Jakarta - WARA - Fenomena Joko Widodo bergulir bak bola salju sampai kemudian mantan wali kota Solo itu jadi presiden pilihan rakyat. Dalam pidato kemenangan, Jokowi memberi janji pro pemberantasan korupsi. Namun kini sang fenomena seolah tak bernyali menuntaskan Cicak vs Buaya Jilid II, ada apa dengan Jokowi?
Sengkarut persoalan KPK-Polri jilid dua ini memang dilihat banyak pihak berawal dari ketidaktegasan Presiden Jokowi. Semua bermula saat Jokowi menunjuk Komjen Budi Gunawan jadi calon tunggal Kapolri. Ledakan pertama terjadi saat KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan menjadi tersangka kasus rekening gendut, sehari sebelum uji kelayakan di DPR digelar.
Seperti menutup mata dan telinga, DPR meloloskan Komjen Budi Gunawan untuk dilantik menjadi Kapolri. Kali ini KIH dan KMP seperti kompak mendukung Komjen Budi jadi Kapolri. Hanya PD yang berdiri tegak menjaga janji pro pemberantasan korupsi. Saat dukungan rakyat terhadap KPK menguat, para politikus bergerak di luar kehendak rakyat, mereka mendukung Komjen Budi segera dilantik jadi Kapolri.
Posisi ini rupanya membuat Jokowi dilematis, apalagi petinggi KIH seperti Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan Ketum NasDem Surya Paloh hingga kini terus mendesak Komjen Budi segera dilantik menjadi Kapolri. Jokowi sebenarnya punya hak prerogatif untuk mengambil keputusan tegas, sayang Jokowi memilih mengambil sikap aman.
Sembari menunda pelantikan Komjen Budi jadi Kapolri, Jokowi menegaskan itu tak bermakna pembatalan. Sementara dia memerintahkan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti untuk sementara menjalankan tugas Kapolri. Langkah ini memang sempat menuai pujian, namun demikian pada akhirnya hanya mengulur waktu sebelum ledakan berikutnya terjadi. Apalagi di tubuh Polri juga ada rotasi di posisi Kabareskrim yang diduduki Komjen Budi Waseso yang banyak disebut sebagai orang dekat Komjen Budi.
Tanpa campur tangan Jokowi yang selama ini dikenal pro pemberantasan korupsi, serangan demi serangan dari KPK terus berlangsung. Pada Kamis (22/1) kemarin serangan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menggelar konferensi pers mengungkap 6 kali pertemuan Ketua KPK Abraham Samad dengan petinggi PDIP terkait penjaringan cawapres Jokowi.
Dalam konferensi pers itu Hasto mengungkapkan kekesalan Abraham yang gagal jadi cawapres Jokowi dan menuding Komjen Budi jadi penyebabnya. Melalui ‘serangan’ keras ini Hasto seolah ingin menarik benang merah penetapan tersangka Komjen Budi adalah bagian dari dendam kesumat sang Ketua KPK.
Serangan terhadap KPK tak berhenti di situ, pada Jumat (23/1/2015) istilah ‘serangan balik Polri’ benar-benar terjadi. Bareskrim Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto setelah mengantar anaknya ke sekolah. Jokowi masih terdiam tapi rakyat langsung bergerak, dukungan terhadap KPK bergelora di mana-mana. Dalam sekejap ratusan aktivis pro KPK berbondong-bondong ke Gedung KPK di Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, menyuarakan penyelamatan KPK.
Deretan tokoh antikorupsi seperti sosiolog Imam Prasodjo, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar yang merupakan moderator debat capres di Pilpres 2014 silam dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Ada pula advokat senior Todung Mulya Lubis serta pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Saldi Isra yang menyuarakan dukungannya.
Para mantan pimpinan KPK pun ikut berkumpul malam itu di Gedung KPK. Mulai dari Ery Riyana Hadjapamengkas, Mas Achmad Santosa, M Jasin, hingga Busyro Muqoddas. Mereka sempat berkumpul bersama dan memberikan pernyataan pers terkait keprihatinan mereka atas kondisi KPK.
Selain deretan tokoh antikorupsi, Gedung KPK juga kedatangan Yenny Wahid, Romo Magnis Suseno, dan Butet Kertaradjasa. Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad juga datang untuk memberikan dukungan bagi KPK.
Karena desakan rakyat akhirnya siang harinya Jokowi mengumpulkan petinggi KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung di Istana Bogor. Setelah itu Jokowi menggelar konferensi pers untuk meredam kisruh cicak vs buaya Jilid II yang semakin memanas.
“Dan tadi saya sampaikan terutama pada Ketua KPK dan Wakapolri, sebagai Kepala Negara saya meminta pada institusi Polri dan KPK, memastikan bahwa proses hukum yang ada harus obyektif dan sesuai dengan aturan UU yang ada. Tadi saya juga meminta, sebagai Kepala Negara, agar institusi Polri dan KPK tidak terjadi gesekan dalam menjalankan tugas masing-masing. 2 hal itu tadi yang saya sampaikan dan kita berharap semuanya juga, media, terutama, menyampaikan hal-hal yang obyektif,” begitu pernyataan resmi Jokowi dari Istana Bogor
Sayangnya sikap Jokowi tersebut dinilai masih sangat normatif. Para aktivis antikorupsi di KPK sebenarnya berharap Jokowi mengambil sikap tegas untuk menyelamatkan KPK. Pertanyaan besar tentang ‘ada apa dengan Jokowi’ pun semakin kuat.
Akhirnya atas desakan rakyat dan lobi pimpinan KPK yang dimotori oleh Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja, akhirnya Bambang Widjojanto dibebaskan pada Sabtu dini hari. Seandainya Jokowi menggunakan hak prerogatifnya secara mandiri dan lebih tegas dalam penyelamatan KPK mungkin saja kegaduhan ini tak perlu terjadi.
Padahal semua pihak memuji pidato Jokowi saat pelantikan di gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin 20 Oktober 2014 lalu. Jokowi mengibaratkan sebagai nakhoda yang dipercaya oleh rakyat. Dia mengajak semua rakyat naik ke atas kapal bernama ‘Republik Indonesia dan berlayar menuju Indonesia Raya’.
“Kita akan kembangkan layar yang kuat. Kita akan hadapi semua badai dan gelombang samudera dengan kekuatan kita sendiri. Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan konstitusi,” kata Jokowi dalam pidatonya tersebut.
Jika Jokowi berpegang teguh kepada komitmennya saat dilantik jadi presiden itu, semestinya Jokowi harus tegas dalam mengambil keputusan. Hak prerogatif presiden tak boleh diganggu pihak manapun termasuk ketua umum partai pendukungnya.
“ Sebagai Panglima Tertinggi, Jokowi harus tegas, jangan terjebak kepentingan pragmatis gitu dong! Kenapa harus takut Megawati? Kenapa harus takut sama mitra koalisi? Jangan takut. Dia kan panglima teringgi. Dia harus memback up KPK! “ tuntut Rachmawati Soekarnoputri. Bukan tak mungkin tuntutan ini juga mewakili suara rakyat Indonesia.
Dulu Jokowi mengumbar janji, kini saatnya Jokowi memberi bukti. Selamatkan KPK! (detik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar