Salah satu dari tiga Kapal Ikan
berbendera Vietnam ditenggelamkan di Perairan Tarempe, Anambas, Kepulauan Riau,
Jum'at (5/12/2014).
|
Dikutip dari laman Bangkok Post,
tim editor mereka menyebut kebijakan mantan Gubernur DKI Jakarta yang mulai
direalisasikan pada awal Desember 2014, dianggap kurang bersahabat, tidak
ramah, dan tak diplomatik. Sebab, menurut mereka, penyebab Indonesia merugi dan
tidak bisa memaksimalkan keuntungan dari sektor maritim karena langkah
Pemerintah RI sendiri.
"Indonesia kehilangan banyak
ikan, karena hanya orang asinglah yang bisa menangkap ikan yang tidak bisa
ditangkap oleh nelayan Indonesia sendiri. Kebijakan itu justru malah
mengalihkan isu utama yang tengah dihadapi," tulis tim editor BP.
Mereka, bahkan menyebut jumlah
kerugian yang diklaim oleh pihak Indonesia per tahun sebesar US$20 miliar
dianggap hanya dibesar-besarkan. Indonesia pun dianggap tidak memiliki
kemampuan untuk menjaga teritori perairannya yang luas, sehingga kerap
kecolongan.
"Hal ini terlihat jelas.
Presiden Indonesia mengklaim sekitar 4.500 kapal ikan ilegal beroperasi di
wilayah perairannya setiap hari. Hal itu sederhana saja, karena Indonesia tidak
mampu menegakkan hukum di negaranya dan melindungi teritorinya," kata
mereka.
Namun, lanjut BP, bukan
berarti ketidakmampuan Indonesia untuk melindungi asetnya kemudian dijawab
dengan hukuman berat bagi mereka yang melanggar teritori perairannya.
Dalam data mereka, Pemerintah
Indonesia melalui TNI Angkatan Laut telah menenggelamkan dua kapal Negeri Gajah
Putih dan tiga kapal asal Vietnam. Namun, BP memperingatkan bahwa aksi
tersebut bisa menyerang balik Indonesia.
Kebijakan Indonesia, kata BP,
berpotensi menimbulkan pihak Vietnam, walaupun hingga saat ini pemerintah
mereka belum mengeluarkan pernyataan soal penenggelaman kapal.
"Sebagai contoh, otoritas
Vietnam akan mulai melucuti aset warga Indonesia yang dianggap melanggar hukum
setempat," ujar BP.
BP,
kemudian menyarankan Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN untuk
melindungi kesatuan ASEAN menjelang proses integrasi kawasan menuju Masyarakat
Ekonomi ASEAN. Rencana baru Presiden Jokowi yang menegakkan hukum dengan tindak
kekerasan semacam itu, dianggap BP bisa membahayakan kesatuan di
ASEAN.
Bahkan, BP turut menyamakan
Indonesia dengan Tiongkok yang ngotot dalam sengketa wilayah di Laut China
Selatan, sehingga berpotensi menganggu keamanan di kawasan.
"Indonesia perlu diam sejenak dan
membahas masalah ini melalui jalur diplomatik atau berisiko menanggung serangan
balik," kata BP.
Lucunya, BP juga menyebut
bahwa Pemerintah Thailand turut memiliki kebijakan penenggelaman kapal bagi
nelayan yang melanggar teritori perairan Negeri Gajah Putih.
"Dalam beberapa tahun terakhir,
otoritas setempat telah menyita ratusan kapal karena telah melanggar teritori
Thailand. Pelaku yang paling sering tertangkap berasal dari Vietnam, Kamboja
dan Myanmar," kata mereka. (VIVAnews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar