Jumat, 21 November 2014

Kemenhuk HAM: Tak Mudah Cabut UU Penodaan Agama


Tajul Muluk, pemimpin komunitas Syiah di Sampang, Madura, dipenjarakan setelah dituduh menodai agama.

Jakarta - WARA,
Pemerintah Indonesia menyatakan diperlukan kajian mendalam terlebih dulu sebelum mencabut sebuah undang-undang di tengah desakan mencabut Undang-Undang Penodaan Agama.
 
"Baik untuk mengeluarkan sebuah undang-undang baru maupun mencabut sebuah undang-undang, perlu ada kajian akademis maupun empiris. Tidak hanya sekedar wacana saja dan dengan mudah disampaikan pencabutan (undang-undang)," kata Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM, Wicipto Setiadi, kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.

Hal itu dikemukakan Wicipto menanggapi desakan lembaga pegiat hak asasi manusia, Amnesty International, yang meminta pemerintah segera mencabut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

Undang-undang itu sebelumnya pernah diajukan untuk uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada April 2010 oleh sejumlah lembaga, termasuk Imparsial, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau ELSAM, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Namun, MK menolak permohonan uji materi tersebut dengan alasan pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya bahwa pasal-pasal tersebut melanggar konstitusi, mengancam kebebasan beragama, dan bersifat diskriminatif serta berpotensi melakukan kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas.

Dipakai lebih dari 100 kali
Peneliti Amnesty International, Papang Hidayat, berpendapat Undang-Undang Penodaan Agama tidak sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia.

"Selama Orde Baru, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 sedikit sekali digunakan. Hanya ada 10 orang yang dipidana menggunakan undang-undang ini. Namun, ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai presiden, antara 2004 dan 2014, angka pemidanaan menggunakan undang-undang ini meningkat drastis menjadi 106 orang," ungkap Papang.

Salah seorang mantan terpidana akibat Undang-Undang Penodaan Agama ialah Arswendo Atmowiloto.
Pria itu pernah berkasus lantaran mempublikasikan angket tokoh dalam tabloid Monitor pada 1990 lalu.
"Waktu itu saya merilis angket yang membandingkan Nabi Muhammad dengan manusia biasa. Sebelumnya tidak pernah ada penjelasan polling seperti itu bisa dianggap menghina. Padahal, sebelumnya, majalah Tempo membuat polling yang kurang lebih sama, tak kena apa-apa," ujarnya.

Arswendo mengatakan isi Undang-Undang Penodaan Agama perlu dirinci lebih dalam.
"Mungkin harus dijelaskan secara detail, mana yang blasphemy (menghujat), mana yang termasuk penghinaan, dan mana yang tidak (termasuk dalam kategori tersebut). Kan bisa ditafsirkan luas," kata Arswendo. (BBC)

1 komentar:

  1. UU yang pemberlakuannya belum merata bagi semua agama yang ada, masih terkesan diskriminasi

    BalasHapus