WARA - Presiden Joko Widodo
berpotensi melakukan pelanggaran Undang-undang terkait otonomi desa. Presiden
Jokowi harus menyadari bahaya politisasi implementasi UU Desa ini bukan hanya
akan mencederai janji politiknya untuk memberikan otonomi desa yang hakiki tapi
juga potensial mencelakakan dirinya.
"Karena dengan berpihak pada nafsu politik PDIP di mana Kemendagri tetap mengelola sebagian urusan desa, DPR RI harus mempersoalkannya, karena Jokowi berpotensi melanggar UU bahkan melanggar Konstitusi, khususnya Pasal 18 B (2) UUD Negara RI," ujar Direktur Riset SETARA Institute, Jakarta dan Koordinator Sahabat Keadilan Desa (SaKa Desa), Ismail Hasani dalam pernyataannya, Senin(5/1/2014).
Menurut Ismail, apabila Jokowi tetap terbitkan Perpres Satuan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Kementerian Desa yang masih membagi urusan desa pada dua kementerian (Kemendagri dan Kemendes PDT dan Transmigrasi), bukan tidak mungkin Perpres itu dibatalkan Mahkamah Agung melalui mekanisme uji materiil, karena bertentangan dengan UU Desa.
Untuk itu, lanjut Ismail, demi otonomi desa, agar desa bisa membangun secara mandiri dan tidak lagi menjadi alas kaki kekuasaan semata, penyelenggaraan UU Desa harus terintegrasi dalam satu Kementerian yakni Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi.
Lebih jauh Ismail menjelaskan, implementasi UU Nomor 6/2014 tentang Desa akan mengalami polemik dan ketegangan politik. Sebab, potensi benefit politik yang akan diperoleh dari pemberlakuan UU yang akan menjadi landasan penyaluran dana desa.
Menurutnya, hingga akhir 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum juga memenuhi janjinya menyelesaikan penataan kementerian baru, khususnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDT).
"Berlarutnya penyusunan tersebut potensial menunda pemberlakuan UU Desa dan penyaluran dana desa," kata Ismail.
Ia mengatakan, berlarutnya penyusunan SOTK ini karena tarik menarik kepentingan antara elite partai politik. Dimana, PDI Perjuangan (PDIP) dan Nasdem berkepentingan agar sebagian urusan desa, khususnya urusan pemerintahan desa tetap ditangani oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"Sedangkan Kementerian Desa berpedoman pada UU Desa yang menegaskan agar urusan desa ditangani secara holistik oleh Menteri Desa, sebagai kementerian yang dibentuk secara khusus untuk menangani implementasi UU Desa," jelasnya.
Perlu diingat bahwa selama puluhan tahun, desa di bawah Kemendagri telah menjadi alas kaki kekuasaan penopang kekuasaan pemerintah tanpa otonomi yang jelas.
"Kemendagri, khususnya Direktorat Jenderal PMD, juga telah menjadi agen pemberdayaan kemiskinan yang terus menerus menggunakan kemiskinan sebagai komoditi tanpa penyelesaian serius," kata Ismail.
"Karena dengan berpihak pada nafsu politik PDIP di mana Kemendagri tetap mengelola sebagian urusan desa, DPR RI harus mempersoalkannya, karena Jokowi berpotensi melanggar UU bahkan melanggar Konstitusi, khususnya Pasal 18 B (2) UUD Negara RI," ujar Direktur Riset SETARA Institute, Jakarta dan Koordinator Sahabat Keadilan Desa (SaKa Desa), Ismail Hasani dalam pernyataannya, Senin(5/1/2014).
Menurut Ismail, apabila Jokowi tetap terbitkan Perpres Satuan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Kementerian Desa yang masih membagi urusan desa pada dua kementerian (Kemendagri dan Kemendes PDT dan Transmigrasi), bukan tidak mungkin Perpres itu dibatalkan Mahkamah Agung melalui mekanisme uji materiil, karena bertentangan dengan UU Desa.
Untuk itu, lanjut Ismail, demi otonomi desa, agar desa bisa membangun secara mandiri dan tidak lagi menjadi alas kaki kekuasaan semata, penyelenggaraan UU Desa harus terintegrasi dalam satu Kementerian yakni Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi.
Lebih jauh Ismail menjelaskan, implementasi UU Nomor 6/2014 tentang Desa akan mengalami polemik dan ketegangan politik. Sebab, potensi benefit politik yang akan diperoleh dari pemberlakuan UU yang akan menjadi landasan penyaluran dana desa.
Menurutnya, hingga akhir 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum juga memenuhi janjinya menyelesaikan penataan kementerian baru, khususnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDT).
"Berlarutnya penyusunan tersebut potensial menunda pemberlakuan UU Desa dan penyaluran dana desa," kata Ismail.
Ia mengatakan, berlarutnya penyusunan SOTK ini karena tarik menarik kepentingan antara elite partai politik. Dimana, PDI Perjuangan (PDIP) dan Nasdem berkepentingan agar sebagian urusan desa, khususnya urusan pemerintahan desa tetap ditangani oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"Sedangkan Kementerian Desa berpedoman pada UU Desa yang menegaskan agar urusan desa ditangani secara holistik oleh Menteri Desa, sebagai kementerian yang dibentuk secara khusus untuk menangani implementasi UU Desa," jelasnya.
Perlu diingat bahwa selama puluhan tahun, desa di bawah Kemendagri telah menjadi alas kaki kekuasaan penopang kekuasaan pemerintah tanpa otonomi yang jelas.
"Kemendagri, khususnya Direktorat Jenderal PMD, juga telah menjadi agen pemberdayaan kemiskinan yang terus menerus menggunakan kemiskinan sebagai komoditi tanpa penyelesaian serius," kata Ismail.
Ia menjelaskan, desa dalam UU Desa
didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum bukan satu jenjang pemerintahan
paling bawah. Karena itu, mengurus desa harus keluar dari rezim pemerintahan
daerah.
"Upaya Kemendagri yang bersikukuh mempertahankan urusan pemerintahan desa pada institusinya adalah manifestasi dari amputasi otonomi yang dijamin oleh UU Desa dan Pasal 18 B UUD Negara RI tersebut," katanya.
Alasan adanya konflik hukum dengan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang masih memberi kesewenangan ada Kemendagri, kata Ismail, itu bisa dikesampingkan karena yang berlaku dalam situasi konflik norma semacam ini maka UU Desa sebagai lex specialist dan harus diutamakan.
"UU Pemda yang disahkan pada musim Pemilu juga disadari mengandung banyak kekeliruan karena tidak diharmonisasi dengan UU yang lain. Jadi, penggunaan UU Pemda sebagai argumentasi kewenangan Kemendagri dalam mengelola desa adalah keliru dan lari dari tujuan filosofis dan sosiologis UU Desa," jelasnya. (suaranews)
"Upaya Kemendagri yang bersikukuh mempertahankan urusan pemerintahan desa pada institusinya adalah manifestasi dari amputasi otonomi yang dijamin oleh UU Desa dan Pasal 18 B UUD Negara RI tersebut," katanya.
Alasan adanya konflik hukum dengan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang masih memberi kesewenangan ada Kemendagri, kata Ismail, itu bisa dikesampingkan karena yang berlaku dalam situasi konflik norma semacam ini maka UU Desa sebagai lex specialist dan harus diutamakan.
"UU Pemda yang disahkan pada musim Pemilu juga disadari mengandung banyak kekeliruan karena tidak diharmonisasi dengan UU yang lain. Jadi, penggunaan UU Pemda sebagai argumentasi kewenangan Kemendagri dalam mengelola desa adalah keliru dan lari dari tujuan filosofis dan sosiologis UU Desa," jelasnya. (suaranews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar