“Agama
bukan lembaga, tapi sebuah tuntunan perilaku hidup.
Ketika sudah dilembagakan
akan dengan mudah terjadi konflik."
Dewi Kanti dari komunitas keyakinan
Sunda Wiwitan menunjukkan sejumlah permasalahan tentang keyakinan yang memberi
dampak bagi anak-anak ke depan karena ketidakadilan negara mengayomi
keberadaannya.
|
Dewi Kanti, pegiat dan
penghayat Sunda Wiwitan menilai sebuah agama seharusnya tidak dilembagakan,
tapi dijadikan sebuah tuntunan perilaku hidup karena jika sudah dilembagakan
akan rentan konflik.
“Agama bukan lembaga, tapi sebuah
tuntunan perilaku hidup. Ketika sudah dilembagakan akan dengan mudah terjadi
konflik. Banyak tali-temali kepentingan yang akhirnya esensi ajaran agama
menjadi tidak murni lagi,” kata dia saat ditemui satuharapan.com di
Lembaga Bantuan Hukum, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta pada Sabtu (22/11).
Sunda Wiwitan, menurut Dewi, selama
ini telah mendapat labelisasi dari negara dan masyarakat sebagai sebuah agama
yang ingin dilembagakan.
“Negara menganggap kami ini ingin
dilembagakan. Kami menyadari bahwa secara sistematis kami ingin dihabisi dari
tarik-menarik kepentingan kapitalisme yang bermain mata dengan oknum aparatur
negara dengan kedok beragama,” kata dia.
Tarik-menarik kepentingan ini tampak
ketika penganut Sunda Wiwitan, kata Dewi, dipaksa untuk menulis enam agama yang
diakui negara di kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“Penulisan di KTP kami macam-macam.
Saya sendiri dipaksa untuk menuliskan Islam, yang lain ada yang Katolik,
Konghucu, dan segala macam. Kami merasa selama ini ada unsur pemaksaan dan
penggiringan agar kami menyerah dan akhirnya harus menutupi jati diri kami,”
Dewi menjelaskan.
Kalaupun pada kolom agama
dikosongkan, penganut Sunda Wiwitan akan berhadapan dengan label ateis dan
komunis.
Labelisasi ini pada akhirnya membuat
para penganut Sunda Wiwitan memilih bungkam dan sembunyi karena takut dengan
tekanan sosial. Ini yang membuat penganut tersebut hingga saat ini tidak dapat
dideteksi secara administratif.
“Secara administratif, penganut
Sunda Wiwitan banyak yang sembunyi karena takut dengan tekanan sosial.
Seharusnya negara hadir menjadi pembela. Negara tidak boleh absen dalam
kesetaraan warga negara,” kata Dewi.
Dewi dan penganut Sunda Wiwitan
lainnya mengaku hanya ingin hidup dengan damai di tanah tempat mereka tinggal
tanpa pengkotak-kotakan agama.
“Seberapapun kami, inilah kami yang
bertahanan. Kami hanya ingin hidup merdeka lahir dan batin di tanah sendiri,”
ujar Dewi. (SATUHARAPAN.COM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar