Senin, 15 Desember 2014

Terkait Pidana Mati, Jokowi Didesak Memahami Persoalan HAM


Todung Mulya Lubis.

Jakarta - WARA -  Advokat Senior Todung Mulya Lubis mengharapkan Presiden Joko Widodo memahami persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga tidak terburu-buru menolak grasi 64 terpidana mati kejahatan narkoba. Penolakan tersebut, menurut Todung, merupakan bentuk ketidakpahaman Jokowi terhadap HAM.

"Jokowi perlu mendapatkan pemahaman hukuman mati dalam konteks hukum tata negara nasional dan hukum internasional. Akan lebih baik, kalau hukuman mati ditiadakan sebagaimana disuarakan oleh pegiat HAM  di tingkat nasional maupun internasional," ujar Todung dalam konferensi pers menentang hukuman mati di gedung YLBHI, Jl Diponegoro No. 74, Menteng Jakarta Pusat pada Senin (15/12).

Selain Todung hadir Direktur YLBHI Alvon Kurnia Palma, Direktur Imparsial Poengky Indarti, Direktur Eksekutif Human Right Working Group (HRWG) Rafendi Djamin dan penelit YLBHI Bahrain.

Penolakan terhadap hukuman mati, katanya bukan hanya karena karena hak hidup dijamin secara konstitusional, tetapi agar Jokowi tidak menerapkan standar ganda. Di satu pihak Jokowi memperjuangkan agar TKI di luar negeri tidak dieksekusi mati. Namun, di lain pihak Jokowi membiarkan hukuman mati diterapkan di Indonesia.

"Akan jauh lebih baik jika pemerintah memperjuangkan hak-hak TKI yang di hukuman mati sembari menolak hukuman mati di dalam negari. Jika tidak akan terjadi kontradiksi," tandasnya. 

Todung menjelaskan, hak untuk hidup dijamin oleh UUD tahun 1945. Dalam pasal 28A UUD 45 ditegaskan bahwa negara menjamin hak untuk hidup. Pasal 28I ayat 2, lanjutnya,  hak untuk hidup tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun termasuk dalam kondisi darurat militer.

"Ada pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan bahwa semua hal tersebut mesti tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, hal ini bukan berarti 8 hak dasar seperti hak untuk hidup, mangalami penindasan, hak beribadat dan sebagainya tunduk pada aturan perundangan yang ada," urainya.

Apalagi katanya, bangsa Indonesia sudah
Meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik. Dia mengakui bahwa dalam pasal 6 Konvenen Hak Sipil dan Politik masih ada ruang terhadap hukuman mati. Tetapi, hukuman mati dalam pasal tersebut hanya berlaku untuk The Most Serious Crime (Kejahatan yang paling serius) seperti genosida.

"PBB sendiri menilai kejahatan narkoba tidak termasuk dalam kejahatan yang paling serius. Jadi, tidak alasan Jokowi mengeksekusi terpidana mati kejahatan narkoba," tegasnya.  

Todung pun menganjurkan kepada Jokowi dan Jaksa Agung untuk menunda bahkan moratorium hukuman mati. Hukuman mati, menurutnya, sama beratnya dengan hukuman seumur hidup.

"Kita sepakat bahwa kejahatan narkoba diberantas dan pelaku-pelakunya diberikan hukuman seberat-beratnya, tetapi tidak perlu harus dengan hukuman mati. Hukuman penjara seumur hidup atau seumur hidup tanpa revisi juga merupakan hukuman berat," pungkasnya.

Sebagaimana diketahui bahwa dari 198 negara anggota PBB, sebanyak 98 negara di antaranya telah menghapus hukuman mati di dalam sistem hukum yang merdeka, 7 negara telah menghapus hukuman mati untuk kejahatan umum (biasa), 35 negara lainnya melakukan moratorium terhadap eksekusi mati. Hanya 58 negara anggota PBB, termasuk Indonesia yang masih mempraktekkan hukuman mati. [SP]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar