dikecam Dunia, Indonesia Tak Gentar hukum Mati Warga Australia



Jakarta - WARA - Pemerintah Indonesia akan mengeksekusi mati dua terpidana mati warga negara Australia yang tergabung dalam kelompok Bali Nine yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Dua terpidana mati ini sudah dibawa ke Lapas Nusakambangan dan akan di eksekusi oleh juru tembak di sana.

Namun niatan eksekusi mati terpidana narkoba ini banyak menuai kecaman dari dunia internasional. Pemerintah Australia merasa tidak terima jika dua warganya akan ditembak mati oleh tim dari Kejaksaan Agung.

Perdana Menteri Australia Tonny Abbott bahkan sudah mengeluarkan warning kepada pemerintah Indonesia. Bentuk peringatan itu dengan menarik duta besar Australia di Indonesia pulang ke negeri kanguru.

"Kami akan mencari cara supaya rasa kekecewaan kami diketahui. Kami menghormati kedaulatan Indonesia tetapi kami akan lebih menghargai sikap kebesaran hati dalam kasus ini," ujarnya seperti dilansir Aljazeera beberapa waktu lalu.

Tidak hanya Abbott, Menteri Luar Negeri Julie Isabel Bishop bahkan lebih keras menolak hukuman mati itu. Dia mengancam akan melarang para turis Australia untuk datang ke Indonesia. Seperti diketahui, salah satu devisa wisata terbesar disumbangkan dari turis Australia yang berlibur ke Bali.

"Saya pikir orang Australia akan menunjukkan ketidaksetujuan mereka atas eksekusi ini. Dan itu menjadi salah satu pertimbangan mereka saat menentukan hendak ke mana saat liburan," ancam dia.

Bukan itu saja protes yang dilontarkan ke Indonesia. Bahkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) juga tidak setuju dengan hukuman mati. PBB meminta agar hukuman mati itu tidak lagi diberlakukan di Indonesia.

"PBB menentang pelaksanaan hukuman mati dengan alasan apapun. Sekjen meminta Indonesia mempertimbangkan ulang vonis eksekusi terhadap pelaku kejahatan narkoba," kata Juru Bicara PBB Stephane Dujarric.

Namun demikian, meski dikecam berbagai penjuru pemerintahan Presiden Jokowi tidak gentar untuk mengeksekusi mati dua terpidana narkoba. Hal ini dilakukan untuk membuktikan jika Indonesia sedang melakukan perang terhadap kejahatan narkoba.

Berikut sikap tak gentar Jokowi yang didukung menteri sampai anggota DPR untuk tetap lakukan eksekusi mati terhadap terpidana narkoba dihimpun merdeka.com, Senin (16/2):

Jokowi tolak semua grasi terpidana mati

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan akan menolak semua permohonan grasi yang diajukan dalam para terpidana narkoba. Hal ini ditempuh Presiden dengan mempertimbangkan dampak negatif yang merugikan bangsa akibat penyalahgunaan obat-obatan terlarang.

"Ada 64 yang sudah diputuskan (hukuman mati), mengajukan grasi, saya pastikan semuanya saya tolak, tidak akan," kata Jokowi dalam Munas II Partai Hanura di Solo, Jumat malam.

Jokowi menyatakan tidak gentar meskipun mengaku mendapatkan tekanan dari berbagai pihak termasuk PBB, LSM, hingga mendapatkan surat amnesti internasional. Namun menurut dia, Indonesia harus tegas dalam penegakan hukum terkait narkoba.

"Kalau ada pengampunan untuk narkoba dan makin lama dibiarkan hancurlah kita," katanya.

Jaksa Agung tak gentar eksekusi mati

Pemerintah Australia protes dengan rencana Indonesia yang akan mengeksekusi mati terpidana narkoba berkebangsaan Australia Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dalam waktu dekat. Namun Jaksa Agung HM Prasetyo tak takut dengan ancaman Australia yang berencana memboikot Indonesia jika masih eksekusi mati warganya.

"Itu hak mereka untuk menolak tegas. Kita juga punya ketegasan sikap sendiri. Kita punya kedaulatan hukum yang harus dihargai dan dihormati semua pihak," kata Prasetyo di Gedung Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (13/2).

Menurut dia, sesama negara harus saling menghormati hukum yang berlaku di negara masing-masing. Karena itu, dia meminta agar Australia maklum dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

"Ya begitu juga kita menghormati dan menghargai hukum orang lain. Jadi tentunya kita harapkan mereka bisa memaklumi ini," tuturnya.

Menkum HAM anggap kritik PBB hanya pendapat

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly menilai, kritik tersebut adalah sesuatu yang biasa. Namun tegas dia mengatakan, hukuman mati tetap berlaku dan berjalan.

"Mengkritik itu kan sah-sah saja ya. Tapi kita punya hukum sendiri dan punya putusan pengadilan sendiri," kata Yasonna di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Senin (16/2).

Menurut dia, semua pihak berhak tidak sepakat dengan kebijakan hukum di Indonesia. Apalagi di alam demokrasi ini perbedaan pendapat adalah hal yang wajar.

"Kita hormati hak mereka (PBB) menyatakan pendapat. Tapi pada saat yang sama kita punya keputusan pengadilan yang berkeadilan," terang dia.

Lanjut dia, perang terhadap narkoba adalah komitmen pemerintah saat ini. Indonesia akan tetap konsisten dan tidak akan terpengaruh oleh pihak manapun.

"Ini bukan soal apa, tapi tentang perang terhadap narkoba dan orang-orang bandar di dalam lapas bisa mengatur-atur transaksi narkoba. Sampai sekarang, kebijakan kita tetap konsisten," pungkas dia.

DPR minta eksekusi mati harus tetap dilaksanakan

Wakil Ketua DPR, Fadli Zon mengatakan, keputusan menghukum mati para bandar narkoba ini memang menuai pro dan kontra di dunia Internasional. Menurutnya, meski dihadapkan pada keputusan yang dilematis, pemerintah harus tetap melakukan eksekusi.

"Ini hal dilematis yang dihadapi oleh kita. Di satu sisi mempertimbangkan kemanusiaan, di sisi lain kita harus menghargai hak kita. Kalau saya melihat eksekusi ini bagian dari proses amanat hasil keputusan hukum, dan seharusnya itu dilakukan," kata Fadli di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (16/2).

Dia melanjutkan, sikap tegas pemerintah untuk mengeksekusi mati adalah merupakan pesan kepada para bandar narkoba bahwa Indonesia tidak main-main dengan yang namanya narkotika. Fadli menambahkan, dengan adanya vonis mati maka dengan demikian para bandar akan berpikir kembali untuk memasarkan narkoba di Indonesia.

"Jadi kalau itu dilaksanakan saya kira ini akan mengirim pesan untuk para bandar dan pengedar di Indonesia untuk tidak melakukan hal itu lagi. Saya kira ini upaya yang harus patut didukung," paparnya.

Komisi I DPR: Lanjutkan hukuman mati

Anggota Komisi I DPR, Tantowi Yahya mendukung keputusan Jokowi menghukum mati terpidana narkoba dari Australia itu. Menurutnya, meski permohonan pembatalan eksekusi adalah hak dari setiap negara, hukum di Indonesia tetap harus ditegakkan.

"Menurut saya dilanjutkan saja karena jika pemerintah Indonesia membatalkan hukuman tersebut, maka akan terjadi protes dari sejumlah negara yang warganya sudah dikenakan hukuman mati, seperti Brazil, Vietnam, Belanda," ucap Tantowi ketika dihubungi merdeka.com, Minggu (15/2).

Meski begitu, Tantowi menilai lobi dan kecaman tersebut bukan termasuk dalam tindakan intervensi dari pihak luar terhadap pemerintah Indonesia. Tindakan itu dinilainya sebagai usaha para pemimpin negara untuk membebaskan warganya dari hukuman mati.

"Itu bukan intervensi. Saya menilai itu adalah upaya terakhir yang dilakukan oleh Sekjen PBB karena mereka sudah frustasi untuk merayu Presiden Jokowi, namun Jokowi tetap pada pendiriannya untuk mengeksekusi mati," tambah Tantowi.

Menurutnya, Ban Ki-Moon ikut angkat bicara dengan tujuan memperkuat dorongan dari Australia agar Jokowi membatalkan eksekusi mati terhadap dua warganya itu.

"Maka untuk memperkuat langkah tersebut Sekjen PBB meminta kepada Jokowi untuk membatalkan hukuman tersebut," katanya. (Merdeka.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar