Pengamat Politik dari Universitas Tirtayasa Serang,
Dahnil Anzar Simanjuntak, menilai, polemik Budi Gunawan yang berlanjut menjadi
konflik KPK versus Polri, harusnya jadi momentum bagi Jokowi untuk menunjukkan
dia independen dan tidak dikendalikan oleh siapa pun.
"Itu yang sekarang dinanti dan jadi harapan publik.
Namun, hingga saat ini, harapan publik tersebut tidak kunjung hadir,"
katanya di Jakarta, Minggu 25 Januari 2015.
Bagi Dahnil, penyebabnya sederhana. Jokowi tidak
berani kehilangan "tahta" dan fasilitas kepresidenan yang dia miliki,
karena menganggap mereka-mereka itu adalah pusat kekuasaan yang bisa
menggulingkannya.
Sementara itu, Pengamat Politik dari UIN Syarif
Hidayatullah, A. Bakir Ihsan mengatakan lepas dari bayang-bayang partai,
sepertinya sulit bagi Jokowi, karena ia harus bermitra dengan partai dan
kehadirannya sebagai Presiden juga tak lepas dari partai.
" Semakin menjadi dilema bagi Jokowi karena
Jokowi bukan "orang penting" di PDIP. Karena itu, langkah terbaik
bagi Jokowi adalah membangun kedekatan dengan semua partai dengan mempublikkan
dan mengkomunikasikan semua kebijakannya dengan semua partai dan kekuatan civil
society, termasuk media massa," katanya.
Bakir melihat, selama ini Jokowi cenderung melawan
arus civil society. Terakhir dengan "memaksakan" Budi Gunawan
sebagai Kapolri yang dipersoalkan oleh kalangan civil society.
"Sekaranglah saatnya Jokowi mendengarkan suara
publik. Bila tidak, suara publik bakal balik menggerusnya. Padahal, dukungan
publik adalah 'benteng terakhir' Jokowi ketika ia dihadapkan pada badai tekanan
politik," ujarnya. (Viva)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar