Selasa, 20 Januari 2015

Australia Kirim 50 Nota Diplomatik Untuk Bebaskan Warganya, Tapi Istana Bergeming


PM Tony Abbott dan Presiden Jokowi seusai pelantikan.[ABC]

Canberra – WARA - Keputusan Pemerintah Indonesia mengeksekusi mati terpidana narkoba memicu reaksi beragam dari dalam dan luar negeri.
 
Ada banyak yang mengecam keputusan tersebut, tetapi tidak sedikit yang mendukung. Tetapi keputusan pemerintah itu membuat banyak pihak tersentak kaget.

Pemerintah Australia salah satunya yang sangat kaget dengan eksekusi mati terhadap pengedar narkotika, karena ada dua warga negaranya yang akan menjalani eksekusi tahap kedua.

Perdana Menteri Australia, Tony Abbot, Menlu Australia Julie Bishop, dan publik negara itu berusaha melobi agar Presiden Jokowi membatalkan hukuman mati terhadap dua warga Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Tapi Istana Negara lagi-lagi bergeming. 

"Sedikitnya, lima puluh nota diplomatik dan pembicaraan telepon dibuat antara Canberra dan Jakarta dalam delapan tahun terakhir," kata Menteri Australia, Julie Bishop. 

Isinya adalah permohonan pengampunan buat dua warga negeri Kanguru itu yang terlibat kasus penyeludupan narkoba dan divonis mati oleh pengadilan Indonesia.

Kini, setelah pemerintah memerintahkan eksekusi mati terhadap enam terpidana narkoba pada Minggu (18/1), "Perdana Menteri kembali mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi," kata Bishop ihwal upaya atasannya itu buat menghentikan langkah regu tembak.

Upaya serupa sebenarnya telah pula dibuat oleh Presiden Brasil, Dilma Roussef dan Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte serta raja Wilem-Alexander. Seperti juga Tony Abott, ketiganya menghubungi langsung Jokowi untuk meminta pengampunan bagi warga negaranya.


Eksekusi Berjalan
Tapi apa daya, Istana Negara membatu. Marco Archer Cardoso Moreira (Brasil), Ang Kiem Soei (Belanda), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), Namaona Denis (Malawi), Daniel Enemuo (Nigeria) dan Rani Andriani (Indonesia) akhirnya melepas nyawa di tangan algojo.

Presiden Joko Widodo yang naik tahta Oktober silam menolak mengampuni ke-enam terpidana mati. Dan eksekusi tersebut sekaligus menjadi prahara diplomatik pertama yang dibuatnya.

Brasil mengecam. Langkah pemerintah "menciptakan batu dan akan selamanya membayangi hubungan bilateral," antara kedua negara, kata Marco Aurelio Garcia, penasihat presiden untuk urusan luar negeri Brasil. 

"Tidak ada sensitivitas dari pemerintah Indonesia dalam hal ini," ujarnya. Sebagai protes, Brasil dan Belanda menarik duta besarnya dari Indonesia.


Eksekusi Kedua
Nasib buruk juga sedang menanti Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Warga negara Australia itu dibekuk aparat saat hendak menyeludupkan 8,3 kilogram heroin di Bali bersama tujuh lainnya. Sukumaran dan Chan divonis mati. Sementara sisanya dikurung untuk waktu lama.

Pemerintah berdalih, eksekusi mati diperlukan untuk menciptakan efek jera. Indonesia, kata Jaksa Agung HM Prasetyo, sedang dalam kondisi darurat narkoba.

Banyak yang tidak sepakat dengan alasan pemerintah itu. Eskekusi mati dinilai tidak berdampak apapun terhadap peredaran obat-obatan terlarang di Indonesia atau angka pecandu narkoba. 

Tetapi banyak juga yang mendukung dengan alasan Presiden Jokowi hanya melaksanakan perintah UU dan setiap hari sekitar 50 hingga 80 orang Indonesia mati karena narkoba. (SP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar