Jakarta - WARA,
Kontroversi pasal 27 ayat 3 UU ITE terus bergulir.
Pasal itu adalah pencemaran nama baik. Sejak diluncurkan, beberapa kali uji
materi UU ini dilakukan ke MK. Mereka berharap pasal tersebut dicabut.
Setidaknya ada 4 kali uji materi digelar. Semuanya gagal.
Uji materi pertama, MK menolak permohonan itu. Di putusan itu, Ketua MK Mahfud
MD juga menyatakan berkas permohonan yang diajukan oleh banyak orang, termasuk
Iwan Piliang dan beberapa lembaga pers seperti Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers tidak tepat.
Menurut MK, pidana
penjara dianggap masih relevan untuk pelaku pencemaran nama baik. Ditambah,
nama baik, martabat atau kehormatan seseorang adalah kepentingan yang
dilindungi hukum dan konstitusi.
Uji materi pada 2009, MK menolak dengan alasan norma pada Pasal 27 ayat 3 dan
Pasal 45 ayat 1 UU ITE tetap konstitusional dan tak bertentangan dengan nilai
demokrasi, HAM dan prinsip negara hukum. Menurut MK kala itu, perbedaan ancaman
hukuman antara pasal 45 ayat 1 UU ITE dengan pasal 310 KUHP sangat wajar.
Pasalnya, kata MK, distribusi dan penyebaran informasi melalui media elektronik
relatif lebih cepat, jangkauannya juga luas, dan memiliki dampak massif.
Wahyudi Jafar, peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
menyatakan, pasal pencemaran nama baik tidak ditemukan di awal RUU ITE ini
dibentuk. Yang ada hanya beberapa tindak pidana kejahatan komputer, perjudian
dan pornografi.
“Dalam proses pembahasan, beberapa bulan kemudian, di tengah-tengah, muncul
pidana pencemaran nama baik ini, dimasukkan dalam klausul UU ITE,” ujarnya.
Ketua Indonesia Online Advocacy (IDOLA), Megi Margiyono menganggap, sejak awal,
UU ITE telah melenceng dari tujuan dasarnya. Semula UU ITE dibuat untuk
melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya, baik aksi hacker, penipuan
online, e-commerce palsu. Namun kenyataannya, malah UU ITE tidak
digunakan untuk itu semua, hamper 95 persen kasus UU ITE terkait dengan
pencemaran nama baik.
“Problemnya menerjemahkan kata informasi. Orang ahli hukum dan DPR itu nggak
tahu.Sebenarnya informasi itu lex informatika. Ini UU tentang informatika dan
komputer, bukan UU tentang pengetahuan informasi. Kalau kita belajar cyber law,
itu hukum komputer. DPR mengartikan informasi itu berita, sehingga nggak
nyambung antara informasi dan transaksi elektronik. Ini klusternya saja sudah
beda,” papar Megi.
Meski telah 4 kali ditolak, pengguna internet yang tergabung dalam beberapa
asosiasi tidak mau menyerah begitu saja. Mereka dikabarkan sedang menyiapkan
langkah baru untuk mengajuan uji materi ke-5.
“Judicial review yang kelima sedang diupayakan. Celah hukum lain
adalah berupaya ini jadi perhatian MA, untuk bisa menerbitkan SEMA atau Perma.
Dasarnya, kasus ITE sudah terlalu banyak dan ada ketidakadilan dalam prosesnya.
SEMA bersifat menghentikan proses, menganjurkan agar jangan pakai pasal 27 ayat
3. Atau kalau pakai Perma, itu dianggap sudah sah untuk tak gunakan pasal itu,
sampai diperbaiki,” ujar Damar Juniarto dari Southeast Asia Freedom of
Expression Network (Safenet).
Bahkan ada upaya juga dari ELSAM untuk mengajukan uji materi dengan melibatkan
pihak-pihak terkait, baik mantan korban jerat UU ITE dan para asosiasi terkait
internet dan informasi elektronik. Mereka akan mengajukan dalil baru yang lebih
sulit dan bisa meyakinkan MK untuk bisa melakukan pengujian kembali.
“Pemohonnya adalah mereka yang pernah dijerat UU ITE, KUHP yang melakukan
tindak pidana dengan menggunakan sarana elektronik.Kami gunakan perbedaaan
perlakuan masing-masing korban. Problem kami kalau dulu argumen
konstitusionalnya sudah kami gunakan," kata dia.
Sementara pasal 60 UU MK mengharuskan mengajukan argumen konstitusional baru.
Ini yang sulit. Harus dicari celahnya untuk yakinkan MK untuk diuji kembali.
"Kebetulan kami sudah lakukan assesment penerapan UU ITE untuk dua isu,
penggunaan pasal 27 ayat 3 dan soal tindakan blokir sewenang-wenang. Dari studi
kami itu digunakan untuk ajukan kembali pengujian,” ujar Wahyudi.
Sayangnya, Wahyudi sendiri belum bisa menentukan kapan pengajuan itu akan
dilakukan.
Dicabut atau Kurangi Hukuman
Judicial Review merupakan langkah penting yang bisa dilakukan untuk merevisi
pasal karet di UU ITE tersebut. Kuncinya hanya ada di hakim untuk bisa
mengeluarkan keputusan guna mengubah kandungan dalam UU tersebut, khususnya di
pasal 27 ayat 3. Hanya hakim yang memiliki peran penting dalam hal ini.
“Dalam penegakan hukum, polisi sangat menjalankan apa yang tertulis. Polisi
juga tak boleh menolak aduan, dia harus melayani dan wajib meneruskan. Nah
hakim, selain menguji suatu kasus, dia juga berwenang dalam temuan hukum atau
yurisprudensi. Termasuk melihat hukum ini relevan atau tidak. Moratorium
sebaiknya di hakim,” ujar Damar.
Menurut Damar, pasal ini sepertinya sengaja diselundupkan karena usulan awal
untuk jerat hukum ini hanyalah 3 tahun. Dalam perjalanannya, dalam RUU ini,
angka itu dianggap tidak cukup menjerat hingga akhirnya ditambahlah menjadi 6
tahun. Kebanyakan mereka mengusulkan dua opsi terhadap pasal ini, diubah atau
dicabut.
“Diharapkan ini dicabut atau dipindahkan. Pencemaran nama baik harusnya menjadi
perdata saja. Jadi ketika seorang merasa tercemar nama baiknya oleh orang lain
tinggal gugat saja orang itu. Tinggal bagaimana ada batas yang jelas, bagaimana
mengukur nilai kerugian materi, immateriilnya. Ini lebih clear,” jelas
Wahyudi.
Donny BU dari ICT Watch mengamini. Kata dia, ada baiknya jika memang sulit
untuk mencabut atau memindahkannya ke perdata, hukuman dalam pasal itu bisa
dikurangi.
"Sayangnya, susah dibalikin ke KUHP karena internet dianggap hal yang
baru. Jadi satu-satunya solusi adalah mengurangi hukuman. UU ini mirip oknum
polisi yang ngumpet di tikungan. Kalau tidak sengaja melanggar rambu, tetap
ditilang," kata dia.
Opsi ideal, harus ada UU tersendiri yang mengurus masing-masing ranah. Misalnya
e-commerce, maka harus dibuat UU e-commerce demikian juga
informatika dan perlindungan data komputer. “Opsi ideal kembalikan ke UU e-commerce.
Nggak ngurusi informasi yang bukan ranahnya," kata Megi.
Jika mau kompromi ya pasalnya disamakan KUHP, agar tidak diskriminasi.
"Saya menghina di koran kena 1 tahun dan hina internet kena 6 tahun.
Sementara sekarang kecenderungannya online, cetak pun punya versi online,” kata
Megi.
Panic Button untuk Korban Jerat UU ITE
Dengan beralihnya pemerintahan ke kekuasaan baru, sebagian besar penggiat
internet melihat adanya secercah harapan. Menkominfo baru diharap mau bergerak
untuk merevisi aturan ‘balas dendam’ di pasal 27 ITE ini. Beruntung, Menkominfo
bersikap reaktif dengan menggelar berbagai diskusi melibatkan beragam asosiasi
penggiat internet. Hal ini dianggap sebagai hal yang positif.
“Kita punya peluang, ada Menkominfo baru, apakah dia melihat internet ini
sebagai ancaman atau tidak. Itu hal yang bisa mendukung sebagai masyarakat,”
ujar Damar.
Namun begitu, lanjut dia, yang harus diperbaiki adalah pola pikir dengan tidak
memandang internet sebagai ancaman tapi sebagai bagian dari demokrasi. Itu
merupakan pandangan dunia internasional terhadap internet.
“UU ITE harus segera direvisi untuk mengadopsi apa yang terjadi. Kita harus
meniadakan pembiaran itu. Harus tetap dilawan,” katanya.
Megi pun menyatakan persetujuannya untuk memoratorium penggunaan pasal 27 ayat
3 ini. Dia menyarankan agar moratorium ini dilakukan sampai UU tersebut bisa
direvisi dengan benar, atau setidaknya tak berlaku lagi.
“Pidana itu jalan terakhir. Sekarang malah menjadi premium pretitum,
dipidanakan dulu. Premium petitum itu digunakan ketika cara-cara lain tak
bisa menyelesaikan, ada damage. MA harus membuat surat edaran kepada para hakim
agar kasus UU ITE jangan ditangani,” katanya.
Ditambahkan Damar, saat ini Safenet dan asosiasi lainnya telah bekerja sama
untuk membantu korban jerat UUT ITE. Sebelumnya mereka membuat kelompok tekanan
publik dengan harapan korban jerat ITE bisa dibebaskan. Ambil contoh Prita,
Benhan, Ervani.
Tapi, jelas Damar,
tekanan publik ini dianggap melelahkan jika korbannya semakin banyak. Akhirnya,
mereka pun membuat sistem baru yang disebut dengan panic button.
Dijelaskannya, ini merupakan sebuah sistem yang bisa dilakukan oleh semua
pegiat internet untuk bersatu ketika terjadi kasus ITE. Nantinya, semua lembaga
yang terlibat dalam isu kebebasan ekspresi melakukan tugasnya berdasarkan
urutan.
"Pada saat yang sama dilakukan dokumentasi. Kedua, siapkan advokasi
hukumnya, dan non hukumnya. Lalu disiapkan platform teknik button-nya,"
ujarnya.
Cara ini dibuat dengan sistem yang lebih integratif. Modelnya sekarang ini baru
laporan lewat telepon. Namun nanti akan via online. Cukup mengisi formulir pada
internet. "Korban akan langsung mendapat bantuan mulai dari lawyer sampai
dukungan publik," ujar Damar.
Menanggapi desakan yang menghantam Kementerian Kominfo untuk segera mencabut
pasal karet itu. Menkominfo baru,Rudiantara, mengaku sedanng menjajaki usulan
revisi UU tersebut. Penjajakan usulan ini diambil setelah ia berdikusi dengan
banyak kalangan masyarakat.
“Kami ini bicara dengan masyarakat. Opsinya adalah men-judicial review atau
revisi pasal 27, terutama tentang lamanya hukuman pidana yang dijatuhkan. Bahwa
jadi atau tidak, kan kita lihat prosesnya di DPR dan masyarakat,” ujar RA,
sapaan akrab Rudiantara. (VIVAnews)