Sabtu, 12 Juli 2014

Hukum & Kriminal

Jukir Monas Dibakar Tentara Akhirnya Meninggal Dunia

Senin, 14 Juli 2014
BREAKING NEWS: Jukir Monas Dibakar Tentara Akhirnya Meninggal Dunia
 
 
Panji Baskhara Ramadhan
Juru parkir di kawasan Monumen Nasional, Yusri (47) kini dirawat di RS Tarakan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. 
 
Jakarta, - Tengku Yusri (40) juru parkir yang dibakar di kawasan Monas pada 24 Juni lalu setelah melalui proses perawatan sekitar 3 minggu, akhirnya meninggal dunia. Dia menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Senin (14/7/2014) pukul 05.30.

Kabar tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Aceh-Jakarta (IMPAS) melalui pesan singkatnya kepada Warta Kota. "Inna lillahi wainna ilahi rajiun. Telah berpulang kerahmatullah Yusri (juru parkir) yang dibakar di Monas oleh Pratu Hery Ardiansyah," ujar Muntasir, Sekjen IMPAS.

Menurut Muntasir, meskipun sudah dirawat sekira 3 mingguan, kondisi Yusri tak kunjung membaik. "Kondisinya selama dirawat bukan makin membaik, tetapi malah makin menurun terus," ucapnya.

Akhirnya keluarga mengikhlaskan Yusri, kemudian korban meninggal di RSCM sehabis sahur tadi. Muntasir menambahkan, setelah berbagai macam proses administrasi selesai jenasah akan disemayamkan di daerah asalnya yakni, Aceh. "Iya kesepakatan keluarga, korban dibawa ke Aceh saja," katanya.

Sebelumnya, Yusri merupakan korban pembakaran yang dilakukan oknum TNI bernama Pratu Heru, anggota Tamtama Detasemen Markas Pusat Polisi Militer TNI AD. Penganiayaan itu terjadi di kawasan Monas, karena kurangnya uang setoran parkir yang diberikan Yusri kepada Heru.
 
Saat ini Pratu Heru sudah dipecat dari anggota TNI AD. Dan sedang menunggu proses pidana. Harapan keluarga korban, selain dipecat, istri Yusri berharap pelaku dihukum seberat-beratnya.


KPK Ekpose Kasus SKL BLBI Puluhan Triliun Rupiah

Minggu, 13 Juli 2014
Juru Bicara KPK Johan Budi.
Juru Bicara KPK Johan Budi.

Jakarta, -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu dekat akan melakukan ekspose kasus Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI). Ketua KPK, Abraham Samad sudah memanggil penyelidiknya terkait kasus ini.
"Kita akan proses," ujar Ketua KPK Abraham Samad, di Jakarta, Sabtu (12/7). Pihaknya tidak akan tebang pilih dalam penanganan berbagai kasus korupsi, termasuk BLBI. Kerugian negara sangat besar dalam kasus ini.
Pihaknya memastikan akan menuntaskan kasus ini sebelum masa jabatannya berakhir, "Kalau kita sudah berakhir masa jabatan, takutnya mangkrak," tegas Samad
Para Penerima SKL BLBI berdasarkan Penandatangan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) diantaranya adalah Anthony Salim dari Salim Grup (Bank Central Asia / BCA). Nilainya mencapai Rp 52,727 triliun. Surat Keterangan Lunas (SKL) terbit Maret 2004.
Ada juga Sjamsul Nursalim dari Bank Dagang Nasional Indonesia/BDNI. Nilainya Rp 27,4 triliun. Surat lunas terbit pada April 2004. Aset yang diserahkan di antaranya PT Dipasena (laku Rp 2,3 triliun), GT Petrochem dan GT Tire (laku Rp 1,83 triliun). Kejaksaan Agung menghadiahinya surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Ada juga Mohammad "Bob" Hasan dari Bank Umum Nasional. Nilainya Rp 5,34 triliun. Bos Grup Nusamba ini menyerahkan 31 aset dalam perusahaan, terrmasuk 14,5% saham di PT Tugu Pratama Indonesia. Ada juga Sudwikatmono dari Bank Surya. Nilainya Rp 1,9 triliun, SKL terbit akhir 2003. Ibrahim Risjad (Bank Risjad Salim Internasional): Rp 664 miliar, SKL terbit akhir 2003.
Isyarat pemanggilan kepada para penerima SKL BLBI sudah dikemukakan oleh juru bicara KPK, Johan Budi SP tahun lalu. "Sepanjang diperlukan pasti akan dimintai keterangan para penerima SKL. Sebut saja siapa itu debiturnya," ujar Juru Bicara KPK Johan Budi SP.

Rencana KPK Periksa Megawati Untuk Kasus BLBI Diapresiasi 

Rencana KPK Periksa Megawati untuk Kasus BLBI Diapresiasi Megawati Soekarnoputri
Jakarta, Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, menilai rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memanggil mantan Presiden Megawati Soekarnoputri terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai keputusan yang tepat.

"Kalau menurut saya tepat jika pemanggilan Mega terkait Instruksi Presiden mengenai kebijakan release and discharge dan berapa banyak pengemplang yang di release. Zaman Megawati punya banyak data soal itu," kata Mudzakir saat dihubungi, Sabtu (12/7/2014).

Kebijakan release and discharge untuk obligor BLBI, lanjut Mudzakir, berpotensi penyalahgunaan kewenangan. Pasalnya, ada indikasi surat pengampunan bagi obligor BLBI bisa diperjualbelikan.

Ditambah lagi, belum jelasnya berapa uang yang telah masuk ke negara dari kebijakan tersebut. Jika ternyata malah merugikan negara, Mudzakir mengatakan, patut diduga adanya praktik korupsi dan penyalahgunaan kewenangan.

"KPK harus menelusuri mengapa kebijakan itu dilakukan dan apakah ada penyalahgunaan kewenangan di dalamnya. Harus ditelusuri juga apakah kebijakan release and discharge menguntungkan atau merugikan negara," terangnya.

Siapapun yang menjadi Presiden nantinya, kata Mudzakir, harus berkomitmen menuntaskan kasus BLBI. "Dua calon presiden (capres) Prabowo Subianto dan Joko Widodo memiliki potensi resistensi terhadap penuntasan skandal BLBI," ujarnya.

"Kebijakan release and dicharge diberikan saat pemerintahan yang terafiliasi dengan capres nomor 2. Jadi resistensi lebih banyak di nomor 2 karena lebih banyak yang terkait," imbuhnya.

Sebelumnya, Ketua KPK Abraham Samad memastikan bahwa komisinya tidak ada hambatan untuk memeriksa Megawati terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk beberapa obligator Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

SKL dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Megawati.

"Kita bakal panggil, kita enggak masalah itu. Kalau memang kita harus panggil Megawati itu, karena KPK tidak ada hambatan yang gitu-gitu," kata Abraham, Jumat 11 Juli 2014.

Keluarga Rela Kalau Megawati Jadi Tersangka

megawati_jabar
Anggota keluarga Bung Karno menyambut baik rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KP) memeriksa Megawati Soekarnoputri berkaitan dengan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diberikan kepada sejumlah obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

SKL tersebut dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden 8/2002. Inpres ini kemudian dikenal dengan nama Release and Discharge (R&D).

“Jangan ada perlakuan khusus atau tebang pilih kasus megakorupsi yang merugikan keuangan negara,” ujar Rachmawati Soekarnoputri yang adalah adik Megawati.

Ketua Dewan Pertimbangan Partai Nasdem itu menilai, sudah sepatutnya Megawati bertanggung jawab atas kebijakannya yang membuat negara rugi ratusan triliun rupiah sampai hari ini. Perlindungan yang diberikan Mega kepada sejumlah obligor BLBI ketika itu diduga keras berdasarkan pada kepentingan yang sempit.
Rachmawati dalam perbincangan dengan redaksi Sabtu siang (12/7), mengatakan sejak awal dirinya mengecam kebijakan yang merugikan negara itu.

Satu hal yang disesalkan Rachma, ketika berada di puncak kekuasaan Mega tampaknya bersedia dijadikan kendaraan kelompok kepentingan yang ingin merampok negara dengan menggunakan topeng atau boneka Sukarno.

“Karena kasus BLBI ini negara dirugikan ratusan triliun rupiah selama bertahun-tahun. Mega harus bertanggung jawab,” ujarnya.RMOL.

Seknas Jokowi Desak Kapolri Tuntaskan Kasus Transkrip Mega-Basrief

Jaksa Agung Basrief Arief

Jakarta - Seknas Jokowi menyambut baik upaya hukum yang telah ditempuh oleh Kejaksaan Agung yang telah melaporkan kasus penyebarluasan transkrip pembicaraan palsu antara Jaksa Agung Basrief Arief dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terkait kasus korupsi pengadaan TransJakarta.

Seknas Jokowi mendesak kepada Kapolri untuk menindaklanjuti laporan Jaksa Agung Basrief Arief tersebut.

"Sehingga kasus fitnah yang cenderung menjadi kampanye hitam buat capres Joko Widodo (Jokowi) bisa segera diproses sesuai dengan ketentuan hukum dan dituntaskan," ujar Presidium Seknas Jokowi M Yamin dalam rilis yang diterima detikcom, Jumat (20/6/2014).

Jaksa Agung Basrief Arief yang merasa difitnah secara resmi telah melaporkan kasus itu ke Mabes Polri pada 19 Juni 2014. Sementara Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto juga akan melaporkan pelaku penyebaran fitnah itu ke Kepolisian karena merasa difitnah membocorkan transkrip itu.

"(Jika tidak segera ditindaklanjuti) kasus ini akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Tanah Air. Sebab pada 14 Mei 2014 lalu juga beredar surat palsu dari Gubernur DKI Joko Widodo untuk penundaan pemeriksaan kasus TransJakarta, serta instruksi Basrief untuk tidak memeriksa Jokowi," imbuhnya.

Menurut Yamin, untuk menindaklanjuti kasus ini sebenarnya sangat mudah. Sebab ada barang bukti berupa berita online surat dari aktivis Progres 98, Faizal Assegaf yang menyebarluaskan transkrip rekaman palsu tersebut. Tim hukum Joko Widodo-Jusuf Kalla juga sudah membantah tuduhan yang tidak berdasar itu.

"Tinggal Polri bergerak untuk memeriksa pelakunya, Faizal Assegaf, serta mengungkap siapa dalang di balik penyebarluasan transkrip rekaman yang menyudutkan Megawati, yang secara tidak langsung merugikan nama baik capres Jokowi yang sedang maju dalam Pilpres 2014," jelasnya.

"Kami meyakini penyebarluasan informasi palsu itu ditujukan untuk menghancurkan integritas Jokowi yang selama ini bersih dari kasus korupsi, kolusi dan nepotisme," tutupnya.

Ketua KPK Permalukan Diri Komentari UU MD3

Sabtu, 12 Juli 2014
Abraham Samad.
Abraham Samad.

Jakarta,- Wakil Ketua Pansus Rancangan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (RUU MD3), Achmad Yani mengkritik pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad yang revisi UU MD3 melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Yani meminta para pimpinan KPK tidak gampang mengumbar pernyataan yang belum mereka ketahui kebenarannya.

"Pernyataan yang sangat memalukan karena yang disampaikan KPK salah," kata Yani kepada wartawan di Jakarta, Jum'at (11/7).

Samad KPK mestinya memastikan nilai kebenaran informasi yang dia terima sebelum menyampaikannya kepada publik. Sebab informasi yang salah justru akan menciptakan kekisruhan yang tidak perlu.

"Kita berharap dari dulu aparat penegak hukum jangan terlalu banyak omong hal-hal yang tidak mereka ketahui. Jadi ada polemik," ujarnya.

Sebelumnya Ketua KPK Abraham Samad menilai revisi UU MD3 melemahkan semangat pemberantasan korupsi. Sebab menurutnya UU tersebut mengharuskan lembaga penegak hukum mendapat izin presiden apabila ingin memeriksa anggota DPR.

Padahal, dalam Pasal 145 tentang Penyidikan di UU MD3, tidak ada klausul yang menyebut penegak hukum mesti meminta izin presiden apabila ingin memeriksa anggota DPR yang tersandung kasus korupsi.

"Pasal 145 (1) Pemangilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan," bunyi Pasal 145 ayat 1.

Dalam ayat 3 Pasal 145 dijelaskan apabila KPK ingin memeriksa anggota DPR yang terkena kasus tindak pidana khusus (korupsi) tidak perlu meminta izin Mahkamah Kehormatan Dewan.

"Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. Tertangkap tangan melakukan pidana. b. Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau. c. Disangka melakukan tindak pidana khusus," demikian bunyi Pasal 145 ayat 3.




KPI Diminta Cabut Hak Siar Metro TV
Headline 
Foto: ilustrasi

Jakarta - Tim Advokasi Merah Putih melaporkan stasiun televisi Metro TV ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Stasiun televisi milik Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh itu telah menyiarkan kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) melalui program acara 'Presiden Pilihan Kita'.

"Metro TV juga menayangkan hasil quick count dari beberapa lembaga survei pada saat pilpres jam sepuluh pagi," kata Tim Advokasi Koalisi Merah Putih Syahroni di kantor KPI, Jakarta, Kamis (10/7/2014).

Menurutnya, tayangan Metro TV itu dapat meresahkan masyarakat secara luas. Metro TV juga menyiarkan secara langsung deklarasi kemenangan Pemilu 2014 yang disampaikan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Selain itu, dia juga meminta KPI memberikan sanksi yang tegas terhadap Metro TV berupa pencabutan hak siar. Metro TV telah melanggar aturan, seperti UU Pers, dan Peraturan KPI No.45 Tahun 2014 serta UU Pilpres.

"Pernyataan kemenangan hasil pilpres yang hanya mendasarkan pada hasil hitung cepat yang belum tuntas. Perhitungan perolehan suara di tingkat TPS saja belum selesai. Itu melanggar pasal 156 ayat (1) UU Pilpres," tegasnya.

Revisi UU MD3 Justru Menghalangi Proses Penegakan Hukum


Jakarta-Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) Abraham Samad mengkritik pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) pada sehari menjelang pelaksanaan pemilihan presiden 2014. Menurut dia, perbaikan beleid itu sengaja dibuat guna menjegal pemberantasan korupsi.

Samad menilai, revisi UU MD3 justru menghalangi proses penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Utamanya pengesahan ihwal pemeriksaan anggota DPR terlibat tindak pidana mesti seizin presiden. Hal itu menjadi permasalahan buat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.

"Padahal korupsi di negeri ini sudah sangat marak sehingga diperlukan tindakan yang progresif. Bukan justru membuat aturan yang melemahkan pemberantasan korupsi," kata Samad melalui pesan singkat, Kamis (10/7).

Apalagi, lanjut Samad, dengan mengesahkan UU MD3 terbukti lembaga legislatif dan eksekutif tidak menunjukkan itikad baik buat membenahi negara dari tindak pidana korupsi. "Karena kalau UU MD3 memuat aturan tentang itu, berarti DPR dan pemerintah tidak punya keinginan memberantas korupsi secara sungguh-sungguh," lanjut Samad.

Namun, Samad yakin UU MD3 tak bakal mempan menghadapi lembaganya, lantaran Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan produk hukum mengatur tindak pidana khusus (lex specialis). Dengan kata lain, kepolisian, kejaksaan, dan KPK bisa potong kompas tanpa perlu izin presiden jika memeriksa anggota DPR berurusan dengan perkara korupsi.

"UU Tipikor dan KPK tetap lex specialis, sehingga pemeriksaan anggota DPR tidak perlu izin presiden," lanjut Samad.

Dalam revisi UU MD3 pada Pasal 220 ayat 1 tercantum aturan, 'Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis presiden.'

Sementara itu dalam rapat paripurna Selasa lalu, parlemen sepakat menghapus pasal 2 berbunyi, 'Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dilakukan.'

Revisi UU MD3 Dinilai Persulit Anggota DPR Disentuh Hukum


Minggu, 6 Juli 2014
KOMPAS.com

Jakarta, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) mengkritisi revisi salah satu pasal UU MD3 yang menyebutkan pemanggilan anggota DPR harus seizin Presiden RI. Mereka menilai ketentuan tersebut cenderung membuat anggota DPR sulit disentuh proses hukum.

"Ini akan menjadi penghalang utama bagi kerja-kerja pemberantasan korupsi dan tindak pidana lain yang bersifat extraordinary crime," kata anggota koalisi sekaligus peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz di Kantor ICW, Jakarta, Minggu (6/7/2014).

Dia mengatakan, proses birokratisasi izin pemeriksaan tersebut juga akan menghambat proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan penegak hukum. Bahkan, kata Donal, hal ini juga akan membuat proses hukum terhadap anggota DPR menjadi macet.

Donal menambahkan, ketentuan tersebut juga bertentangan dengan  konstitusi dimana setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Aturan tersebut juga diskriminatif karena hanya berlaku bagi anggota DPR saja, bukan anggota DPD dan DPRD.

"Aturan ini semakin menunjukkan cara berpikir koruptif dan represif anggota DPR," ucap Donal.

Sementara itu, anggota koalisi lainnya, Ronald Rofiandri menengarai anggota DPR khawatir maruahnya terganggu dengan proses hukum, termasuk penggeledahan ihwal kasus hukum seperti korupsi.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) memberikan catatan kritis terhadap revisi Undang-Undang 27/2009 tentang MD3. Mereka mendesak agar DPR menghentikan pembahasan revisi aturan tersebut.

Dengan kata lain dikhawatirkan adanya kongkalikong antara pemerintah dan parlemen dalam proses penegakan hukum, utamanya terkait pemberantasan tindak pidana korupsi. Diperkirakan bisa saja presiden mengulur pemberian izin pemeriksaan itu sehingga proses hukumnya terkatung-katung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar