Jakarta - WARA - Eksekusi mati enam terpidana narkoba yang dilakukan
Kejaksaan Agung beberapa hari lalu kembali memicu pro dan kontra hukuman mati
yang diberlakukan di Indonesia. Para pegiat HAM meminta agar pemerintah hapus hukuman
mati, sementara tidak sedikit pula yang mendukung penuh Indonesia tetap
memberlakukan hukuman mati.
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh salah satu orang yang paling galak mendukung penuh hukuman mati diterapkan di Indonesia. Paloh bahkan juga mendukung jika tak hanya bandar narkoba yang dihukum mati, tapi juga koruptor dan pelaku kejahatan lainnya.
Paloh menjelaskan, prosedur hukuman mati yang dimiliki pemerintah sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut dia, hukuman mati bukan baru wacana tapi sudah dirancang dalam tatanan hukum di Indonesia.
"Setuju sekali (koruptor dihukum mati). Karena memang ada hukumnya untuk itu. Kecuali jika ini didiskusikan meningkatkan hukuman seumur hidup menjadi hukuman mati, nah kita boleh perdebatkan. Hukuman mati itu sudah ada sistemnya, sudah melekat dalam pranata hukum yang kita miliki. Kalau baru wacana nah itu kita boleh berdebat," kata Paloh di kantor DPP Partai NasDem, Jakarta Pusat, Rabu, (21/1).
Tidak hanya itu, bahkan Paloh terang-terangan mengkritik para pegiat HAM yang menolak hukuman mati diterapkan pemerintah. Dengan alasan, hukuman mati tidak sejalan dengan penegakan Hak Asasi Manusia.
Paloh menyatakan, orang-orang semacam itu hanya berlagak human rights. Dia mengakui HAM memang harus ditegakkan, namun disisi lain hukuman mati juga harus dihormati sebagai tatanan hukum yang sudah berlaku.
"Nah terbalik bangsa ini. Kita sok Human Rights. Saya bilang ya human rights memang kita hargai, tapi hukum itu juga kita hargai itu," terang dia.
Bagi bos Metro TV itu, bandar narkoba dan koruptor memang sudah sepantasnya diganjar hukuman mati. Dia malah menyebut hukum di Indonesia sakit, jika tak laksanakan hukuman mati.
"NasDem mendukung untuk tetap dilaksanakan. Jelas itu kedaulatan kita, itu upaya hukum yang telah dilakukan habis. Selesai toh. Dari meminta PK, dan grasi habis, kan kita biarkan. Negara apa kita ini kalau tidak melaksanakan? Kan sakit benar itu," kata dia.
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh salah satu orang yang paling galak mendukung penuh hukuman mati diterapkan di Indonesia. Paloh bahkan juga mendukung jika tak hanya bandar narkoba yang dihukum mati, tapi juga koruptor dan pelaku kejahatan lainnya.
Paloh menjelaskan, prosedur hukuman mati yang dimiliki pemerintah sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut dia, hukuman mati bukan baru wacana tapi sudah dirancang dalam tatanan hukum di Indonesia.
"Setuju sekali (koruptor dihukum mati). Karena memang ada hukumnya untuk itu. Kecuali jika ini didiskusikan meningkatkan hukuman seumur hidup menjadi hukuman mati, nah kita boleh perdebatkan. Hukuman mati itu sudah ada sistemnya, sudah melekat dalam pranata hukum yang kita miliki. Kalau baru wacana nah itu kita boleh berdebat," kata Paloh di kantor DPP Partai NasDem, Jakarta Pusat, Rabu, (21/1).
Tidak hanya itu, bahkan Paloh terang-terangan mengkritik para pegiat HAM yang menolak hukuman mati diterapkan pemerintah. Dengan alasan, hukuman mati tidak sejalan dengan penegakan Hak Asasi Manusia.
Paloh menyatakan, orang-orang semacam itu hanya berlagak human rights. Dia mengakui HAM memang harus ditegakkan, namun disisi lain hukuman mati juga harus dihormati sebagai tatanan hukum yang sudah berlaku.
"Nah terbalik bangsa ini. Kita sok Human Rights. Saya bilang ya human rights memang kita hargai, tapi hukum itu juga kita hargai itu," terang dia.
Bagi bos Metro TV itu, bandar narkoba dan koruptor memang sudah sepantasnya diganjar hukuman mati. Dia malah menyebut hukum di Indonesia sakit, jika tak laksanakan hukuman mati.
"NasDem mendukung untuk tetap dilaksanakan. Jelas itu kedaulatan kita, itu upaya hukum yang telah dilakukan habis. Selesai toh. Dari meminta PK, dan grasi habis, kan kita biarkan. Negara apa kita ini kalau tidak melaksanakan? Kan sakit benar itu," kata dia.
Dia juga menyebut pegiat HAM yang
menolak hukuman mati hanya karena penegakan HAM juga orang sakit. Dia malah
meminta semua bandar narkoba dan penjahat dihukum mati.
"Berdalih untuk kemanusiaan itu sakit lagi. Enggak runtuh negara ini. Rakyat juga enggak ada urusan gembong narkoba atau penjahat dihukum mati. Kalau bisa dieksekusi mati semuanya, secepatnya kalau upaya-upaya hukum sudah selesai. Itu NasDem," tambahnya.
Dia mengatakan, para penegak HAM di Indonesia terasa sumir lantaran tidak menyuarakan persoalaan lain yang juga membelit kehidupan rakyat.
"Ini kita upaya hukum kita persoalkan yang grasi narkoba segala macam. Tapi masalah yang lain enggak disentuh. Enggak ada penegakan HAM, kita dengar teriak ketika banyak bus hancur kecelakaan pesawat menewaskan banyak orang," pungkasnya.
Seperti diketahui, baru-baru ini pemerintah melakukan eksekusi mati terhadap enam terpidana bandar narkoba di Boyolali dan Cilacap. Mereka adalah Namaona Denis (48) warga Negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira (53) warga Negara Brazil, Daniel Enemua (38), warga Negara Nigeria, Ang Kim Soei (62), Tran Thi Bich Hanh (37), warga Negara Vietnam, dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia, warga Negara Indonesia. (Merdeka.com)
"Berdalih untuk kemanusiaan itu sakit lagi. Enggak runtuh negara ini. Rakyat juga enggak ada urusan gembong narkoba atau penjahat dihukum mati. Kalau bisa dieksekusi mati semuanya, secepatnya kalau upaya-upaya hukum sudah selesai. Itu NasDem," tambahnya.
Dia mengatakan, para penegak HAM di Indonesia terasa sumir lantaran tidak menyuarakan persoalaan lain yang juga membelit kehidupan rakyat.
"Ini kita upaya hukum kita persoalkan yang grasi narkoba segala macam. Tapi masalah yang lain enggak disentuh. Enggak ada penegakan HAM, kita dengar teriak ketika banyak bus hancur kecelakaan pesawat menewaskan banyak orang," pungkasnya.
Seperti diketahui, baru-baru ini pemerintah melakukan eksekusi mati terhadap enam terpidana bandar narkoba di Boyolali dan Cilacap. Mereka adalah Namaona Denis (48) warga Negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira (53) warga Negara Brazil, Daniel Enemua (38), warga Negara Nigeria, Ang Kim Soei (62), Tran Thi Bich Hanh (37), warga Negara Vietnam, dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia, warga Negara Indonesia. (Merdeka.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar