Susi
Pudjiastuti saat menjadi pembicara kunci
peringatan 10 tahun tsunami Aceh
di
Bentara Budaya Jakarta, Rabu (17/12/2014).
|
WARA - "Saya sangat marah! Saya bersumpah dengan segala sumpah yang ada, suatu hari kalau membuat kebijakan, bayangkan anak atau keluargamu yang sedang menderita! Saya tidak bisa menahan marah."
Siang itu, Rabu (17/12/2014), Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bertutur dengan berapi-api soal laut dan tsunami. Susi saat itu menjadi pembicara kunci peringatan 10 tahun tsunami Aceh di Bentara Budaya Jakarta.
Dengan penuturan yang lebih banyak menggunakan bahasa Inggris, Susi sesaat kehilangan kata-kata dan suaranya terbata ketika tiba pada kutipan di atas. Sesaat ada jeda, meski tak lama. Matanya berkaca-kaca.
Petugas dari Bentara Budaya Jakarta sampai tergopoh-gopoh mengambilkan air minum dari luar ruangan tempat Susi berbicara. Susi sedang bercerita tentang tsunami di Pangandaran—"my village", sebut dia soal tempat itu—ketika sesi emosional dan berapi-api itu terjadi.
Pangandaran di tepi selatan Jawa Barat diterjang tsunami pada 17 Juli 2006, belum lewat dua tahun dari tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004.
Hanya karena status
"Kalau tidak salah, hari ke-17 atau ke-20 dari tsunami, Rumah Sakit Banjar kelas C masih penuh orang antre dari Pangandaran untuk amputasi," tutur Susi.
"Pak Kuntoro (Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, Kuntoro Mangkusubroto) telepon saya, ada USS Hospital mendarat di Nias untuk pengobatan."
Susi pun sontak meminta Kuntoro mengirimkan kapal itu membantu para korban tsunami di Pangandaran. Namun, tunggu punya tunggu, dua hari berlalu, tak ada satu pun langkah dibuat untuk mengirimkan kapal rumah sakit itu ke Pangandaran.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi
Pudjiastuti
saat membuka Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh
di Bentara Budaya
Jakarta, Rabu (17/12/2014),
|
Susi sampai melontarkan pertanyaan, "Apakah kalau orang Aceh kehilangan keluarganya, beda dengan yang dirasakan di Pangandaran?"
Susi mempertanyakan pula, "Kalau (musibah di) Aceh dan Yogyakarta bisa dapat perlakuan sebagai bencana nasional, tetapi tidak kalau itu Pangandaran?" Padahal, ujar dia, status itu memberikan perlakuan yang jauh berbeda kepada para korban, sejak dari penanganan musibah hingga pemulihan ekonomi setelah bencana.
"Ya, 1.600 (korban tewas tsunami Pangandaran) memang tak bisa dibandingkan dengan tsunami Aceh, tetapi Pangandaran itu kawasan kecil, semua perahu rusak," tutur Susi.
Menurut
Susi, para nelayan di kawasan ini butuh dua tahun untuk bisa kembali punya
perahu, satu tahun untuk punya jaring, dan aktivitas perikanan di sana praktis
berhenti total. "Pabrik kami total shut-down, recovery
hanya alami (tanpa intervensi pemerintah)."
Tak ada pula pemutihan utang para nelayan yang menjadi korban musibah itu, lagi-lagi karena statusnya bukan bencana nasional seperti halnya tsunami Aceh atau gempa di Yogyakarta.
Tsunami Pangandaran dalam kenangan Susi
Selama hampir 1,5 jam, Susi bertutur soal laut, bahari, dan tsunami, dari rencana semula Susi hanya akan berbicara selama setengah jam karena kepadatan agendanya.
Susi bertutur, kabar soal tsunami yang menghantam kampung halamannya itu dia terima selepas ashar. "Saya ditelepon nelayan, 'Ibu, saya dikejar air, air tinggi hitam'," kenang dia. "Ah kamu becanda, jawab saya. 'Iya, ini dikejar air, Bu.' Lalu blup, blup, telepon mati."
Tak berselang lama, lanjut Susi, Hatta Rajasa, yang waktu itu adalah Menteri Perhubungan, meneleponnya, bertanya dia ada di mana seraya mengabarkan ada tsunami di Pangandaran.
Saat itu juga, Susi meminta Hatta memberikan izin bagi pesawatnya untuk lepas landas dari Palembang atau Padang selepas pukul 20.00 WIB. "Karena bandara itu tutup pukul 19.00 WIB," kata dia.
Ada satu persoalan lagi, ujar Susi. Pesawatnya tak bisa mendarat di Pangandaran sebelum matahari terbit.
"Saya telepon KSAL, minta bantuan bagaimana caranya agar bisa ada cahaya di lokasi pendaratan di Pangandaran. Saya katakan, saya tidak bisa duduk-duduk (transit) di Jakarta hanya untuk menunggu matahari terbit di Pangandaran."
Dengan dua "telepon darurat" itu, Susi pun lepas landas dari Palembang selewat pukul 21.00 WIB, dan tiba di Pangandaran pada pukul 03.00 WIB, 12 jam dari tsunami Pangandaran.
Berbekal pengalamannya saat "tak sengaja" turun tangan membantu tsunami Aceh, dia siapkan makanan dan peralatan penanganan jenazah para korban tsunami. "Sampai sekarang saya tak ingat bagaimana saya lakukan semuanya. Refleks, dari pengalaman di Aceh."
Tempat penyimpanan ikan perusahaannya adalah salah satu peralatan yang "beralih fungsi" untuk menyimpan jenazah para korban. "Alhamdulillah, dari 1.600-an jenazah, hanya 125 yang tak bisa diidentifikasi karenanya."
Sebuah masjid yang baru rampung dibangun Susi, hanya sebulan sebelum tsunami, menjadi salah satu tempat pengungsian yang dituju warga Pangandaran.
Kebijakan harus punya keberpihakan
Sesudah bencana ini terjadi, Susi mengatakan, banyak warga Pangandaran yang datang kepadanya dan mengatakan, "Kalau saja saya dengar omongan ibu dua bulan lalu, saya tidak akan kehilangan anak (dan) warung."
Menurut Susi, sepulang dari
aktivitasnya membantu penanganan tsunami Aceh, dia berulang kali meminta warga
Pangandaran untuk memindahkan warung mereka yang berada tepat di bibir pantai. Tak ada pula pemutihan utang para nelayan yang menjadi korban musibah itu, lagi-lagi karena statusnya bukan bencana nasional seperti halnya tsunami Aceh atau gempa di Yogyakarta.
Tsunami Pangandaran dalam kenangan Susi
Selama hampir 1,5 jam, Susi bertutur soal laut, bahari, dan tsunami, dari rencana semula Susi hanya akan berbicara selama setengah jam karena kepadatan agendanya.
Susi bertutur, kabar soal tsunami yang menghantam kampung halamannya itu dia terima selepas ashar. "Saya ditelepon nelayan, 'Ibu, saya dikejar air, air tinggi hitam'," kenang dia. "Ah kamu becanda, jawab saya. 'Iya, ini dikejar air, Bu.' Lalu blup, blup, telepon mati."
Tak berselang lama, lanjut Susi, Hatta Rajasa, yang waktu itu adalah Menteri Perhubungan, meneleponnya, bertanya dia ada di mana seraya mengabarkan ada tsunami di Pangandaran.
Saat itu juga, Susi meminta Hatta memberikan izin bagi pesawatnya untuk lepas landas dari Palembang atau Padang selepas pukul 20.00 WIB. "Karena bandara itu tutup pukul 19.00 WIB," kata dia.
Ada satu persoalan lagi, ujar Susi. Pesawatnya tak bisa mendarat di Pangandaran sebelum matahari terbit.
"Saya telepon KSAL, minta bantuan bagaimana caranya agar bisa ada cahaya di lokasi pendaratan di Pangandaran. Saya katakan, saya tidak bisa duduk-duduk (transit) di Jakarta hanya untuk menunggu matahari terbit di Pangandaran."
Dengan dua "telepon darurat" itu, Susi pun lepas landas dari Palembang selewat pukul 21.00 WIB, dan tiba di Pangandaran pada pukul 03.00 WIB, 12 jam dari tsunami Pangandaran.
Berbekal pengalamannya saat "tak sengaja" turun tangan membantu tsunami Aceh, dia siapkan makanan dan peralatan penanganan jenazah para korban tsunami. "Sampai sekarang saya tak ingat bagaimana saya lakukan semuanya. Refleks, dari pengalaman di Aceh."
Tempat penyimpanan ikan perusahaannya adalah salah satu peralatan yang "beralih fungsi" untuk menyimpan jenazah para korban. "Alhamdulillah, dari 1.600-an jenazah, hanya 125 yang tak bisa diidentifikasi karenanya."
Sebuah masjid yang baru rampung dibangun Susi, hanya sebulan sebelum tsunami, menjadi salah satu tempat pengungsian yang dituju warga Pangandaran.
Kebijakan harus punya keberpihakan
Sesudah bencana ini terjadi, Susi mengatakan, banyak warga Pangandaran yang datang kepadanya dan mengatakan, "Kalau saja saya dengar omongan ibu dua bulan lalu, saya tidak akan kehilangan anak (dan) warung."
"Saya ingatkan, jangan bangun di situ, agak jauh sedikit. (Di sini) bisa jadi kuburan massal kalau ombak datang, saya lihat itu di Aceh. Namun, bagaimana ya, masyarakat tidak bisa dilarang...."
Menurut Susi, tsunami sejatinya mengajarkan banyak hal bagi orang-orang yang mau mencermatinya, dari empati sampai dengan antisipasinya.
Susi bertutur banyak soal laut dan tsunami ini, sebelum menyuarakan visi dan misi kerjanya pada pemerintahan sekarang. Dari semua kisah yang dia alami sepanjang hidupnya, termasuk dua tsunami, Susi menyatakan bahwa kebijakan pemerintah harus memiliki keberpihakan yang jelas pada kepentingan bangsa dan negara.
"Policy harus ada keberpihakan. Yang komplain, silakan saja. Namun, policy memang tak akan bahagiakan 100 persen para stakeholder," ujar Susi tentang sederet kebijakan yang dia kebut dalam dua bulan masa jabatannya.
Ketika dipanggil untuk menjadi menteri, satu hal yang Susi sampaikan kepada Presiden Joko Widodo adalah, bila dia ditugaskan untuk membuat perubahan, maka tindakannya tak akan membuat semua orang senang.
"Ketika semua bilang oke, saya terima pekerjaan ini," ujar Susi lugas. "Sumpah" Susi saat meradang di tengah penanganan tsunami Pangandaran mendapat kesempatan untuk pembuktian.(KOMPAS.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar