Dari anggota Komisi Hukum DPR, Akil melenggang ke Mahkamah Konstitusi.
Ketua MK Akil Mochtar.
– Jauh sebelum terpilih menjadi Ketua
Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar pernah mengatakan tak akan pernah
tunduk pada intervensi manapun, termasuk pada tekanan dan opini publik.
Sikap antiintervensi itulah yang membuat Akil meninggalkan kursi
jabatannya di DPR untuk bergabung dengan MK pada tahun 2008.
“Di
DPR, kebebasan menyampaikan pikiran hati nurani terkekang karena terikat
dengan kebijakan partai politik. Ada sesuatu yang kontradiktif dengan
hati,” kata Akil Mochtar dalam situs pribadinya,
akilmochtar.com. Berpijak pada itu, Akil kemudian menanggalkan jubah kuning partai beringinnya, menggantinya dengan jubah hakim.
Mantan
anggota Komisi III Bidang Hukum DPR dari Fraksi Golkar itu lalu
melangkah lebih jauh, terpilih menjadi Ketua MK menggantikan Mahfud MD.
“Berdasarkan perolehan suara, Akil Mochtar terpilih menjadi Ketua MK
2013-2015,” kata Wakil Ketua MK Achmad Sodiki yang memimpin rapat pleno
pemilihan Ketua MK di gedung MK, Rabu 3 April 2013.
Itulah buah
manis dari pilihan Akil untuk bergabung dengan MK pada tahun 2008.
Ketika itu Akil terpilih menjadi hakim konsitusi 2008-2013 melalui jalur
DPR. Masa jabatan Akil sesungguhnya akan habis pada 16 Agustus 2013.
Namun sesuai ketentuan yang berlaku, masa jabatan hakim konstitusi dapat
diperpanjang satu periode lagi.
DPR pun sepakat untuk
memperpanjang masa jabatan Akil hingga tahun 2018. “Dengan segala
kerendahan hati, saya Akil Mochtar bersedia melanjutkan masa jabatan
kedua dengan dukungan dan izin dari DPR,” kata Akil di ruang rapat
Komisi III DPR, tempatnya dulu pernah bertugas.
Akil merasa lebih
cocok mengabdi kepada negara sebagai hakim konstitusi daripada sebagai
politisi di DPR. “Dulu saya anggota DPR. Saya lalu meninggalkan DPR
untuk jadi hakim karena saya memang ingin mengabdi,” ujar dia.
Antara Hukum dan PolitikSebelum
menjadi hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi, Akil malang-melintang
di dunia politik. Pria kelahiran Putussibau, Kalimantan Barat, 18
Oktober 1960 itu bergabung ke Partai Golkar pada era reformasi 1998.
Maju sebagai calon anggota legislatif dari partai beringin, Akil
berhasil duduk sebagai anggota DPR periode 1999-2004.
Akil yang
maju dari daerah pemilihan Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
tempat ia dibesarkan, menang telak di dapilnya dengan mengantongi 80
persen perolehan suara. Ia pun duduk di Komisi II DPR yang membidangi
pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agraria.
Karir
politik Akil berlanjut di Pemilu 2004. Ia kembali terpilih menjadi
anggota DPR untuk periode 2004-2009 dengan perolehan suara terbanyak
dari dapil Kalimantan Barat. Pada periode kedua masa jabatannya di DPR,
Akil kembali bersinggungan dengan bidang hukum. Ia menjabat sebagai
Wakil Ketua Komisi III DPR yang mengawasi persoalan hukum dan hak asasi
manusia.
Duduk sebagai anggota DPR tak memuaskan Akil. Tahun 2007
ia mencalonkan diri sebagai calon gubernur Kalimantan Barat, namun
kalah telak. Selanjutnya tahun 2008 ketika pendaftaran calon hakim
konstitusi dibuka, Akil ikut mendaftar. Akil pun lolos. Selanjutnya 30
Juni 2011, ia didaulat menjadi Juru Bicara Mahakamah Konstitusi.
Sebelum
berkiprah di dunia politik, Akil memang bergerak di bidang hukum. Ia
merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti Pontianak.
Akil langsung berpraktik sebagai pengacara usai menyandang gelar Sarjana
Hukum.
Karir advokat Akil dimulai sejak tahun 1984 sampai 1999.
Pendidikan hukum Akil juga tak berhenti pada gelar sarjana. Akil
melanjutkan studinya dengan mengambil pendidikan S-2 Magister Ilmu Hukum
dan S-3 Doktor Ilmu Hukum di Universitas Padjajaran, Bandung.
Berpuluh
tahun kemudian setelah meninggalkan praktik hukumnya dengan terjun ke
kancah politik, Akil tertarik kembali untuk berkiprah di bidang hukum.
Ia masuk ke Mahkamah Konstitusi karena memandang MK sebagai lembaga
independen.
Ditangkap KPKNamun baru enam
bulan menduduki kursi Ketua MK, “kiamat” menghampirinya. Semalam, Rabu 2
Oktober 2013, Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi di
rumah dinasnya di Kompleks Widya Chandra, Kuningan, Jakarta Selatan.
Akil diduga menerima suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas
di Kalimantan Tengah. Dalam operasi tangkap tangan itu, KPK menyita uang
senilai total sekitar Rp3 miliar.
Ini adalah salah satu operasi
penangkapan terbesar KPK yang dipimpin oleh penyidik KPK Novel baswedan.
Akil ditangkap bersama anggota DPR dari Fraksi Golkar Chairun Nisa dan
pengusaha bernama Cornelis. Terkait kasus yang sama di tempat terpisah,
Hotel Red Top Jakarta Pusat, KPK juga menangkap Bupati Gunung Mas Hambit
Bintih dan stafnya Dhani.
Kasus sengketa pilkada Kabupaten
Gunung Mas menurut jadwal sesungguhnya akan diplenokan di MK hari ini,
Kamis 3 Oktober 2013, dengan Akil Mochtar sebagai ketua tim panelnya.
Tapi Akil telah ditangkap. Kini sang Ketua MK, anggota DPR Chairun Nisa,
pengusaha Cornelis, dan Bupati Gunung Mas serta stafnya diperiksa
intensif di gedung KPK dengan status terperiksa.
Dua pendahulu
Akil di MK, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD, amat geram
mendengar kabar tertangkapnya Akil. “Orang bejat ada di mana-mana. Kita
jangan generalisasi pada semua hakim. Tapi dia ini pejabat tertinggi,
apalagi di bidang hukum, yang terlibat korupsi di rumah jabatan. Maka
pantas dihukum mati,” kata Jimly.
Mahfud MD pun memandang hukuman
berat pantas dijatuhkan kepada mantan koleganya itu. “Saya ingin tidak
percaya Pak Akil Mochtar tertangkap KPK. Tapi itu nyata. Kalau sudah
tertangkap tangan oleh KPK sebaiknya mengakui perbuatan saja karena KPK
pasti punya bukti yang siap dibeber. Saya ingin sekarang MK dibubarkan
saja, tapi tidak bisa karena MK berdiri atas perintah konstitusi,” kata
dia.
Dia pun menyarankan Akil untuk segera mundur dari jabatannya
sebagai Ketua MK. “Kalau sudah ditangkap KPK, belum pernah ada satupun
yang bisa lolos. Pak Akil mundur saja tanpa harus menunggu proses hukum
selesai, meniru Presiden PKS Luthfi Hasan yang mundur sehari setelah
ditangkap KPK,” kata Mahfud. (VivaNews)