Banyak aturan
soal kebebasan beragama, tapi lemah implementasi.
IBADAH
DI DEPAN ISTANA - Jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia
melakukan ibadah Paskah
di depan Istana Negara, Jakarta, beberapa waktu lalu.
|
Jakarta - WARA,
Sebuah foto
terpampang di auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, Senin (17/11). Tidak
ada yang istimewa sebenarnya jika melihat foto itu dari kejauhan.
Foto itu
memperlihatkan gambar sebuah kertas berwarna yang di kanan bawahnya berisi
kolom jawaban. Di atas kolom tertera pertanyaan: Kau ingin menuliskan harapanmu
yang lain?
Seorang anak,
yang tidak diketahui namanya, menuliskan jawaban atas pertanyaan itu. Ia
menulis, “Pengen pulang ke desaku.”
Pertanyaan itu dijawab jujur oleh seorang anak yang terpaksa ikut orang
tuanya mengungsi akibat konflik antarwarga di Sampang, Madura, Jawa Timur.
Ada juga foto
lain yang mengungkap harapan seorang anak bernama Zulfa. “Zulfa takut dipukul
sama orang yang membakar rumahku, hangus semuanya, dapur serta seragam
(sekolah).”
Kedua foto itu
hanyalah sepotong mozaik dari serangkaian foto konflik di sejumlah wilayah di
Indonesia, yang terekam oleh manusia. Foto-foto itu dipamerkan sejumlah lembaga
hak asasi manusia (HAM) dalam menyambut Hari Toleransi Internasional, 16
November.
Hingga kini,
Indonesia masih me-nyimpan bara konflik yang sewaktu-waktu bukan tidak mungkin
dapat memorak-porandakan keharmonian masyarakat. Sudah sejak lama bara itu
dibiarkan tidak padam di dalam masyarakat.
Hal itu
setidaknya terlihat di Yogyakarta, Agustus. Daerah yang selama ini dikenal
paling “toleran” dibandingkan daerah lain di Indonesia ternoda aksi kekerasan.
Sejumlah orang menyerang rumah yang tengah menggelar ibadah. Beberapa orang
menjadi korban akibat penyerangan itu, termasuk sang pemilik rumah.
Hal yang terjadi
di Yogyakarta tentu saja mengagetkan banyak orang, sekaligus menimbulkan
kekhawatiran terutama dari pegiat HAM. Anggota Sub Komisi Mediasi Komisi
Nasional (Komnas) HAM, Siti Noor Laila menilai, kekerasan berlatar belakang
agama yang terjadi di Yogyakarta menunjukkan, intoleransi di kota itu sudah
berada di ambang batas.
Kasus Meningkat
Wahid Institute
adalah lembaga yang dalam beberapa tahun terakhir aktif memantau dan mencatat
peningkatan jumlah kasus intoleran di Indonesia. Sejak 2009, terjadi
peningkatan besar jumlah kasus intoleran di Indonesia.
Pada 2009,
jumlah kasus intoleran ada 121, kemudian meningkat menjadi 245 kasus pada 2013.
Tahun itu, Wahid mencatat, setidaknya terdapat dua kasus kekerasan beragama di
Yogyakarta yang pelakunya adalah kelompok masyarakat.
Koordinator Desk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM, Jayadi Damanik menyebutkan,
kekerasan beragama terus terjadi karena negara membiarkan hal tersebut. Tidak
hanya itu, negara terlibat sebagai pelaku kekerasan beragama.
”Pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi dalam kategori forum internum dan forum externum yang pelakunya tidak hanya aktor nonnegara, tetapi juga institusi negara, baik berupa tindakan aktif (by commission) maupun tindakan pembiaran (by omission),” ujar Jayadi.
Dilihat secara
keseluruhan, Jawa Barat merupakan wilayah yang paling rawan dan berbahaya dalam
hal toleransi. Tahun 2013, Wahid Institute mencatat, ada 46 kasus kekerasan
beragama yang dilakukan kelompok masyarakat dan 40 kasus dengan pelaku aparatur
negara. Disusul daerah Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah sebagai wilayah
yang rawan bagi hidupnya toleransi antarumat beragama. Empat wilayah ini paling
sering terjadi kekerasan berlatar belakang agama.
Contoh saja
kekerasan dan penutupan rumah ibadah yang dialami jemaah Ahmadiyah dan warga
kristiani di sejumlah tempat di Jawa Barat dan Jakarta. Ada juga kekerasan yang
dialami warga Syiah di Sampang, Madura.
Implementasi Lemah
Uli Parulian
Sihombing dari Indonesian Legal Resource Center mengatakan, pemerintah
Indonesia banyak mengeluarkan dan menyetujui peraturan internasional terkait
HAM, terutama tentang kebebasan beragama. “Banyak aturan kebebasan beragama,
tapi implementasinya lemah. Tidak ada satu pun yang dilaksanakan hingga saat
ini. Padahal, kita (Indonesia) masuk ke Human Rights Council,” tutur Uli.
Malah Uli
menjabarkan, pelaku kekerasan beragama dari kelompok “aktor negara” di
Indonesia selama ini berdasarkan laporan Wahid Institute adalah pemerintah
daerah (pemda). Aparatur pemerintah disebut juga sebagai pelaku karena banyak
mengeluarkan aturan-aturan yang mengebiri hak kebebasan warga dalam menjalankan
agama dan kepercayaan masing-masing.
Direktur Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Febi Yonesta menyatakan, penegakan hukum oleh
aparat masih lemah terutama terhadap pelaku kekerasan. “Kami menemukan motivasi
politik di balik pembiaran atas aksi-aksi intoleransi,” ucapnya.
Namun, Kepala
Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Ronny Franky Sompie, membantah
aparat penegak hukum membiarkan terjadinya kekerasan beragama. Menurutnya,
kepolisian telah berupaya mencegah agar kekerasan beragama tidak terjadi.
Ronny
mencontohkan, ada upaya kepolisian mencegah kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah
di Kuningan, Jawa Barat, pada 2010. “Terlihat upaya preventif dari yang
dilakukan aparat kepolisian, seperti mendeteksi dini atas potensi kekerasan,”
tutur Ronny.
Direktur
Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag), Machasin mengakui, pemerintah
telah mengabaikan agama atau kepercayaan lain di luar enam agama yang selama
ini diakui negara dalam undang-undang yang disahkan pada 1965. Machasin
menjelaskan, Undang-Undang (UU) Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyebutkan, agama di Indonesia adalah
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
“Agama lain
boleh hidup, tapi selama ini tidak mendapat bantuan seperti enam agama (yang
resmi diakui). Kondisi ini dirasakan tak cukup. Agama lain juga perlu
perlindungan sehingga kami berusaha bisa memperluas perlindungan dan pelayanan
untuk agama di luar enam itu,” katanya.
Jayadi
mengingatkan, pemerintah harus bersungguh-sungguh menjalankan kewajiban
konstitusi. Konstitusi, Jayadi mengatakan, mengamanatkan negara menjamin
kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa pengecualian. (Sumber : Sinar Harapan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar