Hukum Mati Bandar Narkoba, Gereja Katolik Kecam Presiden Jokowi |
Jakarta - WARA -
Gereja Katolik Indonesia mengecam sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak
grasi yang diajukan 64 terpidana mati kasus narkotika dan obat terlarang
(narkoba). Menurut Uskup Agung Jakarta Mgr Ignasius Suharyo, tak ada seorang
pun yang berhak atas hidup orang lain.
"Ajaran gereja tak mengizinkan adanya hukuman mati," ujarnya
dalam konferensi pers seusai memimpin misa di Gereja Katedral, Jalan Katedral
7B, Jakarta, Kamis, 25 Desember 2014.
Hal itu disebabkan bisa jadi terpidana mati kasus narkoba dimanfaatkan
oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab, sehingga orang yang tak bersalah
harus menjalani hukuman mati.
"Seolah-olah bandar narkoba yang dijatuhi hukuman mati harus
dieksekusi, padahal mereka belum tentu bersalah. Bisa jadi karena sistem
pengadilan di negeri ini yang buruk, sehingga karena kebodohannya seseorang
bisa dimanfaatkan oleh orang lain," kata Uskup Agung Jakarta ini.
Konferensi Wali Gereja Indonesia yang
mewadahi gereja-gereja Katolik di Indonesia menyatakan keprihatinan atas keputusan
pemerintahan Joko Widodo yang akan melakukan eksekusi mati terhadap enam orang
terpidana kasus narkoba. Eksekusi akan dilakukan Kejaksaan Agung pada
Minggu (18/1/2015) mendatang.
Pastor Siswantoko Pr dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengatakan
setidaknya ada lima alasan Gereja Katolik menolak hukuman mati.
"Alasan pertama, siapa pun tidak punya hak mencabut nyawa orang
lain karena hidup adalah anugerah dari Tuhan dan hanya Tuhan-lah yang berhak
mencabutnya," kata Pastor Siswantoko yang akrab disapa Romo Koko dalam
jumpa pers di kantor KWI, Cikini, Jakarta Pusat, Senin.
Hak untuk hidup adalah hak universal dan tidak dapat diperdebatkan lagi. Gereja menganggap, penegakan hukum di Indonesia masih diliputi persoalan. Mulai dari salah tangkap, salah hukum, hukuman yang tak sebanding dengan kesalahannya dan lain-lain. Penegakan hukum pun banyak diintervensi kepentingan politik dan mafia peradilan. Selain itu, Romo Koko menyampaikan keraguan Gereja Katolik akan sistem hukum di Indonesia yang menyatakan ke-64 terpidana mati tersebut benar-benar "gembong" narkoba.
Hak untuk hidup adalah hak universal dan tidak dapat diperdebatkan lagi. Gereja menganggap, penegakan hukum di Indonesia masih diliputi persoalan. Mulai dari salah tangkap, salah hukum, hukuman yang tak sebanding dengan kesalahannya dan lain-lain. Penegakan hukum pun banyak diintervensi kepentingan politik dan mafia peradilan. Selain itu, Romo Koko menyampaikan keraguan Gereja Katolik akan sistem hukum di Indonesia yang menyatakan ke-64 terpidana mati tersebut benar-benar "gembong" narkoba.
"Kami menyangsikan apakah ke-64 orang itu sungguh-sungguh bandar
narkoba karena sistem hukum di negara kita masih memprihatinkan. Contohnya
saja, masih banyak kasus salah tangkap, hukum kita cenderung kuat di bawah tapi
lemah di atas, apakah benar ke-64 terpidana itu bebas intervensi politik?
Jangan-jangan di antara ke-64 terpidana mati itu ada yang cuma pengguna, apakah
pemerintah bisa memastikan peradilan yang dilakukan sungguh-sungguh
transparan?" katanya.
Lebih lanjut Romo Koko menyampaikan, jika hukuman mati digunakan
pemerintahan Jokowi sebagai "shock therapy", maka Gereja
Katolik menuntut penelitian yang membuktikan hukuman mati benar-benar mampu
menurunkan tingkat kejahatan.
"Sampai hari ini sudah ada delapan orang yang dieksekusi tapi toh
belum ada efek jera juga. Di Malaysia yang secara tegas menerapkan hukuman mati
bagi kasus narkoba pun, kasus narkoba marak luar biasa di sana. Jangan dampai
ini salah sasaran, inginnya menghentikan narkoba tapi malah bunuh anak
negeri," katanya.
Tentangan keras terhadap hukuman mati
didasarkan pada keyakinan gereja bahwa tidak seorang pun berhak menghilangkan
nyawa orang lain, termasuk negara. Hak hidup adalah hak yang paling mendasar
yang diberikan oleh Sang Pencipta. Oleh sebab itu, gereja selalu membela
kehidupan. Dalam siaran pers itu disebutkan, gereja menilai, penjahat kelas
kakap sekalipun mempunyai hak untuk hidup. Negara sebagai pelindung rakyat pun
harus memberikannya.
"Hukuman mati bukanlah cara penegakan hukum yang bermartabat, hukuman mati malah untuk menghilangkan kehidupan. Apakah cara menyelamatkan jutaan orang harus mengorbankan ke-64 orang itu? Ini bukan upaya hukum yang bermartabat," katanya.
"Hukuman mati bukanlah cara penegakan hukum yang bermartabat, hukuman mati malah untuk menghilangkan kehidupan. Apakah cara menyelamatkan jutaan orang harus mengorbankan ke-64 orang itu? Ini bukan upaya hukum yang bermartabat," katanya.
Menurut KWI, hukuman mati sebenarnya
menggambarkan kegagalan suatu negara dalam membina narapidananya. Lembaga
Pemasyarakatan yang seharusnya berfungsi agar napi menyesal dan menjadi orang
baik, tidak terjadi.
"Berdasarkan hal-hal tersebut maka Gereja Katolik Indonesia
mendesak pemerintah Jokowi agar menghapuskan hukuman mati karena tidak memiliki
dampak apa-apa untuk terwujudnya penegakan hukum yang bermartabat dan keadilan
sebagaimana yang diharapkan," katanya.
Sekitar 140-an negara di Eropa, kata Romo Koko, telah menghapuskan hukuman
mati.
"Kita usulkan agar hukuman mati diganti hukuman penjara seumur hidup tanpa ada pengurangan (remisi) atau pengampunan (grasi). Dengan demikian kita memiliki dua keuntungan: negara tak perlu mencabut nyawa dan negara memberi kesempatan manusia untuk berubah, dengan ini orang akan jera. Jangan sampai hanya karena ingin menyenangkan publik, Jokowi melakukan hukuman mati," katanya.
KWI sendiri telah memperjuangkan penghapusan hukuman mati sejak empat
tahun lalu melalui "Koalisi Hati" atau gerakan koalisi Anti Hukuman
Mati. Pendekatan terhadap para terpidana hukuman mati dilakukan oleh KWI
melalui kegiatan pelayanan, termasuk di LP Nusa Kambangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar