Sabtu, 12 Juli 2014

Politik

Jakarta -- Ketua Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu, Jimly Asshiddiqie, mengimbau pasangan calon presiden dan wakil presiden menghormati hasil rekapitulasi penghitungan suara yang akan ditetapkan pada 22 Juli mendatang.

Menurut Jimly, hasil rekapitulasi tersebut tidak usah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar memudahkan rekonsiliasi pascapilpres.

"Kita kan sebagai bangsa baru kali ini mengalami bangsa kita terbelah dua gara-gara pilpresnya cuma dua calon. Kalau di Amerika sudah dua setengah abad, sudah biasa mereka punya dua calon. Bangsa Amerika sudah biasa terpecah dua," ujar Jimly di Jakarta, Senin (14/7/2014).

Mengingat ini untuk kali pertama bagi Indonesia, Jimly mengingatkan agar semua pihak harus ekstra hati-hati. Caranya, siapa pun pemenang hasil rekapitulasi KPU, pihak yang kalah langsung mengucapkan selamat.

"Tentu perlu juga ditimbang-timbang baik-baik para pendukung supaya ditenangkan. Jadi saya kira ini penting bagian dari pembelajaran banhga kita berdemokrasi ke depan," kata Jimly.
Bekas Ketua MK itu optimis ini akan menjadi catatan terbesar dalam perkembangan sejarah demokrasi di Indonesia dan tersulit untuk dilalui. Jika Pilpres ini dilalui dengan mulus, Jimly mengaku demokrasi Indonesia sudah matang.

Sebelumnya, peserta pemilihan umum presiden dan wakil presiden adalah Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang diusung poros Partai Gerindra dan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang diusung poros PDI Perjuangan.

Inilah Lima Indikator Kebrutalan Sistematis Yang Dilakukan Tim Joko-Kalla Untuk Membentuk Opini Menang

Minggu, 13 Juli 2014


Jakarta, Tim pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menilai, ada usaha sistematis untuk membentuk opini pemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Mulai dari rekayasa berita penghitungan suara hingga pengerahan massa.

"Pertama, berdasarkan exit poll mereka menyebarkan kabar Jokowi-JK menang telak 85 persen berbanding 15 persen dari Prabowo-Hatta di sejumlah negara seperti Arab Saudi dan Malaysia. Tujuannya untuk pengaruhi pemilih dalam negeri," ujar penasehat tim Prabowo-Hatta, Letjen TNI Pur Suryo Prabowo, Ahad (13/7).

Padahal, katanya, setelah hitungan resmi dilakukan, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperoleh 51 persen di Jeddah. Sementara Jokowi-JK mendapatkan 48 persen. Di Qatar Prabowo-Hatta memperoleh 52 persen dan Jokowi-JK 42 persen. Kemudian di Malaysia Prabowo-Hatta 85 persen Jokowi-JK 15 persen.

Kedua, menurutnya, di dalam negeri sejumlah lembaga survei yang menjadi konsultan politik melakukan quick count. "Hasilnya dibuat seragam, Jokowi-JK menang 3-5 persen dari Prabowo-Hatta," ujarnya.

Padahal, urainya, saat itu data yang masuk baru 75 persen. Ditambah, ada quick count lain yang mengunggulkan Prabowo-Hatta.

Ketiga, lanjutnya, kemenangan quick count tersebut dengan cepat diklaim secara terbuka sebagai terpilihnya Jokowi-JK sebagai pemenang pemilu. "Mereka mendeklarasikan kemenangan Jokowi-JK secara terbuka," jelasnya.

Keempat, ada pengerahan massa untuk memberi legitimasi sosial setelah pernyataan klaim sepihak tersebut. "Massanya sudah disiapkan sepekan sebelum hari pencoblosan," ungkapnya.

Kelima, lanjutnya, ada upaya mengunci opini publik kalau Jokowi-JK sudah menang pemilu. Bahkan dikatakan hasil quick count lebih benar dari hitung manual KPU.

"Ini seperti drama politik tentang klaim pemenang pilpres. Diatur kisahnya secara dramatis melibatkan emosi publik. Ujungnya KPU seperti dipaksa untuk memenangkan Jokowi-JK. Hanya kecurangan yang dapat mengalahkan Jokowi-JK, itulah kesimpulan drama politik ini yang mereka inginkan," bebernya.

Menurut Suryo, publik harus mengerti skenario drama politik itu agar tidak bingung dan tersesat.

"Mereka menggiring opini publik ke target mereka. Kalau tidak sesuai target, mereka tuduh curang. Mereka tidak siap kalah maka segala cara ditempuh untuk menang," paparnya.

KPU Menangkan Prabowo-Hatta, ProJok Akan Turunkan Massa

pro jok 
Jakarta – Setelah Barisan Rakyat Dukung Jokowi berencana menggalang massa untuk menentang keputusan KPU jika memenangkan pasangan Prabowo-Hatta, kini giliran massa Pro-Jokowi (Projok) di seluruh kota-kota besar juga akan menentang keputusan KPU.

“Kita akan menentang keputusan KPU jika KPU memenangkan pasangan Prabowo-Hatta,” ujar Ahmad Riyani kordinator ProJok nasional dan pemenangan ProJok Jabar, Minggu (13/7).

Ahmad berharap KPU profesional dengan bersikap netral. Pasalnya, mengacu kepada hasil quick count beberapa lembaga survey dan media, pasangan Jokowi-JK telah menang dalam Pilpres 2014.

“KPU harus netral dan tidak memenangkan kubu Prabowo karena kita semua tahu hasil quick count dan media Jokowi menang,” tegasnya.

Ia pun menambahkan ProJok saat ini telah menggalang massa di seluruh kota besar untuk mendesak KPU agar menghormati netralitas dengan tidak memenangkan Prabowo-Hatta, dengan mengacu kepada beberapa hasil quick count beberapa lembaga survey dan media televisi.

“Kita mengacu kepada hasil quick count beberapa lembaga survey dan media, Jokowi telah memenangkan Pilpres 2014 ini. Jika KPU membuat keputusan berbeda maka kami akan turun kejalan dan memperjuangkan kemenangan Jokowi sampai titik darah penghabisan,” tuturnya.

Sebelumnya, aktifis 98 Bonie Hargens juga mengatakan KPU akan bermasalah dengan rakyat jika hasil hitung KPU berbeda dengan hasil quick count lembaga yang memenangkan Jokowi.

“Karena track record lembaga lembaga yang memenangkan Jokowi ini tidak pernah salah dalam melakukan Quick Count. Kalau tiba-tiba KPU memenangkan Prabowo dengan fakta kami menemukan banyak kecurangan dalam penghitungan suara pastinya akan menimbulkan kekacauan sangat serius,” tegasnya.

Bonie menambahkan, KPU harus berkerja sebagai negarawan, tidak boleh terlibat dalam permainan.
“Jika KPU tetap memanangkan Prabowo pasti akan terjadi kekacauan yang sangat serius,” pungkasnya.

UU MD3 Beri Harapan Partai Kecil Pimpin Dewan

"Dengan perubahan UU MD3, partai kecil bisa menjadi pimpinan DPR.

Senin, 14 Juli 2014
Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Melani Leimina
Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Melani Leimina
Jakarta, - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Melani Leimena Suharli menyatakan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang baru disahkan pekan lalu akan berdampak positif untuk parlemen ke depan. Pemilihan pimpinan DPR dengan sistem paket, menurutnya akan memberikan kesempatan partai kecil di DPR menduduki kursi pimpinan. Hanura. Ketiganya merupakan partai pengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Pilpres. Tiga partai itu walk out dalam sidang pengesahan UU MD3.

Dalam Pasal 84 UU MD3 ayat (1) disebutkan bahwa pimpinan DPR RI terdiri atas satu orang ketua dan 4 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. Sementara di ayat (2) berbunyi pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.

"Gerindra selama ini bilang dia merasa nggak dapat kursi pimpinan karena dia partai kecil. Dengan perubahan UU MD3 partai kecil bisa menjadi pimpinan DPR. Kalau UU ini tidak diubah, partai kecil nggak ada harapan jadi pimpinan," ujar Melani di Gedung DPR, Jakarta, Senin 14 Juli 2014.

Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat itu membantah perubahan UU MD3 bisa membuat anggota dewan kebal hukum. Dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang MD3 yang baru disahkan disebutkan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

"Apapun yang diaturkan kalau kita menerapkan dengan sungguh-sungguh tanpa pandang bulu semuanya bisa saja. Kita mengharapkan Mahkamah Kehormatan Dewan bekerja semaksimal mungkin," ujar dia.

Terkait keterwakilan perempuan di DPR, Melani berpendapat lebih baik jumlah perempuan di DPR sedikit namun berkualitas, daripada jumlahnya banyak tapi tidak bisa menyuarakan aspirasi rakyat dan tidak berfungsi.

"Kalau perempuannya berkualitas dan dipandang tepat di jabatan itu, saya rasa juga nggak bisa kita membatasi. Misalnya perempuan hanya 2-3 orang di Komisi III, tapi kita ambilnya yang ahli dan berlatar belakang hukum," jelasnya.

Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa 8 Juli 2014 berbuntut panjang. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang tidak terima dengan perubahan itu berencana mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Anggota Komisi III Bidang Hukum DPR dari Fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari, menuding revisi UU MD3 terkait pasal pemilihan pimpinan DPR tersebut diskriminatif dan sengaja dimaksudkan untuk mengunci PDIP.

Penentuan revisi UU MD3 ini dilakukan secara voting. Sistem paket didukung oleh koalisi gemuk yang terdiri dari 6 partai politik, yakni Golkar, Demokrat, Gerindra, PKS, PPP, dan PAN. Keenam partai tersebut saat ini merupakan bagian dari koalisi Merah Putih yang berada di belakang Prabowo-Hatta.

Sementara partai-partai yang menolak perubahan pemilihan pimpinan DPR dari sistem proporsional menjadi sistem paket adalah PDIP, PKB, dan

 

Taktik Permainan Prabowo

'Kalah bukan opsi', mengungkap Prabowo kepada wartawan Straits Times, 6/7. (Foto: Straits Times)
‘Kalah bukan opsi’, mengungkap Prabowo kepada wartawan Straits Times dalam pesawat pribadinya, 6/7. (Foto: Straits Times)

Terdapat satu hal yang jelas: Joko Widodo (Jokowi) telah memenangkan Pemilihan Presiden Indonesia pada tanggal 9 Juli. Apabila perhitungan formal dan proses tabulasi berjalan tanpa ada kecurangan, dia akan dinobatkan menjadi presiden Indonesia yang baru pada 20 Oktober 2014.

Alasan yang membuat kami bisa yakin dengan hasil ini, walaupun belum ada pengumuman resmi dari KPU adalah adanya Hitung Cepat (Quick Count) yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survey yang kredibel di Indonesia. Hitung Cepat dilakukan dengan menempatkan surveyor lapangan di lokasi TPS-TPS yang dijadikan sampel. Pada saat penghitungan suara secara resmi di TPS selesai, surveyor lapangan menyampaikan hasil TPS tersebut ke pusat penghitungan suara lembaga bersangkutan, yang biasanya dilakukan melalui telepon. Apabila penentuan sampel dilakukan dengan benar dan dalam jumlah yang banyak sesuai kaidah statistik serta pencatatan hasil dilakukan dengan akurat, hitung cepat yang terorganisir dengan baik dapat memprediksi hasil akhir dari penghitungan resmi dengan kemungkinan kesalahan (Margin of Error) yang sangat kecil.

Pada hari pemungutan suara, dalam rentang waktu beberapa jam setelah TPS ditutup, delapan lembaga survey telah merilis hasil mereka yang menyatakan bahwa Jokowi memenangkan Pilpres dengan selisih suara yang cukup besar.

Lembaga Survey Jokowi-Kalla Prabowo-Hatta
Radio Republik Indonesia 52,7 47,3
Lingkaran Survey Indonesia 53,4 46,4
Populi Center 51,0 49,0
CSIS 51,9 48,1
Litbang Kompas 52,3 47,7
Indikator Politik 52,9 47,1
SMRC 52,9 47,1
Poltrackting 53,4 46,6

Penting dicatat, sebagian besar dari lembaga-lembaga ini telah terkenal dan dihargai atas integritas, profesionalisme dan kemampuan teknis mereka dalam survey metodologis- reputasi ini didapatkan dengan track record menghasilkan hasil hitung cepat yang akurat sejak 2004, pada saat pilpres dan pilkada pertama diberlakukan. Bahkan RRI (Radio Republik Indonesia), saluran resmi pemerintah Indonesia –pendatang baru dalam bisnis hitung cepat- mendapatkan apresiasi atas hitung cepatnya di Pileg 2014; hasilnya ternyata paling mendekati hasil hitungan resmi KPU. Fakta tentang lembaga-lembaga survey yang kredibel menyatakan temuannya bahwa Jokowi memenangkan Pilpres, dan dengan hasil yang relatif sama, maka dapat dikatakan bahwa secara statistik tidak mungkin Jokowi tidak muncul sebagai pemenang dalam hitungan resmi KPU yang dilakukan tanpa kecurangan.

Berdasarkan hasil hitung cepat tersebut, Jokowi pada tanggal 9 Juli mendeklarasikan kemenangannya dalam Pilpres (walaupun tanpa menggebu-gebu), dia mengingatkan pendukungnya untuk secara cermat mengawasi hitungan resmi surat suara dalam dua minggu ke depan. Tetapi, pada saat yang sama, empat lembaga survey menghasilkan hitung cepat yang menunjukkan kemenangan Prabowo Subianto, walaupun hanya dengan selisih yang lebih tipis.

Lembaga Survey Jokowi-Kalla Prabowo-Hatta
Puskaptis 48,0 52,0
Indonesia Research Centre (IRC) 48,9 51,1
Lembaga Survey Nasional (LSN) 49,5 50,5
Jaringan Suara Indonesia (JSI) 49,9 50,1

Berdasarkan hitung cepat empat lembaga ini, yang jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan yang memenangkan Jokowi, Prabowo Subianto juga mendeklarasikan kemenangannya. Sebagai konsekuensinya, Indonesia saat ini berada dalam kebingunan politik, ketidakpastian dan bahkan instabilitas, dalam dua minggu menjelang pengumuman hasil resmi yang akan disampaikan oleh KPU pada tanggal 22 Juli.

Bagaimana kebingungan ini bisa muncul? Kita harus menarik garis lurus bahwa hal ini tidak disebabkan oleh adanya lembaga-lembaga survey yang memiliki kredibilitas yang sama yang menghasilkan hasil hitung cepat yang sama legitimasinya. Sebaliknya, kebingungan ini adalah bagian dari strategi yang sengaja diambil untuk mengaburkan hasil pilpres yang sebenarnya membuka ruang untuk mencapai kemenangan melalui cara yang manipulatif, sebuah strategi yang telah lama dipersiapkan. Sebagaimana diketahui umum, salah satu penasehat strategi Prabowo, Rob Allyn, terkenal tidak hanya ahli dengan strategi kampanye negatif tetapi juga dengan memproduksi survey yang menciptakan kesan seolah-olah kandidat yang elektabilitasnya rendah adalah kandidat yang kompetitif, dan menciptakan kebingungan publik untuk melakukan manuver sehingga kandidat yang bersangkutan mendapatkan posisi yang diinginkan. Allyn sudah terkenal melakukan strategi ini di pemilu Meksiko dan sepertinya Indonesia merupakan lahan yang subur untuk melakukan metode yang sama.

Langkah 1: Memperkeruh Statistik
Selama sekitar sepuluh tahun terakhir, selain lembaga-lembaga survey professional yang kredibel, mudah diketahui ada banyak juga organisasi yang muncul di Indonesia yang bersedia merekayasa survey sesuai kebutuhan kliennya, bahkan juga memalsukan surveynya sekaligus. Mereka biasanya melakukannya dalam survey pemilih, dengan asumpsi bahwa sebagian pemilih Indonesia akan cenderung untuk mendukung calon yang diperkirakan akan menang, sehingga melakukan manipulasi survey dapat menaikkan elektibilitas sponsornya.

Walaupun kami tidak memiliki bukti bahwa lembaga survey yang menghasilkan hasil hitung cepat yang memenangkan Prabowo dibayar untuk merekayasa hasil hitung cepat yang mereka lakukan, rekam jejak mereka memberikan banyak alasan bagi kita untuk curiga –bahkan yakin- bahwa manipulasi telah terjadi. Sebagai contoh, salah satu dari organisasi yang disebutkan di atas, LSN (Lembaga Survey Nasional), memiliki rekam jejak yang menghasilkan hasil survey pemilih yang menunjukkan kemenangan Prabowo dan partai Gerindranya dengan selisih yang sangat jauh dibandingkan dengan lembaga survey yang kredibel dan mapan. Pada tahun 2009, LSN memprediksi perolehan suara Gerindra pada pemilu legislatif waktu itu akan mencapai 15,6 % suara – yang ternyata hanya memperoleh 4,5%. Pada pemilu legislatif 2014, LSN mempublikasikan hitung cepat awal yang bahkan dilakukan sebelum TPS ditutup yang menunjukkan Gerindra akan memenangkan pemilu dengan 26,1% suara, nampaknya dengan harapan bahwa pemilih yang belum mencoblos akan terpengaruh dan memilih Gerindra. Kenyataanya, Gerindra memperoleh posisi ketiga dengan 11,8%. Dua hari sebelum hari pencoblosan pemilu presiden, LSN mengeluarkan survey pemilih yang menunjukkan Prabowo memenangkan pilpres dengan selisih 9% suara – walaupun lembaga survey kredibel lainnya menunjukkan Jokowi yang memimpin dengan selisih 2-4% suara.

Puskaptis, lembaga lain yang menunjukkan bahwa Prabowo memenangkan pilpres pada 9 Juli sore, memiliki sejarah serupa yang layak dipertanyakan. Pada tahun 2013, kepala Puskaptis, Husin Yazid, harus diselamatkan dari amukan massa yang murka akibat manipulasinya dalam hitung cepat di Pilkada Sumatra Selatan. JSI (Jaringan Suara Indonesia); dalam pilpres kali ini, hampir tidak memiliki rekam jejak, disamping prediksinya yang salah tentang kemenangan Gubernur Fauzi Bowo melawan Jokowi di Pilgub Jakarta 2012. JSI juga mengklaim pada tahun yang sama bahwa 64% dari penduduk Indonesia menganggap Prabowo paling cocok untuk menjadi presiden Republik Indonesia. Terakhir, IRC (Indonesian Research Center) dilaporkan dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo, konglomerat media yang merapat di kubu Prabowo. Pada Juni 2014, IRC memprediksi bahwa Prabowo akan memenangkan pilpres melawan Jokowi dengan prosentase 48% berbanding 43% – menggunakan metodologi yang tidak dikatahui sebelumnya: yaitu mengkombinasikan perolehan suara masing-masing kandidat capres dalam survey sebelumnya dalam sebuah indeks dan mendistribusikannya ulang berdasarkan kecenderungan saat ini, apakah mereka memilih Prabowo atau Jokowi. Sangat sulit untuk memikirkan pendekatan yang lebih tidak professional dalam survey pemilih dibandingkan dengan yang ini.

Berdasarkan apa yang terjadi sebelumnya, tidak mengherankan apabila lembaga-lembaga ini menghasilkan hitungan yang kita saksikan pada 9 Juli. Tidak mengherankan juga bahwa semua lembaga ini mempublikasikan temuannya di TVOne –channel TV yang dimiliki sekutu Prabowo, Aburizal Bakrie yang telah menyiarkan secara terang-terangan dukungan kepada Prabowo selama pilpres. Menjelang 9 Juli, TVOne menandatangani kontrak eksklusif dengan Poltracking, lembaga survey baru dengan reputasi baik. Pada hari pemungutan suara, sayangnya, Poltracking diberi tahu oleh TVOne bahwa lembaga survey lain akan ikut hitung cepat yang disiarkan oleh TVOne. Mengetahui reputasi lembaga-lembaga ini yang dipertanyakan, Poltracking memutus kontrak dengan TVOne pada 9 Juli 2014 jam 10.00 pagi. Poltracking kemudian mengumumkan hasil hitung cepat, seperti lembaga kredibel lainnya, bahwa Jokowi memenangkan pilpres. Lembaga lainnya, seperti telah dijelaskan di atas, mengikuti keinginan TVOne dan mempublikasikan hasil hitung cepat yang telah termanipulasi yang memenangkan Prabowo.

Langkah 2: Curi hasilnya.
Untuk apa melakukan manipulasi terhadap hitung cepat? Masyarakat sudah mencoblos, jadi melakukan manipulasi tidak akan mempengaruhi pilihan pemilih atau elektibilitas seorang capres lagi. Dengan demikian, tujuannya sangat jelas: untuk mengulur waktu dan menciptakan kebingunan publik tentang hasil pilpres, dengan tujuan untuk memberikan ruang bagi metode lain untuk memproduksi kemenangan melalui hitungan resmi.

Terdapat dua langkah yang kemungkinan bisa dilakukan Prabowo untuk memenangkan pilpres saat ini. Yang pertama adalah menunggu pengumuman resmi dari KPU lalu mengajukan banding sengketa pemilu ke Mahkamah Konsitusi. Selisih peroleh suara yang memenangkan Jokowi, sepertinya, menunjukkan bahwa jika toh akhirnya kubu Prabowo bisa menunjukkan bukti kesalahan administrasi perhitungan di beberapa tempat – yang pasti akan dapat dilakukannya karena pemilu di Indonesia tidak steril dari kesalahan dalam penghitungan- hal ini tidak akan dapat membalikkan hasil pemilu melalui keberatan formal. Berdasarkan quick count dari lembaga yang kredibel, keunggulan Jokowi diperkirakan sekitar 6,5 juta suara; sehingga Prabowo harus membalikkan sekitar 3,3 juta suara untuk bisa mendapatkan posisi seimbang dengan Jokowi atau menang tipis. Tidak ada keputusan Mahkamah Konstitusi, baik dalam kasus lokal atau nasional, yang pernah membalikkan sedemikian banyak suara dari satu kandidat ke kandidat lainnya. Dalam kasus yang sangat jarang, MK memutuskan untuk memindahkan beberapa ratus atau ribu suara- tetapi tidak dalam skala sebesar ini. Dalam kasus lain yang serupa, MK akan meminta pemilihan ulang di beberapa tempat, tetapi umumnya akan dilakukan di beberapa TPS atau kabupaten saja.

Hal ini menyisakan satu pilihan terakhir: manipulasi terhadap penghitungan suara resmi dan proses tabulasi suara. Kita belajar dari pemilu Indonesia yang lain- khususnya dari pileg yang terakhir bulan April- bahwa jual beli suara dalam proses penghitungan terjadi di banyak tempat. Sebagian calon legislatif atau caleg pada waktu itu berhasil menyuap penyelenggara pemilu di berbagai level – mulai dari TPS dan terus berjenjang ke desa, kecamatan, kabupaten/kota lalu ke tingkat provinsi- untuk mengalihkan suara dari satu partai atau caleg ke partai atau caleg lainnya, menggelumbungkan suara dengan menggunakan surat suara kosong yang diperuntukkan bagi pemilih yang tidak datang ke TPS atau melakukan manipulasi lainnya. Pada pileg bulan April, penyelewengan terjadi sangat massif tetapi memiliki dampak yang sangat kecil terhadap perolehan total suara masing-masing partai secara nasional karena caleg dari semua partai terlibat dalam penyelewengan suara dalam pola yang terpecah-pecah dan tidak terkoordinasi.

Belum pernah terjadi sebelumnya dalam pengalaman demokrasi Indonesia seorang capres dapat mencuri kemenangan dalam pilpres. Tetapi patut dicurigai bahwa kubu Prabowo sedang mempersiapkan langkah tersebut. Terutama di tempat-tempat yang rawan (seperti di Pulau Madura), dimana pendukung Prabowo mendominasi struktur politik lokal dan dimana kubu Jokowi atau PDIP-nya hanya memiliki sedikit saksi untuk mencatat hasil pemilu pada saat penghitungan suara di TPS (Exit Poll menunjukkan bahwa Prabowo memiliki saksi di 88% dari seluruh TPS sementara Jokowi hanya memiliki saksi di 83% TPS). Manipulasi juga sangat mungkin terjadi di daerah-daerah dimana gubernur dan walikota atau bupatinya adalah pendukung Prabowo, mereka dapat memberikan tekanan kepada aparat pemerintah lokal untuk mengintervensi penghitungan suara.

Kemana Sekarang?
Selama kampanye pilpres, Prabowo menempatkan diri sebagai seorang demokrat. Bahkan, dia memprotes berkali-kali atas persepsi dirinya sebagai seorang “diktator”- termasuk dalam pesan Facebook terakhirnya kepada para pendukungnya sebelum pilpres, dia memprotes gambaran dirinya sebagai orang yang tidak demokratis, walaupun Prabowo tidak menjelaskan siapa yang memberinya gambaran tersebut. Dengan adanya manipulasi hitung cepat dan perang opini tentang siapa sebenarnya yang menang pilpres, Prabowo memberikan alasan kuat bagi kita untuk berasumpsi bahwa dia berpotensi menjadi seorang otokrat yang tidak memiliki penghargaan atas keinginan rakyat dan tidak akan berhenti sampai mendapatkan kekuasaan.

Menurut kami, kalaupun terjadi, upaya untuk mencuri pilpres akan gagal. Skala kemenangan Jokowi cukup besar sehingga terlalu banyak suara yang harus dibalik untuk memenangkan Prabowo. Tetapi kita tidak bisa sangat yakin atas kesimpulan ini: apa yang kita ketahui tentang latar belakang Prabowo, sejarah manipulasi penghitungan dan tabulasi suara di pemilu atau pilkada lainnya di Indonesia, lemahnya monitoring saksi PDIP, kuatnya jaringan politik Prabowo di daerah dan melimpahnya dana yang dimilikinya, menunjukkan bahwa kubu Prabowo sangat berpotensi untuk melakukan langkah terorganisir untuk mengubah hasil pilpres. Walaupun untuk melakukannya tentu tidak mudah. Skala manipulasi yang besar akan membutuhkan cara-cara yang akan sangat mudah dideteksi dan akan membangkitkan perlawanan dari pendukung Jokowi. Kalau ada kecurangan dalam skala yang signifikan, konflik politik akan sulit terhindari.

Demokrasi Indonesia belum lepas dari bahaya. Dalam beberapa posting sebelumnya (disini, disini dan disini), kami sudah berkesimpulan bahwa demokrasi Indonesia paska Suharto berada dalam bahaya jika Prabowo terpilih menjadi presiden. Sekarang sudah muncul indikasi bahwa setelah gagal terpilih, sedang dipersiapkan langkah untuk merongrong institusi demokrasi sebagai bagian untuk merengkuh kekuasaan.

5 Siasat Kubu Jokowi Rekayasa Pilpres Versi Timses Prabowo

5 Siasat kubu Jokowi rekayasa Pilpres versi Timses Prabowo
Letjen (Purn) Suryo Prabowo. ©2014 Merdeka.com

Jakarta, - Kubu Prabowo-Hatta menyatakan ada usaha yang sistematis untuk membentuk opini agar pasangan Jokowi-JK menang dalam Pilpres 2014. Penasehat tim Prabowo, Letjen TNI Purn Suryo Prabowo menuturkan usaha tersebut mulai dari rekayasa berita penghitungan suara hingga pengerahan massa.

"Pertama, berdasarkan exit pool mereka sebarkan kabar pasangan Jokowi-JK menang telak 85%-15% dari Prabowo-Hatta di sejumlah negara seperti Arab Saudi dan Malaysia. Tujuannya untuk pengaruhi pemilih dalam negeri," ujar Suryo dalam rilis yang diterima merdeka.com, Minggu (13/7).

Suryo mencontohkan, setelah hitungan resmi dilakukan pasangan Prabowo-Hatta di Jeddah peroleh 51% sementara Jokowi-JK peroleh 48%. Di Qatar, Prabowo-Hatta 52% Jokowi-JK 42%. Malaysia Prabowo-Hatta 85% Jokowi-JK 15%.

Kedua, lanjut Suryo, di dalam negeri sejumlah lembaga survei yang dijadikan konsultan politik lakukan quick count. "Hasilnya dibuat seragam, pasangan Jokowi-JK menang 3-5% dari pasangan Prabowo-Hatta," ujarnya.

Padahal, urainya, saat itu data yang masuk baru 75%, dan ada quick count lain yang unggulkan Prabowo-Hatta. Bahkan, lanjutnya, mungkin karena sistemnya bocor, pada quick count mereka Prabowo-Hatta sempat unggul 3-5% dari Jokowi-JK.

Topik pilihan: Pilpres | Prabowo-Hatta vs Jokowi-JK | Quick Count Pemilu 2014

Menurut Suryo, ketiga, kemenangan quick count tersebut dengan cepat diklaim secara terbuka sebagai terpilihnya Jokowi-JK sebagai pemenang pemilu. "Mereka deklarasikan kemenangan Jokowi-JK secara terbuka," jelasnya.

Berikutnya keempat, setelah pernyataan klaim sepihak kemenangan Jokowi-JK mereka kerahkan massa untuk memberi legitimasi sosial. "Massanya sudah disiapkan seminggu sebelum hari pencoblosan," ungkapnya.

Kelima, lanjutnya, mereka kunci opini publik bahwa merekalah pemenang pilpres. Hasil quick count mereka yang paling benar, jika hitungan real count KPU berbeda, hitungan KPU yang salah.

"Ini seperti drama politik tentang klaim pemenang pilpres. Diatur kisahnya secara dramatis melibatkan emosi publik. Ujungnya KPU seperti dipaksa untuk memenangkan Jokowi-JK. Hanya kecurangan yang dapat mengalahkan Jokowi-JK, itulah kesimpulan drama politik ini yang mereka inginkan," bebernya.

Menurut Suryo, publik harus mengerti skenario drama politik yang jahat ini agar tidak bingung dan tersesat. "Mereka giring opini publik ke target mereka. Kalau tidak sesuai target mereka tuduh curang. Mereka tidak siap kalah maka segala cara ditempuh untuk menang. Berbeda dengan Prabowo-Hatta, yang akan menghormati apa pun keputusan rakyat. Menang tidak akan mentang-mentang, dan kalau pun kalah tidak marah," tutupnya.

 

Prabowo Subianto Di Mata Lee Kuan Yew

12 Jul 2014
 
Siapa tak kenal negarawan satu ini? Arsitek pembangunan Singapura tersebut tampak masih sehat untuk ukuran orang seusianya. Pikirannya masih tajam, jauh dari kesan pikun. Ucapannya lancar tak peduli usianya sudah 90 tahun.

Saya bukan orang Singapura jadi saya hanya mengenalnya lewat buku dan cerita orang. Ir. Ciputra, pendiri perusahaan tempat saya bekerja, pernah dalam suatu kesempatan menceritakan kekagumannya terhadap Lee yang katanya sangat brilian dalam membangun negeri pulau sekecil Temasek menjadi Singapura yang super makmur. Beliau selalu menjadikan Lee sebagai contoh seorang politisi dan birokrat yang memiliki jiwa entrepreneurship yang tinggi. 

Terakhir kali sepengetahuan saya Ciputra hendak menemui Lee saat bertandang ke Singapura untuk menerima penghargaan dari stasiun TV Channel News Asia di Maret tahun 2013, tetapi sayang Lee sedang didera sakit lutut. Kata Ciputra yang akan merayakan ulang tahunnya yang ke-83 24 Agustus nanti, “Jangan terlalu banyak olahraga naik sepeda statis.” Ia menyarankan renang saja yang lebih aman untuk persendian karena minim hentakan.

Sebagai negarawan top yang bertetangga dengan kita, Lee sering bertemu dengan sosok-sosok penting dalam percaturan politik Indonesia. Salah satunya yang ia turut bahas dalam memoarnya “From Third World to First- The Singapore Story (1965-2000)” adalah calon presiden kita sekarang yang bernomor urut 1, Prabowo Subianto.
Dalam memoarnya yang tebal itu, Lee mendedikasikan satu bab berjudul “Indonesia: From Foe to Friend” dengan 3 halaman yang menyebut Prabowo. Pertama di halaman 312, Lee menyebut Prabowo sebagai “komandan Kopassus”. Tak banyak cerita di sini karena Lee lebih menyorot Titiek, mantan istri Prabowo, yang menemui Lee pada tanggal 9 Januari 1998 dengan misi mendapatkan bantuan dari Singapura dalam upaya mengumpulkan dana melalui surat utang atau bond dalam mata uang dollar AS di Singapura. Lee menolak karena meski ia mau melakukannya pun, langkah itu tak akan efektif selamatkan rupiah yang jeblok. Terdesak, Titiek berdalih ada isu dari Singapura yang melemahkan rupiah tahun 1998 dan menuduh bankir-bankir Singapura mendorong orang Indonesia menyimpan uang di negeri seberang.

Lee menyarankan Titiek dan Suharto berkonsultasi dengan Paul Volcker, mantan pimpinan Bank Sentral AS (Federal Reserve) tetapi ujungnya, nasihatnya tak digubris. Volcker diundang ke Jakarta untuk bertemu Suharto tetapi tak diangkat sebagai penasihat.
Di halaman 316 memoarnya, Lee Kuan Yew menyinggung tentang kepribadian Prabowo di mata Suharto yang dianggap “cerdas dan ambisius tetapi impulsif dan gegabah.” Berikut kutipan dari halaman tersebut:
“The most grievous error of all was his balancing act in appointing General Wiranto as chief of the armed forces while promoting his son-in-law Prabowo Subianto to be liutenant-general and chief of Kostrad (the Strategic Forces). He knew that Prabowo was bright and ambitious, but impetuous and rash.” (From Third World to First, p.316)
Seperti kita ketahui bersama, Wiranto juga mengajukan diri sebagai calon presiden tetapi sayangnya gagal di tengah jalan. Akhirnya dengan mengingat sejarah permusuhannya dengan Prabowo tersebut, partainya Hanura ‎merapat ke kubu lawan Prabowo. Anda dapat baca di situs resmi Wiranto.com, dukungan pada Jokowi dan Jusuf Kalla tampak sangat kental. Langkah Wiranto terbilang cukup jitu dan membuat partainya lebih “aman” meski pergulatan dengan pihak Prabowo-Hatta akan jauh lebih alot tetapi setidaknya ia bersama mendukung Jokowi yang dielu-elukan para investor.

Di sini, Lee seakan tahu bahwa Suharto membuat kesalahan besar dengan mengangkat keduanya bersamaan di posisi-posisi puncak militer negeri ini. Akan tetapi Suharto toh tetap melakukannya. 
Apakah itu karena desakan sang anak Titiek, atau karena status Prabowo sebagai anak menantu, atau karena Suharto masih berharap Prabowo akan bisa berubah menjadi pribadi yang lebih matang dan bijak? Entahlah, tetapi penggunaan kata “grievous” mengacu pada sesuatu yang “berakibat serius dan menimbulkan penderitaan atau rasa sakit yang hebat” (Longman Dictionary of Contemporary English, hal 172). Penekanannya tergolong berat karena disandingkan dengan kata “error”. Atau Suharto sedang bertindak gegabah juga saat mengangkat Prabowo? Bisa jadi.

Dalam alinea selanjutnya, Lee menguraikan bahwa dirinya bertemu Prabowo dalam dua kesempatan makan siang di ibukota. Yang pertama pada tahun 1996 dan kedua 1997, ‎sebelum kejatuhan Suharto Mei 1998. Kali ini Lee tidak segan mengutarakan opininya mengenai kepribadian Prabowo menurut pengamatannya. “He was quick but inappropriate in his outspokenness,”tulis Lee di halaman 316.

Kata “quick” menurut Longman Dictionary of Contemporary English bisa membawa banyak makna jika kita membicarakan perangai seseorang “cekatan” (moving or doing something fast) atau “pandai” karena mampu belajar dan memahami dengan cepat (able to learn and understand things fast). Yang ketiga, “quick” juga bisa dimaknai “cepat naik darah”, misalnya “have a quick temper” yang artinya “to get angry very easily”. Entah yang mana makna yang hendak disampaikan Lee, tetapi Anda bisa berspekulasi secara logis dengan mengamati tindak tanduk dan cara bicara Prabowo selama ini tampil di depan publik.

Lee Kuan Yew menangkap sinyal aneh dari Prabowo yang menemuinya pada tanggal 7 Februari 1998, kurang lebih tiga bulan sebelum Mei berdarah itu. Prabowo menemui Lee dan Perdana Menteri Singapura saat itu Goh Chok Tong secara terpisah di Singapura. Yang disampaikan Prabowo, kata Lee, adalah sebuah pesan yang “aneh”, isinya adalah peringatan singkat mengenai risiko yang dihadapi kaum keturunan Tionghoa di bumi nusantara. Prabowo mengatakan bahwa warga keturunan itu menghadapi risiko karena jika ada hal tak diinginkan terjadi, “kerusuhan” tulis Lee, mereka akan terluka sebagai kaum minoritas.

Tak ketinggalan jendral baret merah itu menyebutkan pengusaha Sofyan Wanandi (ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia 2008- 2013) dalam percakapannya. Sofyan yang keturunan Tionghoa (meski secara de facto lahir di Sawahlunto‎, Sumbar) itu dianggapnya benar-benar berada dalam risiko tinggi karena statusnya sebagai “minoritas ganda”, seorang dengan darah keturunan dan berkeyakinan Katholik pula! Apakah juga karena Sofyan adalah sosok yang kritis dan vokal terhadap status quo? 

Sebagaimana diketahui, rekam jejak Sofyan adalah mantan aktivis 1966 dengan pengalaman segudang di bidang ekonomi, birokrasi dan politik (sumber: Wikipedia), yang membuatnya menjadi seorang minoritas dengan keberanian yang luar biasa untuk menyuarakan aspirasi diri dan kaumnya.
Masih di halaman 316, Lee mengutip perkataan Prabowo bahwa Sofyan Wanandi berkata pada Prabowo dan sejumlah jenderal lainnya bahwa Suharto yang saat itu masih berkuasa harus turun tahta. Prabowo berusaha meyakinkan Lee bahwa Sofyan benar-benar mengatakan hal itu dan menurut Prabowo pernyataan tersebut bisa membahayakan kelompok Katholik yang berdarah Tionghoa di tanah air. Mendengar ‘agitasi’ sang jenderal, Perdana Menteri Goh Chok Tong dan Lee menjadi bingung. Begini Lee menggambarkan kebingungannya:
“Both the Prime Minister and I puzzled over why he should want to tell us this about Sofyan when it was patently unlikely that any Indonesian would tell the president’s son-in-law that the president should be forced to step down. We wondered if he was preparing us for something that would happen soon to Sofyan and other Chinese Indonesian businessmen.” (From Third World to First, p. 317)
Tentu saja ini kurang sama sekali tidak masuk akal. Mengapa Sofyan yang jelas-jelas bukan orang bodoh dan merupakan bagian dari minoritas Tionghoa Katholik mengatakan ancaman kudeta itu pada seorang jenderal yang juga berstatus menantu presiden yang terang-terang masih berkuasa? Bukankah itu seperti upaya bunuh diri? Mengapa Sofyan yang sudah berada dalam bahaya malah mengeluarkan pernyataan semacam itu? Tidak ada yang bisa mengklarifikasi pernyataan Lee ini, kecuali Goh atau Prabowo mau buka mulut juga tentang isi percakapan mereka itu, yang kemungkinan besar tidak akan terjadi. Di sini, kita bisa berspekulasi: siapa yang berbohong dan apa motifnya?

Di samping semua hal ganjil tadi, satu hal yang menggelikan adalah lupanya Prabowo bahwa Goh dan Lee juga orang Tionghoa! Lee memang bukan pemeluk Katholik. Dalam sebuah wawancara dengan The New York Times, Lee mengakui dirinya sebagai orang agnostik (seseorang yang yakin bahwa tidak ada yang bisa diketahui mengenai keberadaan atau sifat Tuhan atau apapun selain fenomena material; seseorang yang mengklaim dirinya bukan pemeluk agama tertentu tetapi juga tidak menyatakan ketiadaan Tuhan). Namun, tetap saja ada persamaan antara Lee dan Sofyan. Jelas, Prabowo memiliki agenda tersembunyi. Agenda yang hanya Tuhan dan ia sendiri ketahui. Silakan Anda baca penjelasan Lee selanjutnya dan simpulkan sendiri.

Lee melanjutkan narasinya dengan membeberkan peristiwa tanggal 9 Mei 1998, saat Admiral William Owens (seorang pensiunan wakil pimpinan US Joint Chiefs of Staff ) menemui Lee di Singapura. Owens rupanya juga mengendus keganjilan yang juga dirasakan Lee dalam diri Prabowo.  Pada Lee, Owens mengaku bertemu Prabowo  di Jakarta pada tanggal 8 Mei 1998. Selama makan siang, keduanya didampingi oleh dua ajudan muda bawahan Prabowo (keduanya letnan kolonel, satu dokter). Owens mendengar sendiri Prabowo mengklaim dengan penuh keyakinan bahwa sang “pria tua mungkin tidak akan bertahan hingga 9 bulan, mungkin ia akan meninggal dunia”. Pria tua yang ia maksudkan di sini kemungkinan besar adalah ayah mertuanya sekaligus ayah kandung istrinya Titiek, Presiden Suharto yang masih berkuasa saat itu.

Lee melanjutkan penuturan Owens yang melihat aura kebahagiaan dalam ekspresi dan air muka Prabowo yang saat itu baru saja diangkat menjadi jenderal bintang 3 dan mengepalai Kostrad. Lee menulis:
“In a happy mood, celebrating his promotion to three stars and head of Kostrad, he joked about talk going around that he himself might attempt a coup. Owens said that although Prabowo had known him for two years, he was nonetheless a foreigner. I said Prabowo had a reckless streak in him.” (From Third World to First, p. 317)
Kita bisa garisbawahi kata “a coup” yang dilontarkan Lee. Apakah lelucon kudeta itu semacam isyarat dari alam bawah sadar Prabowo yang tiba-tiba muncul keluar tak terkendali dari mulutnya? Sekali lagi, Lee menegaskan karakter Prabowo. Sebelumnya Lee tahu Suharto berpikir bahwa Prabowo itu sembrono: “He knew that Prabowo was bright and ambitious, but impetuous and rash.” (From Third World to First, p.316). Lee seolah mengamini Suharto dengan menuliskan:”I said Prabowo had a reckless streak in him.” (p.317). Menurut Google Dictionary, “reckless” dapat diterjemahkan sebagai “tanpa berpikir atau peduli atau mempertimbangkan konsekuensi sebuah tindakan” (without thinking or caring about the consequences of an action).
Kemudian meledaklah kerusuhan dan tragedi kemanusiaan yang menimpa warga keturunan di tanah air terutama Jakarta dan sekitarnya pada tanggal 12 Mei 1998. Enam mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembus peluru pasukan anti huru hara. Semua itu memicu kekacauan yang meluas. Penjarahan pusat-pusat perniagaan ibukota dan permukiman warga keturunan Tionghoa ditambah lagi dengan pemerkosaan dan pembunuhan keji terhadap para wanita keturunan Tionghoa. Lee berkomentar:
“It was general knowledge that the rioting was engineered by Prabowo’s men. He wanted to show up Wiranto as incompetent, so that on Suharto’s return from Cairo, he (Prabowo) would be made chief of armed forces. By the time he returned from Cairo on 15 May, Suharto’s position was lost.” (From Third World to First, p. 317)
Menurut Lee, sudah bukan rahasia lagi bahwa kerusuhan Mei 1998 direkayasa oleh orang-orang Prabowo. Prabowo ingin menunjukkan pada Suharto bahwa pesaingnya itu tak seunggul yang dikira, ingin membuktikan bahwa Wiranto sebagai pucuk pimpinan TNI lengah dan tak berdaya menghadapi kekacauan bernuansa SARA (suku, agama, ras) tersebut. Misi Prabowo rupanya, kata Lee, adalah menjadi pimpinan Angkatan Bersenjata RI. Sayangnya, ayah mertuanya saat itu malah jatuh dari kursi kekuasaannya yang sudah dikuasai selama 30 tahun lebih.
Atas semua kejadian tragis yang menimpa pemimpin negeri tetangganya ini, Lee menjabarkan keprihatinannya:
“It was an immense personal tragedy for a leader who had turned an impoverished Indonesia of 1965 into an emerging tiger economy, educated his people and built the infrastructure for Indonesia’s continued development. At this crucial moment, the man who had been so good at judging and choosing his aides had chosen the wrong men for key positions. His mistakes proved disastrous for him and his country.” ( From Third World to First, p. 318)
Dari penjelasan Lee ini, jika memang benar, Prabowo bisa disimpulkan telah berkontribusi pada jatuhnya sang ayah mertua saat itu karena kerakusannya pada kekuasaan. Dengan berdasarkan pada asumsi tersebut, tampaknya keluarga Cendana sudah memaafkan tindakan Prabowo karena mereka menyatakan dukungan bulat padanya di Pilpres 2014 ini. (sumber: Inilah.com). Cukup masuk akal jika demikian adanya, karena bila ia menjabat sebagai presiden RI periode 2014-2019, Prabowo bisa menjadi pembuka jalan bagi dinasti Cendana untuk kembali berkuasa.

Ketahuan Manipulasi, Hari ini Data Quick Count SMRC-LSI Diupdate!

Minggu, 13 Juli 2014



Oleh Tras Rustamaji

Tadi malam (12/7) saya kaget bukan kepalang mengetahui bahwa data quick count SMRC-LSI yang di tampilkan di http://www.komunigrafik.com/pilpres2014/stabilitas.php berubah . Berikut adalah data yang sebelumnya saya ambil untuk membuat analisa tulisan sebelumnya di https://www.facebook.com/notes/tras-rustamaji/catatan-quick-count-pilpres-2014/10152551028838914 (dipublis juga di Piyungan Online : Membongkar 'Keanehan' Quick Count SMRC-LSI yang Menangkan Jokowi-JK)

Gbr 1

Dalam notes yang saya tulis sebelumnya saya kritisi kenapa kurva stabilitas suara di atas (Gbr 1) tidak menunjukkan adanya fakta bahwa prabowo sempat leading pada saat data yang masuk 68 – 546 TPS, seperti pada kurva yang saya capture pada tanggal 9 Juli 2014 jam 13.05 seperti di bawah ini (Gbr 2).

Gbr 2

Nah, alih-alih menjelaskan kenapa ada perubahan kurva tersebut, SMRC malah mengganti datanya menjadi seperti di bawah ini. Dan ini adalah data ditampilkan pada pukul 00:56:39 dini hari tadi (Gbr 3).

Gbr 3

Kelihatan sekali bahwa data yang baru diedit tersebut dibuat untuk menghilangkan anomali yang saya jelaskan di notes sebelumnya. Kurva di ataspun kalau mau saya bahas, banyak sekali kejanggalannya, tapi saya gak mau bahas itu karena itu kurva fake. Membahas kurva stabilitas fake (palsu) hanya menghabiskan energi.

Apakah kita masih percaya quick count jika lembaga sekelas Saiful Mujani ini, suatu lembaga yang saya respect beberapa tahun terakhir karena metodologinya, akurasinya, sekarang mau bermain-main dengan data, seenaknya mengganti data hanya demi mendukung capres idolanya.

Kalau temen-temen masih kekeuh bahwa hasil quick count dari 2000 atau 4000 tps adalah yang paling valid, lebih valid daripada data KPU yang dari  478.685 TPS, saya sudah nyerah deh. Mesti dengan cara apalagi saya menjelaskannya.

Lebih gampang memanipulasi data sample quick count yang cuma 2.000 TPS tanpa pengawasan (walaupun katanya lembaga kredibel) dibandingkan memanipulasi data 478.685 TPS yang diawasi saksi kedua belah pihak dan pengawas bahkan publik sekalipun bisa ikut mengawasinya. Dan itu sudah terbukti tadi malam, smrc mengganti data quick countnya tanpa saksi, tanpa pengawasan tanpa upacara.



____
UPDATE (admin):

Setelah ramai diperbincangkan di social media tentang "KEANEHAN" Quick Count SMRC-LSI, tiba-tiba kurva stabilitas suara QC SMRC-LSI diganti (Gbr 3), dan setelah ketahuan manipulasi dg kurva fake ini, hari ini kurva fake tersebut sudah hilang. Sila cek:  http://www.komunigrafik.com/pilpres2014/stabilitas.php ... maka akan terlihat tampilan dibawah ini (Gbr 4)

Gbr 4

 

Aa Gym minta Prabowo dan Jokowi Stop Ngaku-ngaku Jadi Presiden

Saling klaim sebagai presiden dan wakil presiden terpilih membuat pedakwah kondang Abdullah Gymnastiar angkat bicara. Pria akrab disapa Aa Gym itu meminta dua kandidat peserta Pilpres 2014, Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi) berhenti mengaku-ngaku jadi presiden.

Dalam kicauan di media sosial Twitter lewat akun @aagym disebutkan bahwa presiden saat ini masih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden dua periode tersebut baru akan lepas mandat pada Oktober 2014 mendatang.

Pimpinan Ponpes Darut Tauhid ini juga menyampaikan bahwa capres dan cawapres terpilih baru secara resmi akan diumumkan pada 22 Juli oleh penyelenggara yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"STOP ngaku2 presiden, yang pasti presiden sah saat ini adalah SBY dan presiden yang akan datang baru diumumkan KPU 22 Juli," begitu tulis Aa dalam akun resminya seperti dikutip merdeka.com, Sabtu (12/7).

Cuit Aa ini lantas dijadikan favorites 153 dan di-retweets 1.047 pengikutnya.

Untuk diketahui, pasca pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli 2014 lalu, kedua kubu Prabowo-Hatta dan Jokowi - JK sama-sama mengumumkan kemenangan sebagai pemimpin RI. Landasan mereka klaim kemenangan lantaran melihat hasil hitung cepat yang dilakukan berbagai lembaga survei.

Anehnya lagi dari 12 lembaga survei yang dipublikasikan lewat media massa, menampilkan hasil berbeda. 4 lembaga memenangkan capres nomor urut satu. Sisanya menyebut bahwa capres nomor urut dua adalah presiden.

Real Count Timses Prabowo Sudah 90%, Dan Prabowo Unggul 7%! Real Count Jokowi Masih Foto Copy?



Usai maraknya lembaga survei mengeluarkan hasil hitung cepat atau quick count, kini partai masing-masing kubu koalisi kedua pasangan capres-cawapres berlomba-lomba mengeluarkan data real count yang didapat dari Formulir C1 yang diperoleh dari para saksi di lapangan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri baru akan secara resmi mengumumkan hasil real count pada 22 Juli mendatang.

Tim sukses (timses) pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa turut mengeluarkan hasil real count berdasarkan Form-C1 yang diperoleh para saksi di lapangan. Anggota timses Prabowo-Hatta Marwah Daud Ibrahim mengatakan, data real count diperoleh dari tiga pusat data yakni Kartanegara Centre, data saksi PKS di seluruh TPS dan data Cikeas.

"Alhamdulillah. hasil Real Count Kartanegara centre, Prabowo-Hatta vs Jkw-Jk, Prabowo Hatta menang dengan selisih 7%," kata

Marwah dalam rilis yang diterima merdeka.com, Sabtu (12/7).

Persentase perolehan suara yang diperoleh dari Kartanegara Centre untuk Prabowo - Hatta vs Jokowi - JK adalah 54%:46%. Sementara itu data saksi PKS di seluruh TPS, menurut Marwah, sudah masuk 90%, dengan hasil 54% untuk pasangan Prabowo-Hatta dan 46% untuk pasangan Jokowi-JK.

Data real count Cikeas mendapati perolehan suara yang sama dengan kedua pusat data tersebut, yakni 54% untuk pasangan Prabowo - Hatta dan 46% untuk pasangan Jokowi - JK.

"Alhamdulillah, hasilnya semua sama. Insya Allah Prabowo Hatta menang. Amin Ya Rabbal Alamin," tutup Marwah.

Kejanggalan Kemenangan Telak Prabowo Di Malaysia

Sabtu, 12 Juli 2014
Hasil rekapitulasi suara pemilihan presiden di KBRI Malaysia.
Hasil rekapitulasi suara pemilihan presiden di KBRI Malaysia. (sumber: KBRI Malaysia)

Jakarta – Menurut situs Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, calon presiden Prabowo Subianto untuk sementara menang telak atas rivalnya Joko Widodo (Jokowi) dengan prosentase 83% lawan 17%, atau perolehan suara 43.770 berbanding hanya 8.525.

Namun data yang tercantum di situs http://ppln.kbrikl.org/index.php?r=site/rekapitulasipilpres ini memperlihatkan satu hal yang mencolok jika dilihat hasil di 60 TPS di Malaysia yang juga bisa diklik di laman yang sama.

Secara umum di 60 TPS Malaysia, Jokowi lebih banyak menang dengan selisih wajar puluhan suara.
Namun begitu diklik pilihan “POS”, yakni pemberian suara lewat jasa pos, muncullah angka yang menakjubkan itu.

Prabowo mendapat 39.671 suara lewat surat pos, sedangkan Jokowi hanya 3.709 suara di mailbox panitia pilpres luar negeri.
 Artinya, suara yang begitu besar diperoleh Prabowo bukan dari pemilih yang datang ke TPS.

Sedangkan jika suara lewat surat pos ini dikesampingkan dan hanya memperhitungkan pemilih yang datang langsung ke TPS, Prabowo mendapat 4.099 suara, Jokowi 4.816 suara. Dengan kata lain, di TPS tatap muka, Jokowi menang dalam rentang yang wajar.

Situs KBRI Kuala Lumpur menyebutkan penghitungan suara masih belum selesai dan akan terus berlangsung hingga 14 Juli.

Ketika berita ini dibuat, pihak KBRI masih belum bisa dihubungi, kemungkinan karena belum jam kerja.

Kubu Prabowo Kantongi Bukti Kecurangan Quick Count Pro Jokowi

Jum'at, 11 Juli 2014
 
Kubu Prabowo Kantongi Bukti Kecurangan Quick Count Pro Jokowi ilustrasi kertas suara
 
Jakarta,- Kubu calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menyayangkan sikap sejumlah lembaga survei pro Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang mengklaim kalau hasil quick count atau hitung cepat mereka merupakan yang paling benar.

Juru debat nasional Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Mayjen TNI (purn) Kivlan Zein menegaskan, justru dari sejumlah lembaga survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK dalam hitung cepatnya itu semua abal-abal.

Ia pun melihat adanya upaya intimidasi dan agitasi yang dilakukan oleh para lembaga survei itu yang bertujuan mempengaruhi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagaimana dilakukan oleh pimpinan lembaga survei Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, termasuk CEO lembaga survei, Polmark, Eep Saefulloh Fattah yang menyatakan agar mengikuti survei nomor urut dua.

"Saya sangat menyesalkan atas peryataan mereka bahwa hasil survei mereka yang terbaik dan benar, dan jika KPU tidak mengikuti hasil survei mereka dinyatakan KPU tidak benar. Dasar hukum apa itu?" tegas Kivlan, usai mendampingi Hatta Rajasa melakukan Salat Tarawih di Masjid Al Riyadh, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (11/7/2014).

Dengan tegas, Kivlan mengaku, akan melawan para lembaga survei pro Jokowi-JK, apalagi ia telah mengantongi bukti kalau ada uang yang digelontorkan sejumlah lembaga survei itu di basis suara Jawa Timur guna mendongkrak suara Jokowi-JK.

"Hai Eep Saefulloh Fattah kamu berhati-hati survei mu adalah survei yang dibayar dan memberikan Rp200 ribu kepada perorang di TPS yang kami katakan survei mu adalah benar. Polmark kamu adalah intimidator termasuk 7 surveiyor itu," tantangnya.

Kivlan menambahkan, jika mereka menantang kalau surveinya adalah benar ketimbang keputusan KPU. Itu salah besar, karena mereka bukan pembentuk undang-undang (UU). Mengingat dalam UU penentu kemenangan adalah KPU dan bukan survei.

Bila seperti ini, ia tak segan untuk membawa persoalan ini ke pengadilan. "Undang-undang itu mengatakan bahwa KPU menentukan kemenangan didalam Pilpres. Kalau kamu menantang  katakan kamu benar, itu sama saja menantang rakyat. Kamu tak demokrasi,  kamu agitator, sama dengan PKI," pungkasnya.

Sekedar diketahui, ada tujuh lembaga survei yang memenangkan Jokowi-JK dalam hitung cepatnya, yakni Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Populi Center, CSIS, Litbang Kompas Indikator Politik Indonesia, RRI, Saiful Mujani Research Center‎ dan Poltracking Institute.

KPK: UU MD3 Rugikan Pasangan Capres-Cawapres




Ilustrasi sidang DPR
Ilustrasi sidang DPR

Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyayangkan apa yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait disahkannya perubahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang beberapa pasalnya dianggap menghambat upaya penegakan hukum, termasuk upaya pemberantasan korupsi.

"Penegakan hukum anggota DPR dicemari anggota sendiri. Korupsi semakin lintas lini, harusnya direspon melalui UU MD3," kata Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas dalam acara buka puasa bersama media di kantor KPK, Jakarta, Jumat (11/7).

Tetapi sayangnya, lanjut Busyro, malah ada pasal 245 UU MD3 yang memperpanjang birokrasi terkait pemeriksaan anggota DPR. Sebab, dikatakan pemeriksaan anggota dewan sebagai saksi harus mendapat izin mahkamah kehormatan dan memerlukan waktu 30 hari.

"Pasal 220 dan diubah ke pasal 245 itu memperpanjang birokrasi. Manfaatnya apa? untuk demokrasi dan aparat penegak hukum itu jadi potensi kerugian. Bukti itu bisa hilang. Penegakan hukum harus cepat," ujar Busyro.

Bahkan, Busyro mengatakan dengan disahkannya perubahan UU MD3, DPR seperti menabrak asas fundamental dalam hukum, yaitu equality before the law (semua orang sama di depan hukum), yaitu mengistimewakan anggota DPR karena disebutkan bahwa pemeriksaannya harus seizin mahkamah kehormatan. Padahal, penyelenggara negara bukan anggota DPR saja.

"Legal drafting seperti apa? padahal drafting punya kaidah-kaidahnya. Apa DPR tidak tahu?" tegas Busyro.

Atas dasar itulah, Busyro mengkhawatirkan dengan UU MD3 yang baru, justru menimbulkan citra tidak menguntungkan bagi para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Mengingat, dua pasang capres dan cawapres berlomba mengedepankan pemberantasan korupsi.

"Kami khawatir ini akan menimbulkan citra yang kurang menguntungkan posisi DPR saat ini dan kalau benar, itu adalah tamparan terbuka kepada capres masing-masing yang dalam pilpres itu mengangkat tema utama pemberantasan korupsi. Bagaimana oleh sembilan fraksi sepakat untuk ayat ini? Bagiamana memahaminya? ini petir di siang hari untuk capresnya yang diusung," tegas Busyro.

Seperti diketahui, dalam Pasal 245 ayat 1 UU MD3 dimuat ketentuan bahwa penyidik baik dari Kepolisian, dan Kejaksaan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Walaupun, dalam pasal 245 ayat 3 UU MD3 disebutkan bahwa Kepolisian, Kejaksaan dan KPK tak perlu izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memeriksa anggota DPR, jika (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana, (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, (c) disangka melakukan tindak pidana khusus.

Lebih lanjut tidak diatur pengecualian jika anggota DPR dipanggil menjadi saksi dalam penyidikan ataupun penyelidikan kasus tindak pidana korupsi.

Sebaliknya, dalam Pasal 224 ayat (5) dikatakan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Ayat (6) Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan atas surat pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan tersebut.
Ayat (7) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan angggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi hukum.


Rekam Jejak IRC Lebih Akurat
Headline
Pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa - inilahcom

Jakarta - Lembaga penelitian Indonesia Research Centre (IRC) merilis hasil hitung cepat yang menempatkan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa unggul atas Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Peneliti IRC, Natalia Christanto, mengatakan kredibilitas lembaga survei dapat dilihat dari pengalaman lembaga tersebut dalam melakukan survei. “Hasil survei kami selama ini selalu mendekati hasil dari KPU,” kata Natalia, Jumat (11/7).

Pertarungan head to head dalam pilpres kemarin, juga bukan yang kali pertama dialami oleh IRC. Sebelumnya di Bali juga terjadi kompetisi head to head dalam Pilkada Bali.

Dalam pertarungan tersebut yang melakukan quick count di antaranya adalah IRC dan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC).

Hasil hitung cepat versi SMRC kala itu memenangkan pasangan nomor urut 1 Anak Agung Puspayoga-Dewa Nyoman Sukrawan dengan perolehan suara 50,31%. Sedangkan pasangan Made Mangku Pastika-Ketut Sudikerta memperoleh suara 49,69%.

Sebaliknya, berdasarkan hasil quick count Indonesia Research Center (IRC), pasangan Made Mangku Pastika-Ketut Sudikerta menang yang memenangkan pertarungan.

Pasangan Made Mangku Pastika-Ketut Sudikerta memperoleh suara 50,01%, sedangkan pasangan Anak Agung Puspayoga-Dewa Nyoman Sukrawan memperoleh 49,99%.

Hasilnya, KPU saat itu mengeluarkan hasil perhitungannya dan pasangan Pastikerta yang menang. Bukan pasangan Puspayoga-Sukrawan yang pada saat itu menang dalam hitungan SMRC.

“Rekam jejak telah membuktikan kami lebih akurat,” kata Natalia.

Di Pilkada Jateng, KPU memenangkan pasangan Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko dengan perolehan 48.82%. Hasil IRC dengan KPU lebih mendekati dengan perolehan sebesar 47.69%, dibandingkan SMRC. 50.03%.

Seperti ramai diberitakan SMRC berpihak kepada Jokowi, malah Saiful Mujani pernah melakukan kampanye negatif terhadap pasangan nomor urut satu, Prabowo-Hatta.










Jokowi Kalah di Banten Karena Gubernurnya Bukan PDIP?


Megawati, Ribka Tjibtaning, Rano Karno di acara deklarasi Jawara Banten untuk Jokowi-JK 

Tangerang, - Partai koalisi pengusung calon presiden nomor urut 2 Jokowi-Jusuf Kalla tingkat Banten memberikan sikap terkait kekalahan suara pasangan tersebut di Restoran Istana Nelayan, Kota Tangerang.

Ketua DPD PDIP Provinsi Banten Ribka Tjiptaning mengatakan, kekalahan Jokowi di Banten disebabkan tidak ada kepala daerah yang membantu dalam mendulang suara.  Sementara Rano Karno yang juga kader PDIP, meski menjabat sebagai Plt Gubernur Banten, tetap saja dianggap tidak bisa mendongkrak suara Jokowi.

“Kita tidak punya kepala daerah yang membantu. Ini kan otonomi daerah, meski kita punya Rano, tapi kalau wali kota dan bupatinya bukan orang kita tetap tidak bisa," ungkap Tjiptaning, Kamis 10 Juli 2014.

Dia menduga, para wali kota dan bupati di Banten mengerakkan camat dan lurah, dengan semua sudah terorganisir jelas. Karena para Walikota atau Bupatilah yang mampu bersentuhan langsung dengan tingkat bawah.

Meski demikian, kata Ribka, pihaknya telah berupaya menggerakkan kader untuk memenangkan Jokowi. Terbukti, sebelum pencoblosan, partai koalisi melakukan survei internal dengan prediksi perolehan suara lebih rendah 30 persen dari pasangan Prabowo.

"Namun nyatanya, setelah pencoblosan malah bertambah 13 persen. Sehingga meningkat sebanyak 43 persen," ungkapnya.

Hal ini berarti, ada perjuangan dari kader untuk meningkatkan  suara. Namun, semua itu masih hasil quick count. Ribka tetap optimis untuk hasil real count.

"Kita akan terus kawal suara, mulai dari PPS sampai ke KPU Kota/Kabupaten. Kemudian tingkat KPU Provinsi hingga KPU pusat," katanya.

Pada pertemuan tersebut pula, dibeberkan hasil quick count versi RRI. Untuk perolehan suara nasional Jokowi-JK sebesar 52,52 persen, sementara suara Prabowo-Hatta 47,48 persen.

Namun untuk Provinsi Banten, suara Jokowi-Kalla kalah dari pasangan rivalnya. Yakni dengan persentase 43,07 persen, sedangkan pasangan Prabowo-Hatta 58,93 persen.

Diam-diam Ternyata Kubu Jokowi-JK Minta Yusril Jadi Pengacaranya



Tim pemenangan pasangan calon presiden (capres) nomor urut 2 Joko Widodo-Jusuf Kalla ternyata diam-diam melobi pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra untuk menjadi pengacaranya jika hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 berujung di Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun, upaya ini ditolak dengan tegas oleh Yusril. Mantan Menteri Kehakiman itu mengatakan alasan penolakannya menjadi pengacara Jokowi-JK, karena ingin bersikap netral dalam Pilpres 2014.

"Kepada kubu Jokowi yang malam ini juga menelepon saya meminta membela mereka, saya katakan sikap saya netral," ujar Yusril dalam akun Twitternya, Rabu 9 Juli 2014.

Yusril menuturkan dalam pilpres ini dirinya tidak mempunyai kepentingan politik apapun terhadap kedua pasangan calon yang ada, baik Jokowi-JK maupun

Prabowo-Hatta.
"Pemihakan saya hanya kepada bangsa dan negara, bukan kepada orang, termasuk siapapun yang nanti jadi presiden dan wakil presiden," lanjut Yusril dalam akun Twitternya.

Sebagai bukti sikap netralnya ini, Yusril pergi meninggalkan Indonesia untuk sementara menuju Eropa. Selain didasari tidak mau terlibat perhelatan pilpres di MK, kepergiannya ke Eropa untuk menghadiri festival film internasional di Madrid, Spanyol, mulai pertengahan Juli sampai awal Agustus.

"Kepergian saya ke Eropa juga merupakan bagian sikap netral saya untuk tidak memihak salah satu pasangan capres jika mereka bersengketa di MK," ucapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar