Suasana Ibukota Tokyo, Jepang, di malam hari.
|
Undang-undang ini akan diserahkan ke DPR pada 26 Januari mendatang, seperti dilansir The Japan News, Sabtu (10/1). Isinya adalah pembayaran gaji harus disesuaikan dengan kinerja, bukan jam kerja. Dengan demikian, jatah cuti tahunan 10 hingga 20 hari saban tahun bisa maksimal diambil karyawan.
Beleid ini bahkan mematok perusahaan secara proaktif menentukan kapan karyawan diarahkan menggunakan jatah cuti dengan tanggungan yang menjadi haknya.
Data terakhir menunjukkan sepanjang 2013 sebanyak 52,7 persen pekerja tidak sempat mengambil cuti. Jumlah cuti dengan tanggungan cuma 48,8 persen dari total angkatan kerja. Artinya, terlalu banyak yang gila kerja di Negeri Matahari Terbit.
Adapun dalam survei Institut Ketenagakerjaan Jepang, beban kerja tinggi bukan satu-satunya alasan rendahnya jumlah orang mengambil cuti. Penyebab lain adalah budaya malu.
Disebutkan dalam laporan itu, "tak sedikit karyawan di Jepang segan pada teman sekantor kalau mereka libur terlalu lama."
Dengan beleid baru ini, pemerintah Jepang berharap jumlah karyawan memaksimalkan jatah cuti tahunan menjadi 70 persen dari total angkatan kerja. Target ini hendak dicapai pada 2020. (Merdeka.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar