Sarpin |
Pengamat hukum Asep Rahmat Fajar mendesak MA sebagai pengadilan tertinggi untuk melakukan koreksi terhadap putusan PN yang membuka celah hukum status tersangka bisa dipraperadilankan.
“Hal tersebut tidak hanya bertentangan dengan KUHAP tapi juga akan menimbulkan kekacauan hukum ke depan,” kata Asep yang juga mantan juru bicara KY ini, kepada detikcom, Senin (23/2/2015).
PN Jaksel memang tidak menerima pengajuan kasasi yang diajukan KPK terkait putusan praperadilan Komjen Budi Gunawan. Pilihannya kini adalah Peninjauan Kembali (PK) ke MA.
“Pilihan KPK untuk memilih kasasi terlebih dahulu bisa dimengerti karena question of law tentang boleh tidaknya status tersangka dipraperadilankan merupakan kewenangan MA sebagai judex jurist di tingkat kasasi. Namun apabila upaya ini tidak berhasil, mau tidak mau KPK harus melanjutkan dengan upaya hukum PK,” paparnya.
Namun di sisi lain, KY dan MA harus menelusuri apakah hakim yang memutus kasus BG melakukan pelanggaran kode etik atau tidak. Sebab, jika melihat putusan yang terjadi, maka diduga yang dilakukan hakim bisa terkategori pengabaian hukum acara yang dilarang oleh prinsip disiplin tinggi dan profesional.
“Memang terbukti ada tidaknya pelanggaran kode etik tidak bisa mengubah putusan hakim, tapi setidaknya hal itu akan memperterang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan hakim dalam melakukan tugasnya dan apa konsekuensinya apabila melanggar hal itu,” tambah Asep yang kini sedang menempuh studi di Tillburg Law School Belanda ini.
Sarpin Effect kini sudah mulai muncul. Tersangka kasus dugaan korupsi dana haji Suryadharma Ali ikut mengajukan gugatan praperadilan kepada KPK lewat PN Jaksel. Dia memang hanya tertawa saat ditanya apakah hakimnya ingin Sarpin Rizaldi, namun keinginannya sama, meniru apa yang sudah diputuskan Sarpin pada komjen Budi Gunawan.
Di Banyumas, seorang tersangka korupsi bernama Mukti Ali juga mengajukan gugatan praperadilan ke kepolisian. (detik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar