|
Jokowi berkunjung ke pabrik Proton. |
WARA - Saat berkunjung ke Malaysia, Presiden Jokowi dan PM Mohammad
Najib menyaksikan penandatanganan kesepahaman atau MoU antara Proton Holding
dengan PT Adiperkasa Citra Lesatari. Proton diwakili Mahathir Muhammad, sedang
PT Adiperkasa diwakili Hendropriyono. Dua perusahaan ini sepakat bekerja sama
menjajaki pembangunan pabrik mobil Proton di Indonesia.
Berita tersebut langsung disambut heboh media sosial. Selanjutnya, seakan sudah
jadi kebiasaan, begitu sesuatu menjadi heboh di media sosial, maka media
mainstream pun ikut meramaikannya. Maka meluncurlah berbagai macam analisis,
spekulasi, kritik, protes, dan tentu saja caci maki.
Mengapa Jokowi dikecam dan disalahkan? Tentu hal ini ada kaitannya dengan
sentiman anti Malaysia yang tumbuh subur di benak sebagian masyarakat kita.
Jadi rasanya aneh, tidak masuk akal, sekaligus menyakitkan, jika tetangga yang
suka bikin masalah itu, tiba-tiba diajak kerja sama membuat pabrik mobil
Malaysia di Indonesia.
Namun spekulasi bahwa Jokowi akan mengembangkan mobil nasional rasa Malaysia
itu segera reda, setelah beberapa menteri menjelaskan duduk perkara, bahwa MoU
Proton Holding dengan PT Adiperkasa adalah bisnis biasa antar perusahaan
swasta. Ketika Presiden Jokowi dan PM Najib menyaksikan penandatangan MoU, itu
sama dengan Presiden SBY dan Presiden Obama yang menyaksikan penandatangani MoU
antara Lion dengan Boeing.
Indonesia membuka diri bagi siapa saja yang ingin investasi. Semua investor
diberlakukan sama. Tidak akan ada perlakukan khusus seperti proyek mobil
nasional zaman Orde Baru. Presiden Jokowi sendiri ikut menegaskan soal itu.
"Saya sampaikan itu [proyek] bisnis ke bisnis, jadi ditanyakan ke
sana," ujar Jokowi saat mendarat di Halim Perdanakusamah, Selasa (10/2)
dini hari.
Ya, penjelasan Jokowi tentu melegakan, tetapi tetap menyisakan beberapa
pertanyaan. Mengapa dia membiarkan dirinya menyaksikan penandatanganan MoU
antara perusahaan mobil Malaysia yang sudah ternama dengan perusahaan Indonesia
yang tidak dikenal? Tidak malukah Jokowi jika kelak diketahui bahwa PT
Adiperkasa Citra Lestari adalah perusahaan bodong atau perusahaan papan nama
saja?
Kemungkinan itu sangat mungkin terjadi. Sebab, para pimpinan perusahaan
otomotif yang tergabung dalam Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor
Indonesia), mengaku tidak kenal rekam jejak PT Adi Perkasa Citra Lestari dalam
industri otomotif. Bahkan, belakangan diketahui, perusahaan itu benar-benar
perusahaan baru, yang alamat kantornya saja masih mendompleng di kantor
notaris.
Jokowi tentu mengetahui hal itu. Nah, jika sudah tahu bahwa PT Adiperkasa Citra
Lestari adalah perusahaan baru, yang orang-orangnya tidak punya rekam jejak di
industri otomotif, mengapa Jokowi mau menyaksikan penandatangan MoU Proton
dengan perusahaan tersebut? Ya, semua ini karena faktor Hendropriyono.
Hendro adalah catatan negatif bagi Jokowi. Catatan itu bahkan sudah muncul saat
namanya tersebut sebagai tim kampanye Jokowi-JK. Catatan itu terkait
dengan masa lalunya. Hendro adalah komandan militer yang paling bertanggungjawab
atas peristiwa pembantaian ratusan orang di Talangsari Lampung pada zaman Orde
Baru. Nama Hendro juga sering dikait-kaitkan dengan pembunuhan aktivis hak
asasi manusia, Munir.
Wajar saja kalau para aktivis hak asasi manusia menjadikan Hendro sebagai
faktor buruk dari (pencalonan) Presiden Jokowi. Untuk meredam kritik keras para
aktivis itu, anggota tim transisi Andi Widjajanto bahkan pernah memberi janji.
Katanya, orang-orang dekat Jokowo yang dituduh pelanggar hak asasi, siap
mempertanggungjawabkan apa yang dituduhkan ke pengadilan. Tapi, banyak yang
percaya janji itu hanya lip service saja.
Yang terjadi justru sebaliknya, pengaruh Hendro di istana semakin kuat saja.
Tanpa banyak pertimbangan, tiga hari setelah dilantik, Jokowi minta Panglima
TNI mengangkat Brigjen Muhammad Andika Prakarsa sebagai Komandan Paspampres.
Andika yang kemudian berpangkat mayjen adalah menantu Hendro. Beberapa waktu
lalu, anak Hendro, yakni Diaz Hendropriyono juga diangkat menjadi komisaris PT
Telkom.
Hendro terang-terangan membela Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri. Dia
ikut mendesak Presiden Jokowi untuk segera melantik Budi Gunawan setelah DPR
menyetujuinya. Di balik kampanye Plt Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto untuk
menjatuhkan Ketua KPK, Abraham Samad, juga tersebut Hendro sebagai master mind.
Kian kuat pengaruh Hendro di Istana sesungguhnya tidak lepas dari hubungan
dekat Hendro dengan Megawati, Ketua Umum PDIP. Habungan itu terjalin jauh hari
sebelum Presiden Megawati mengangkat Hendro sebagai Kapala BIN pada
2002.
Setelah Megawati terpilih mejadi ketua umum partai dalam Kongres Luar Biasa PDI
1993, rezim militer Orde Baru menetangnya. Barbagai cara dilakukan, mulai dari
membayar para pengikut untuk berkhianat, membuat kongres dan pengurus
tandingan, hingga menyerbur kantor PDI di Jalan Diponegoro. Dalam situasi
seperti itu, Pangdam Jaya berani ambil risiko melindungi dan menyelamatkan
Megawati. Pandam Jaya itu adalah Mayjen Hendropriyono.
Mungkin bukan semata soal balas jasa, ketika menjadi presiden, Megawati
mengangkat Hendro priyono menjadi Ketua BIN. Tetapi juga soal kepercayaan.
Hendro dikenal memiliki integritas dan kompetensi tinggi. BIN zaman Hendro
mampu mendeteksi dan memetakan penyelesaian konflik etnis dan agama di Maluku
dan Kalimantan Barat.
Namun sebagai mantan petinggi militer Orde Baru, Hendro tidak bisa melepaskan
dirinya dari perisitiwa Talangsari. Sebagai mantan Ketua BIN, Hendro juga tidak
bisa melepaskan diri dari labirin kasus Munir. Ini sudah menjadi pengetahuan
umum, dan sudah menjadi tuntutan publik. Megawati mestinya tidak bisa menutup
mata tentang soal ini, apalagi Presiden Jokowi. (Merdeka.com)