Wakil Ketua DPD RI La Ode Ida (kanan). |
Jakarta - WARA - Pemerintah, dalam hal ini,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) diminta untuk tidak mengesahkan
salah satu kubu dari partai politik (parpol) yang mengalami konflik internal
seperti Partai Golkar.
Pihak pemerintah harus belajar dari
konflik internal PPP di mana pihak Kemenkum dan HAM tergesa-gesa mengesahkan
kubu Romy sehingga menimbulkan permasalahan baru, lantaran kubu Romy dianggap
pro Jokowi-JK.
“Ini artinya, peluang untuk terus
berlanjutnya konflik internal Golkar dan PPP akan terus terbuka lebar,” kata
mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Laode Ida, Minggu (7/12)
malam.
Ia mengatakan, sikap politik Munas
Golkar di Ancol agaknya berupaya merebut dukungan politik dari administrasi
pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK). Itu tampak dari
pernyataan yang secara terbuka berada di belakang Jokowi-JK.
Hal itu, kata Laode, sungguh
merupakan ekspresi dari ketak percayaan pada diri sendiri (low self
confidence) dari para tokoh Golkar yang sudah dipecat oleh pihak Aburizal
Bakrie (ARB).
Sikap Munas Jakarta, kata dia,
sekaligus berupaya meminta dukungan administrasi politik parpol dari Kemkumham
agar mempersulit Golkar kubu ARB. Tepatnya, pihak Munas Jakarta secara tak
langsung meminta pemerintah untuk intervensi konflik internal Golkar.
“Suatu yang sangat sulit dilakukan
di era skarang ini,” tegas Laode.
Menurut Laode, harusnya tanpa ada
pernyataan itu smua orang pun sudah membaca arah politiknya, yakni ke Jokowi-JK.
“Pihak ARB sendiri tentu tak boleh anggap remeh manuver kubu Munas tandingan
ini, apalagi jika dikaitkan dgn status parpol yng konflik dalam UU tentang
Parpol,” kata dia.
Tantangan Serius
Menurut Laode, pasca Munas Bali,
Golkar menghadapi tantangan serius untuk eksistensinya ke depan. Pertama,
Golkar, kalau konsisten janji Ketumnya ARB dan barisannya, akan berada di luar
pemerintah.
Sejarah baru, tentu. Padahal banyak
pihak tahu betul, saat berada di barisan eksekutif pusat banyak sumberdaya yang
bisa dimanfaatkan oleh para pejabat asal parpol untuk kepentingan gerakan
parpolnya. Sebaliknya, berada di luar eksekutif sama dengan "puasa",
harus kencangkan ikat pinggang.
Problemnya lagi, jika pihak
Jokowi-Jk akan menghindari pola transaional antara parlemen dengan eksekutif,
maka niscaya akan kian sulit akses sumberdaya itu.
Kedua, Golkar menghadapi konflik
internal dengan cukup tajam. Puluhan kader yang sebelumnya pejabat teras Golkar
dipecat oleh pihak ARB.
Yang dipecat ini menggugat, dan
berupaya memperoleh dukungan politik dari pihak administrasi penguasa. Jika tak
ada konsolidasi kembali, maka setidaknya kubu yang dipecat akan cukup
mengganggu kekuatan lapangan Golkar ke depan.
Ketiga, Golkar jugag menghadapi
tantangan di dalam KMP. Saat ini, misalnya, saat Munas Golkar Bali
rekomendasikan tolak Perppu Pilkada langsung, pihak PD di bawah SBY justru beri
sinyal untuk tetap dukung Perppu.
Jika PD bisa ajak PAN dan parpol
lain, maka KMP jelas akan retak, yang berarti perjuangan politik Golkar untuk
tolak Perpu itu berpeluang besar gagal. Ini juga tentu jadi ujian bagi
kesolidan KMP dalam perjalanan ke depan. (SP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar