Jakarta - WARA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut subsidi premium per 1
Januari 2015, dari Rp 8.500 per liter kini Rp 7.600. Sehingga harga premium
yang dijual SPBU Pertamina saat ini menjadi fluktuatif, dan mengikuti
perkembangan harga minyak di pasar dunia.
Ketua DPP PAN Hafisz Tohir berpendapat, kebijakan yang dilakukan pemerintah terkait BBM adalah tindakan yang norak. Walaupun pemerintah menurunkan harga BBM jenis premium dari harga Rp 8.500 menjadi Rp 7.600, namun di sisi lain pemerintah menaikkan harga gas elpiji 12 kg.
"Pemerintah naikkan elpiji 12 kg dengan sebelumnya menurunkan harga BBM subsidi hanya Rp 900 per liter. Yang mana harga keekonomian dunia saat ini hanya Rp 6.000 rupiah per liter. Sungguh suatu bentuk permainan saja, ini sama saja dengan tindakan memindahkan beban fiskal yang berat kepada pundak rakyat," kata Hafisz saat dihubungi wartawan, Selasa (6/1).
Hafisz yang juga Ketua Komisi VI DPR itu menjelaskan, kalau memang benar-benar harga minyak diserahkan ke pasar bebas, harusnya bea produksinya lebih rendah yaitu tidak lebih dari Rp 6,000 per liter. Karena, kata dia, minyak dunia saat ini sedang turun.
"Tampak skill permainan yang norak dari pemerintah dengan harga BBM diturunkan Rp 900 per liter, tapi harga elpiji 12 kg dinaikkan Rp 1.500 per kg atau menjadi sekitar Rp 160.000 per tabung 12 kg," terangnya.
Seharusnya, jelas dia, ongkos atau harga energi nasional yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak tidak boleh dilepas ke pasar bebas. Kebijakan tersebut jelas telah melanggar Pasal 33 UUD 1945.
"Dan juga keputusan MK yang baru lalu. Meruginya pemerintah karena Pertamina berpatokan pada harga minyak mentah dari Saudi Arabia. Dengan demikian menjadi tidak fair dalam penentuan harga," jelas Hafizs.
"Quo vadis pemerintahan Jokowi, kami memandang arah kebijakan pemerintah telah jauh bergeser dari isi janji-janji Pilpres kemarin yang pro rakyat namun kini pro kapitalis bahkan berpotensi menjadi Neolibs," tandasnya. (Merdeka.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar