Jakarta - WARA - Pernikahan siri atau pernikahan tanpa
melibatkan pencatatan hukum dinyatakan sebagai pelanggaran hukum oleh
Kementerian Agama. Alasannya, pernikahan siri melanggar Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1946 yang menyatakan bahwa setiap pernikahan harus diawasi oleh pegawai
pencatat pernikahan.
Menurut Machasin, biaya pernikahan siri justru jauh lebih mahal. Untuk setiap pernikahan diperlukan biaya sekitar Rp 2,5 juta hingga Rp 7 juta. Padahal, biaya pernikahan di KUA gratis. Mempelai hanya perlu membayar biaya operasional sebesar Rp 600.000 untuk memanggil petugas pencatatan sipil jika pernikahan tidak di KUA.
Direktur Urusan Agama Islam dan Syariah Kemenag Muchtar Ali menuturkan, umumnya, pernikahan siri dikarenakan keinginan berpoligami. Pernikahan dengan alasan tersebut sulit dilakukan di KUA karena memerlukan berbagai dokumen resmi. Jadi, pernikahan siri sebagai jalan pintas.
”Berdasarkan penemuan tersebut, Kemenag telah memecat pegawai-pegawai negerinya yang terbukti melakukan pernikahan siri sehingga menimbulkan efek jera,” ujarnya.
Kemenag juga bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat, kantor-kantor wilayah, dan KUA untuk menyosialisasikan larangan pernikahan siri. Target utama sosialisasi itu ialah perempuan.
Rugikan perempuan
Ketua Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan Yuniyati Chufaiza mengatakan, perempuan hanya
mendapat dampak negatif dari pernikahan siri. Pertama, perempuan kehilangan hak
mendapat perlindungan sebagai seorang istri karena statusnya tidak tercatat
secara sah. Akibatnya, mereka rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Di
samping itu, perempuan berisiko ditinggal suami tanpa menerima tunjangan.Yuniyati juga menjabarkan kasus-kasus pernikahan siri yang diadukan ke Komnas Perempuan. Rata-rata pernikahan tersebut dilakukan untuk berpoligami dengan mempelai perempuan yang masih remaja.
”Pernikahan siri adalah pintu masuk ke pernikahan dini. Padahal, pernikahan dini membuat anak kehilangan hak-haknya. Dampak negatifnya ialah meningkatnya angka kematian ibu. Hampir setengah dari ibu yang meninggal ketika melahirkan ialah perempuan-perempuan berusia remaja yang menikah dalam usia dini,” tutur Yuniyati.
Komisioner Komnas Perlindungan Anak Indonesia, Susanto, mengungkapkan, anak-anak yang lahir dari pernikahan siri rentan ditinggal oleh orangtua mereka, terutama ayah. Anak-anak itu juga tidak memiliki akta kelahiran atau memiliki akta yang menyebutkan nama ibu saja. Akibatnya, anak kesulitan bersekolah karena untuk masuk sekolah diperlukan akta kelahiran.
”Anak bisa juga tidak mendapat hak-hak pengasuhan dari ayah karena tidak ada bukti yang mengaitkan mereka sebagai darah daging,” ucapnya. (KOMPAS.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar