Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberhentikan Kapolri, Jenderal Polisi Sutarman, dan mengangkat Wakapolri, Komjen Pol Badrodin Haiti menjadi Plt Kapolri, dinilai melanggar pasal 11 ayat 5 Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian. Dalam pasal tersebut tercantum bahwa 'Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat'.
Komisi III DPR menyebut Presiden Joko Widodo telah Undang-Undang Kepolisian perihal penetapan Plt Kapolri, lantaran dengan keputusannya tersebut, kedudukan Plt Kapolri, Badrodin Haiti menjadi tidak jelas. Posisi Badrodin Haiti, lanjut Desmon, tidak jelas sebagai Plt menggantikan Jenderal Sutarman atau menggantikan Komjen Budi Gunawan yang pelantikannya sebagai Kapolri ditunda.
"Plt ini Plt untuk siapa? Budi Gunawan apa Sutarman? Seharusnya Jokowi mengangkat dulu Budi Gunawan baru tetapkan Plt. Jokowi dan stafnya tidak paham hukum. Baru betul Badrodin jadi Pltnya," kata Wakil Ketua Komisi III, Desmond J Mahesa, di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (19/1).
Desmond menegaskan, hak prerogatif Presiden Jokowi ada batasannya. Pencopotan Jenderal Sutarman menjadi dipertanyakan karena Undang-Undang Kepolisian menyebutkan bahwa tugas Kapolri dapat dilanjutkan oleh Plt Kapolri apabila Kapolri melanggar sumpah jabatan.
"UU Kepolisian itu dalam keadaan darurat. Itu kan apabila Kapolri melanggar sumpah jabatan. Apakah Sutarman dalam konteks ini melanggar jabatan?" tegas Desmond.
Wakil Ketua DPR, Fadli Zon mengatakan, kebijakan Presiden menunda pelantikan calon Kapolri, Komjen Budi Gunawan, merupakan hak presiden. Namun, apabila Presiden Jokowi betul-betul mengangkat Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai Plt Kapolri, maka hal itu jelas melanggar undang-undang lantaran tidak lebih dulu meminta persetujuan DPR.
"Kalau menunjuk Plt bisa melanggar aturan. Kalau menunda silakan saja. Tapi berapa lama akan menunda, apakah sampai putusan incraht atau apa? Atau hanya berapa hari satu minggu, satu bulan?" kata Wakil Ketua DPR, Fadli Zon kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (20/1).
Berbagai pendapat ini menimbulkan pertanyaan, apakah Presiden terlebih dahulu telah melakukan konsultasi dengan pakar hukum istana sebelum mengambil keputusan mencopot Kapolri, Jenderal Polisi Sutarman dan mengangkat Wakapolri, Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai Plt Kapolri?
Pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin menilai,
tidak ada kondisi mendesak yang mendorong Presiden Jokowi memberhentikan
Kapolri, Jenderal Pol Sutarman dan mengangkat Komjen Badrodin Haiti sebagai Plt
Kapolri. "Tidak ada yang mendesak. Bahwa ada kelompok yang mendesak itu
ditunjuk, iya, tapi kondisi mendesak, saya kira tidak ada," tutur Irman
saat dihubungi merdeka.com, Selasa (20/1).
Irman mengatakan, langkah terbaik yang seharusnya diambil Presiden Jokowi adalah segera melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri lantaran pemilihan Budi Gunawan sudah sesuai dengan syarat konstitusi dimana calon Kapolri harus diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Irman menilai, status Budi Gunawan sebagai tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukan alasan untuk menunda pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri lataran proses pemeriksaan oleh KPK masih bisa dilakukan meski Budi Gunawan sudah resmi menjadi Kapolri.
Irman berkaca pada kondisi mantan Wakil Presiden Boediono. Menurutnya, KPK tetap bisa melakukan pemeriksaan meski Boediono menjabat sebagai Wakil Presiden. "Sekarang yang harus dilakukan presiden adalah melantik Budi Gunawan. Soal tersangka itu urusan pribadi, masih bisa diperiksa (KPK). Wakil Presiden Boediono itu juga diperiksa juga kan waktu sudah jadi wakil presiden. Jadi (pelantikan) tidak menjadi halangan," kata Irman.
Terkait dengan pelibatan pakar hukum istana sebelum Presiden Jokowi mengambil keputusan mencopot Sutarman dari jabatan Kapolri dan mengangkat Badrodin Haiti sebagai Plt Kapolri, Irman menjawab singkat. "Wallalhuallam, itu urusan presiden," tutur Irman.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva menilai, terkait dengan segala kebijakan yang akan diambil, Presiden selayaknya melibatkan pakar hukum atatu staf ahli. Hal ini untuk menghindari adanya bentrok antara kebijakan dengan ketentuan Undang-Undang.
Begitu pula dengan persoalan pencopotan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman dan pengangkatan Wakapolri, Komjen Badrodin Haiti menjadi Plt Kapolri. "Presiden harus punya penasihat, presiden pasti butuh staf ahli dan penasihat, harusnya begitu. Presiden kan tidak mengetahui segala aspek, karena itu di back up oleh tim ahli," tutur Hamdan.
Meski demikian, Hamdan mengaku perlu waktu untuk mempelajari terlebih dahulu kebijakan Presiden Jokowi tersebut. "Saya harus lihat dulu seperti apa," tutur Hamdan. (Merdeka.com)
Irman mengatakan, langkah terbaik yang seharusnya diambil Presiden Jokowi adalah segera melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri lantaran pemilihan Budi Gunawan sudah sesuai dengan syarat konstitusi dimana calon Kapolri harus diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Irman menilai, status Budi Gunawan sebagai tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukan alasan untuk menunda pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri lataran proses pemeriksaan oleh KPK masih bisa dilakukan meski Budi Gunawan sudah resmi menjadi Kapolri.
Irman berkaca pada kondisi mantan Wakil Presiden Boediono. Menurutnya, KPK tetap bisa melakukan pemeriksaan meski Boediono menjabat sebagai Wakil Presiden. "Sekarang yang harus dilakukan presiden adalah melantik Budi Gunawan. Soal tersangka itu urusan pribadi, masih bisa diperiksa (KPK). Wakil Presiden Boediono itu juga diperiksa juga kan waktu sudah jadi wakil presiden. Jadi (pelantikan) tidak menjadi halangan," kata Irman.
Terkait dengan pelibatan pakar hukum istana sebelum Presiden Jokowi mengambil keputusan mencopot Sutarman dari jabatan Kapolri dan mengangkat Badrodin Haiti sebagai Plt Kapolri, Irman menjawab singkat. "Wallalhuallam, itu urusan presiden," tutur Irman.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva menilai, terkait dengan segala kebijakan yang akan diambil, Presiden selayaknya melibatkan pakar hukum atatu staf ahli. Hal ini untuk menghindari adanya bentrok antara kebijakan dengan ketentuan Undang-Undang.
Begitu pula dengan persoalan pencopotan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman dan pengangkatan Wakapolri, Komjen Badrodin Haiti menjadi Plt Kapolri. "Presiden harus punya penasihat, presiden pasti butuh staf ahli dan penasihat, harusnya begitu. Presiden kan tidak mengetahui segala aspek, karena itu di back up oleh tim ahli," tutur Hamdan.
Meski demikian, Hamdan mengaku perlu waktu untuk mempelajari terlebih dahulu kebijakan Presiden Jokowi tersebut. "Saya harus lihat dulu seperti apa," tutur Hamdan. (Merdeka.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar