"Tak
ada kejelasan kepemimpinan antikorupsi dalam pemerintahan."
Penilaian itu disampaikan Achmad Nurmandi, Direktur JK School of Government, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu, 24 Januari 2015.
Menurutnya, dalam situasi ketegangan KPK versus Polri seperti sekarang, peran Presiden sebagai Kepala Negara sangat dibutuhkan. Sebab KPK dan Polri adalah dua lembaga penegak hukum. Polisi juga lembaga yang memiliki tanggung jawab memberantas korupsi, seperti halnya KPK.
“Namun demikian sangat disayangkan sikap normatif yang diambil Presiden justru menimbulkan persepsi di masyarakat tidak adanya kejelasan kepemimpinan antikorupsi dalam pemerintahan saat ini,” kata Nurmandi.
Dia berpendapat, tampak sekali pelembagaan antikorupsi di Indonesia belum mencapai titik kemampuan yang baik. Itu ditandai dengan masih adanya kelembagaan internal lembaga Kejaksaan dan Kepolisian sebagai lembaga penegakan hukum.
“Dengan demikian, pada jangka sepuluh sampai lima belas tahun ke depan diperlukan kepemimpinan politik sebagai pihak yang dapat menuntun penguatan lembaga-lembaga antikorupsi, yang dijalankan oleh lembaga Kepresidenan,” katanya.
Konflik KPK dengan Polri yang kini diibaratkan sebagai Cicak versus Buaya jilid dua, kata Nurmandi, justru dimanfaatkan para koruptor. Para koruptor menggunakan momentum itu untuk menghindari dan mempertahankan diri agar lepas dari kasus-kasus korupsi yang ditangani dua lembaga itu.
“Para koruptor akan bertepuk tangan melihat dua institusi penegak hukum ini saling berkelahi sehingga berbagai kasus korupsi yang harus ditangani menjadi terbengkelai. Ujungnya para pelaku koruptor akan dengan mudah untuk lari dari jeratan korupsi,” ujarnya. (Viva)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar