Jumat, 16 Januari 2015

Kompak Loloskan Budi Gunawan, KMP Sengaja Beri "Bola Panas" untuk Jokowi



Calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan saling berpegangan tangan dengan anggota Dewan usai mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (14/1/2015). Sebelumnya Komjen Pol Budi Gunawan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tekait dugaan rekening gendut Polri.

Jakarta - WARA - Presiden Joko Widodo diingatkan untuk berhati-hati menyikapi keputusan Komisi III DPR yang secara aklamasi menyetujui Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan sebagai Kapolri. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia Budiatna, mengatakan, keputusan DPR sarat dengan kepentingan politik.

Ia menilai, ada sejumlah hal yang dapat dilihat ketika DPR secara kompak menerima Budi Gunawan. Menurut Budi, ada keanehan karena sama sekali tak ada tentangan dari Koalisi Merah Putih yang selama ini selalu berseberangan dengan Jokowi dan koalisi pendukungnya.

"Semuanya mendukung, kecuali Fraksi Demokrat. Bisa saja DPR ingin merangkul Jokowi, karena di situ ada Golkar kubu Agung Laksono, ada PPP dan PAN yang ingin dekat dengan Jokowi," kata Budiatna, saat dihubungi, Rabu (14/1/2015).

Kemungkinan lainnya, kata Budiatna, fraksi-fraksi anggota KMP sengaja meloloskan Budi Gunawan karena ingin memberikan bola panas pada Jokowi.

Seperti diketahui, Budi telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Jokowi akan terkena imbas negatif jika melantik tersangka korupsi sebagai pejabat negara.

Budiatna mengatakan, jika ingin mewujudkan pemerintahan bersih dan penegakan hukum, seharusnya Budi Gunawan tidak diloloskan sebagai Kapolri. Ia juga menyarankan Jokowi tidak melantik Budi Gunawan karena langkah itu akan menghancurkan harapan dan kepercayaan publik kepada pemerintah. 

Apalagi, KMP dan Koalisi Indonesia Hebat, menurut Budi, kehilangan daya kritis karena meloloskan Budi Gunawan dalam proses politik di parlemen. Padahal, dua kekuatan politik itu sama-sama mengklaim berkomitmen pada upaya pemberantasan korupsi sehingga seharusnya tak ada alasan untuk menerima Budi Gunawan sebagai Kapolri.

"Bisa juga karena ingin menjebloskan Jokowi. Komisi III kan diisi para ahli hukum, jadi mereka tahu KPK tidak seenaknya menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, minimal ada dua alat bukti," ujarnya.

Keputusan Jokowi disayangkan
Selain mengingatkan Jokowi, Budiatna juga menyayangkan keputusan Jokowi memilih Budi Gunawan dan mengajukannya sebagai calon tunggal Kapolri. Menurut dia, polemik ini tak akan terjadi jika sejak awal Jokowi mempertimbangkan catatan KPK yang memberikan "stabilo merah" untuk Budi Gunawan.

"Kalau ditarik ke belakang, ini kesalahan Jokowi. Dia tahu betul Budi Gunawan bermasalah, tapi kenapa Jokowi mau mengorbankan dirinya," kata Budiatna.

Pada Rabu (14/1/2015) kemarin, Komisi III DPR menyetujui Komisaris Jenderal Budi Gunawan menjadi Kapolri. Keputusan itu diambil secara aklamasi setelah Komisi III melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan atas calon tunggal Kapolri yang dipilih Presiden Jokowi.

Ketua Komisi III DPR RI Azis Syamsudin mengatakan, keputusan tersebut akan dibawa dalam sidang paripurna yang rencananya digelar pada Kamis (15/1/2015) pukul 09.00 WIB.

Jokowi menyatakan, akan mengikuti proses yang berjalan di DPR sebelum memutuskan kelanjutan pencalonan Budi Gunawan. Ia mengaku, pencalonan Budi Gunawan sudah melalui berbagai proses. Menurut Jokowi, nama Budi Gunawan masuk dalam daftar calon yang direkomendasikan Komisi Kepolisian Nasional. Jokowi juga mengatakan, ia sudah mengklarifikasi terkait persoalan rekening gendut Budi Gunawan. Berdasarkan dokumen yang diterimanya, transaksi keuangan Budi dinyatakan wajar.

Sebelumnya diberitakan, pada Selasa (13/1/2015), KPK mengumumkan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka dengan dugaan terlibat transaksi mencurigakan atau tidak wajar. Penyelidikan mengenai kasus yang menjerat Budi telah dilakukan sejak Juli 2014. Atas perbuatannya, Budi disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, dan Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1KUHP. (KOMPAS.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar