Lalu lintas ponton batubara di Sungai Mahakam saat difoto
dari Kawasan Selili, Samarinda tampak lengang. Foto diambil 2 Desember
2014.
|
Salah satu yang menjadi korban tersebut adalah Samsyudin. Ia mengaku menjadi korban PHK secara sepihak oleh sebuah perusahaan tambang di Samarinda tempat dia kerja selama ini. Dia dipecat bersama empat orang temannya.
"Saya di- PHK oleh perusahaan tambang, tempat saya bekerja sebelumnya. Kini saya sedang mencari pekerjaan," ucapnya singkat, bercerita kepada TRIBUNKALTIM.CO di Samarinda, Senin (22/12/2014).
Merasa tidak mendapatkan keadilan dalam PHK tersebut, dia akhirnya melaporkan PHK itu ke serikat pekerja tempat dia bernaung. Dia melaporkan PHK dari perusahaannya itu bersama empat orang lainnya.
Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Bambang Setiono, mengatakan ada sekitar tujuh perusahaan tambang yang melakukan PHK sepihak. Sejumlah pekerja yang menjadi anggota serikat pekerja kemudian melaporkannya.
"Ada sejumlah anggota kami yang di- PHK dari perusahaan penambangan, tempat mereka bekerja. Ada sekitar tujuh perusahaan yang terpantau kami melakukan PHK sejumlah pekerjanya," jelasnya.
Dia juga menuturkan jumlahnya lebih banyak dari yang melaporkan tersebut. Namun, dia belum melakukan pendataan berapa total pekerja yang di PHK oleh perusahaan-perusahaan tambang.
"Kita baru mendapatkan laporan dari anggota kami. Ada yang dari ketua pengurus serikat pekerja di perusahaan itu dan ada pula dari konfirmasi ke pihak manajemennya," imbuhnya.
Menanggapi pemecatan itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Samarinda, Sucipto Wasis, membenarkan bahwa saat ini banyak usaha tambang yang lagi merosot kondisinya dan mulai tutup. Di sisi lain usaha tambang mengandalkan sumber alam yang tidak dapat diperbarui.
"Dalam kondisi yang menurun karena yang ditambang akan segera habis, mulai muncul pengurangan karyawan. Macam-macam gejolak di perusahaan juga timbul," tuturnya.
Menghadapi fenomena itu, Sucipto berencana akan melakukan pendekatan ke perusahaan-perusahaan pertambangan. Pasalnya selama ini perusahaan tambang tidak melakukan perencanaan untuk mengurangi terjadinya PHK.
"Perusahaan tambang itu dapat membuat usaha lain sebelum bahan tambangnya habis. Dengan usaha lain itu, pekerja lokal dapat dialihkan untuk bekerja setelah usaha pertambangannya selesai. Jenis-jenis usaha baru ini yang mungkin kita akan tawarkan," jelasnya.
Mestinya Wajib Melaporkan
Saat ditanya mengenai jumlah pekerja tambang yang telah di PHK perusahaan tempat mereka bekerja, Sucipto mengaku tidak memiliki data secara pasti. Pasalnya, perusahaan-perusahaan tambang itu tidak melaporkannya.
"Mereka tidak melaporkan. Padahal, PHK itu merupakan salah satu poin yang wajib dilaporkan perusahaan ke Disnaker, termasuk jumlah tenaga kerjanya. Hal ini tentu berhubungan dengan banyaknya perusahaan yang ditutup," terangnya.
Ada sekitar 34 perusahaan tambang yang terdaftar di Disnaker Kota Samarinda, sedangkan jumlah perusahaan tambang di Samarinda diperkirakan sampai 60 buah. Namun, selama ini perusahaan tambang yang telah mendapatkan ijin dari pemerintah daerah tidak seluruhnya melapor ke Disnaker setempat.
"Padahal sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 1982, setiap perusahaan yang berdiri wajib untuk melapor ke Disnaker, seperti jumlah tenaga kerja, jaminan kesehatan atau ketenagakerjaan sudah diberikan atau belum. Karena selama ini perijinan perusahaan tidak melewati Disnaker," pungkasnya. (TRIBUNKALTIM.CO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar