Jakarta - WARA - Semua lini kehidupan di Indonesia akan dikuasai Tiongkok.
Setelah perekonomian termasuk sektor minyak dan gas ingin dikuasai, kini negara
tirai bambu ingin mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir.
Indonesia memang akan beruntung
memiliki pembangkit tersebut, karena menjadi salah satu negara dari sedikit
negara yang memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Namun bila ditelusuri
dampak yang sangat berbahaya seperti yang pernah terjadi di Jepang tentu
tawaran Tiongkok tersebut harus dipertimbangkan serius.
Semua ini memang bermula dari
kehadiran Presiden Joko Widodo saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
APEC di Beijing beberapa waktu lalu. Sejumlah kesepakatan dengan negara
Tiongkok ditandatangani pada acara tersebut. Termasuk tawaran membangun
pembangkit nuklir yang mencapai nilai US$ 12,5 miliar atau setara Rp 150
triliun.
Bila izin pembangunan PLTN tersebut
diberikan pemerintah, maka Presiden Jokowi menjadi presiden pertama Indonesia
yang mengizinkan pembangunan PLTN dengan skala besar. Rencananya pembangkit
yang akan dibangung, 5 x 1.000 Megawatt (MW).
Menurut Direktur Utama PT Industri
Nuklir Indonesia (Inuki) Yudi Utomo, lokasi pembangunan PLTN akan dibangun di
wilayah Bangka Belitung. Menurutnya, rencana pemerintah Tiongkok tersebut
dibicarakan dengan Presiden Jokowi saat pertemuan APEC bulan lalu.
“Inuki akan bertindak sebagai
pelaksana atau operator maintenance (OM) di PLTN yang rencananya akan dibangun
menggunakan teknologi Tiongkok. Bisa dipastikan 100 persen dana berasal dari
Tiongkok tapi penggunaan produk dalam negeri (TKDN) lebih dari 70 persen,"
tutur Yudi di Jakarta, Selasa (02/12/2014).
Lebih jauh diungkapkan Tonny Agus
Mulyantono, Pengamat Keslitrikan, mantan Deputi Direktur Energi Primer PLN,
paling menguntungkan Indonesia bila skema pembiayaannya, berasal dari negara
Tiongkok. “Bisa juga berupa pinjaman atau juga profit sharing,” ungkapnya, Rabu
(03/12/2014).
Di satu sisi, menurut Tony harus ada
jaminan dari pemerintah agar investasi tersebut tidak memberikan dampak buruk
bagi Indonesia. Ada kekhawatiran masyarakat yang menganggap bahwa penggunaan
nuklir hanya akan menjadi sumber masalah berbahaya. Paradigma tersebut
terbangun akibat kejadian meledaknya reaktor nuklir Chernobyl di Rusia dan PLTN
Fukushima di Jepang beberapa tahun lalu.
Selain China, akhir November 2014
lalu, pemerintah Federasi Rusia juga menawarkan kerjasama kepada Pemerintah
Indonesia untuk mengembangkan PLTN. Kerjasama yang ingin dilakukan Pemerintah
Federasi Rusia bukan sebatas transfer teknologi namun hingga mencakup
pembiayaan hingga peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Agustus 2014 lalu, Badan
Energi Atom Internasional (IAEA) menetapkan Indonesia berhasil menyelesaikan
fase pertama pengembangan infrastruktur pembangkit listrik tenaga nuklir
(PLTN). Fase pertama ini berisi tentang kesiapan infrastruktur untuk penetapan
pelaksanaan proyek pembangunan PLTN.
Setelah lulus evaluasi IAEA dalam
Integrated Nuclear Infrastructure Review Mission (INIR), Indonesia bisa
melanjutkan ke fase kedua, yaitu persiapan konstruksi PLTN.
"Dengan perencanaan yang
matang, PLTN di Indonesia bisa dibangun dan beroperasi dengan aman,"
ungkap Deputi Direktur Jenderal IAEA Alexander Bychkov beberapa waktu lalu.
Sementara itu menurut hasil studi
Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), infrastruktur tapak PLTN yang sudah
dinyatakan siap dan layak berada di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, dan Pulau
Bangka di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Hasil survei yang dikerjakan Batan
pada 2010 menunjukkan 60 persen warga mendukung pembangunan PLTN. Namun,
setelah kecelakaan di PLTN Fukushima, Jepang, akibat gempa dan tsunami pada
2011, respons warga terhadap pembangunan PLTN langsung anjlok. (fastnews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar